Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stambul Ambalat

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amarzan Loebis Redaktur Senior Majalah Tempo

HAK Indonesia pertama yang "dicaplok" Malaysia adalah Stambul Terang Bulan. Lagu dengan lirik "terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati" itu mendadak dijadikan lagu kebangsaan Persekutuan Tanah Melayu pada hari kemerdekaannya dari Inggris, 31 Agustus 1957. Presiden Soekarno, dengan semangat bertakzim-takzim terhadap tetangga baru serumpun, segera mengumumkan lagu idola para buaya keroncong itu tak lagi boleh dinyanyikan sembarangan di seantero Indonesia.

Kecuali dalam perkara Stambul Terang Bulan, hubungan Jakarta dengan Kuala Lumpur sesungguhnya tak bisa dibilang mesra-mesra amat. Sudah sejak 1958 tokoh-tokoh yang terlibat atau mendukung pemberontakan daerah di Indonesia mendapat suaka di Negeri Semenanjung itu. Situasi ini tak berbeda jauh dengan masa ketika Malaysia ditengarai menjadi tempat berlindung orang-orang Gerakan Aceh Merdeka yang tersudut di Indonesia.

Hanya empat tahun setelah kemerdekaan negerinya, Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, Yang Dipertuan Agong dan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, memulai perundingan dengan Perdana Menteri Inggris, Harold McMillan, mengenai Proyek Malaysia. Perundingan di London itu dimulai pada Oktober 1961, dan dilanjutkan pada Juli tahun berikutnya. Federasi baru ini akan meliputi pula Sarawak, Sabah, dan Singapura, yang merupakan koloni Inggris, serta Brunei, yang berstatus protektorat.

Atas prakarsa Filipina diselenggarakanlah Konferensi Manila, 9-17 April 1963, dihadiri para wakil menteri luar negeri Indonesia, Malaya, dan Filipina sendiri. Filipina punya kepentingan karena Sabah, wilayah yang diklaim Filipina ketika itu, dimasukkan ke Proyek Malaysia. Secara historis-tradisional, Sabah merupakan milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris.

Agenda berikutnya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Manila. Tetapi, seraya persiapan menuju KTT ini digiatkan, Tunku Abdul Rahman secara sepihak menandatangani dokumen persetujuan pembentukan Federasi Malaysia dengan Inggris pada 9 Juli 1963. Dokumen itu merencanakan pembentukan Federasi Malaysia pada 31 Agustus 1963. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah. Brunei memutuskan mundur.

KTT Manila jadi juga digelar, pada 31 Juli-5 Agustus 1963. Dalam pertemuan ini Presiden Soekarno menyatakan akan mengakui Malaysia, dengan syarat penyelenggaraan plebisit untuk menjajaki keinginan sesungguhnya rakyat Kalimantan Utara. Dengan kesepakatan KTT Manila, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), U Thant, membentuk tim yang dipimpin diplomat Amerika, Michelmore, untuk menjajaki pendapat rakyat di Sarawak dan Sabah.

Jajak pendapat inilah yang, menurut Soekarno, penuh akal-akalan. Inggris mempersulit visa para peninjau Indonesia, sehingga mereka terlambat tiba. Jumlah petugas PBB sangat dibatasi oleh Inggris, tak sebanding dengan luas daerah yang harus diawasi. Tim itu sendiri baru mulai bekerja pada Agustus 1963. Soekarno mulai berang. "Pemerintah Indonesia telah dikentuti bulat-bulat dan diperlakukan seperti patung," kata Bung Karno ketika itu.

Pada 16 September 1963, Federasi Malaysia diumumkan berdiri, meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Esoknya, 17 September 1963, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Sejak tanggal itu hingga akhir 1963, Indonesia mencatat 20 kali pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh Malaysia. Pelanggaran darat di perbatasan tercatat 21 kali. Tahun berikutnya Inggris dan Malaysia melakukan 56 kali pelanggaran udara, dan 14 kali pelanggaran darat di perbatasan.

Presiden Soekarno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964, untuk "memperhebat ketahanan revolusi Indonesia" dan "membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei". Di bawah karisma dan orasi Soekarno nan berkibar-kibar, semangat "Ganyang Malaysia" dan "Ganyang Neokolonialisme" bangkit di seantero negeri.

Pendaftaran sukarelawan dibuka di mana-mana. Para istri anggota kabinet berlatih menembak?dengan pistol sungguhan. Para kartunis menggambar Tunku Abdul Rahman diikat lehernya dan dituntun seorang Inggris. Mochtar Embut (almarhum), song writer yang terkenal dengan lagu sendu macam Di Sudut Bibirmu dan Di Wajahmu Kulihat Bulan, menggubah lagu Dari Rimba Kalimantan Utara. Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan banyak biduan lain menyanyikan lagu-lagu untuk dan tentang para sukarelawan di perbatasan.

Unjuk rasa terjadi hampir saban hari. Apalagi setelah Indonesia keluar dari PBB, 7 Januari 1965, menyusul diterimanya Malaysia sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa itu. Karena saya sendiri kemudian ikut terseok-seok ke pedalaman Hulu Kapuas, Kalimantan Barat, bergabung dengan satuan KKO?kini Marinir?saya bisa menyaksikan betapa siapnya para prajurit di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah, Sarawak, dan Brunei.

Namun, apa lacur, Soekarno jatuh. Orde Baru memulihkan hubungan dengan Malaysia, dan pada 28 September 1966 Indonesia kembali ke haribaan PBB. Kini, setelah mendapatkan dengan mudah Sipadan dan Ligitan, siapa tahu Malaysia berasumsi Ambalat pun akan dengan gampang jatuh ke pangkuan mereka, segampang dulu Tunku Abdul Rahman "mengadopsi" Stambul Terang Bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus