Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Siak yang Sekarat

Sungai Siak menderita komplikasi akibat limbah industri, rumah tangga, dan kapal.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengarlah riak Sungai Siak yang membelah Provinsi Riau, sepanjang 300 kilometer. Dengar pula gesekan daun rengas dan perembang di sepanjang tepi sungai itu. Mereka semua akan mengisahkan sebuah cerita tentang sungai yang sekarat.

Sungai terdalam di Indonesia itu memang di ujung kematian. Airnya cokelat pekat, terbalut oleh lumpur dan limbah industri. Sepanjang tepiannya kini tak lagi ada kehijauan pepohonan rengas dan perembang. Rerimbunan pohon sejenis beringin itu tergusur dengan rumah-rumah kumuh lengkap dengan jamban panggungnya.

Padahal, 10 tahun lalu, kata Zuchri Abdi, staf Kantor KLH Wilayah Sumatera, berperahu ke hulu Sungai Siak adalah pelesir yang menyenangkan. Airnya bersih. Bahkan, bila hujan, "Udang bergelantungan di permukaan sungai pun kelihatan," ujar pria asli Siak itu. Udang-udang semakin menyingkir ke pedalaman anak sungai.

Sungai Siak kini memang semakin renta. Hilangnya rengas dan perembang membuat sungai ini kebanjiran lumpur yang tergerus air hujan. Setiap tahun dasar sungai ini bertambah dangkal satu meter. "Pada 1996 kedalaman sungai ini 22-25 meter, tetapi sekarang tinggal 13-15 meter," kata Tengku Ariful Amri, Direktur Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau.

Gerusan air ini pula yang membuat tepian sungai amblas. Diam-diam sungai ini terus semakin lebar. Beberapa ruas sungai bahkan kini ada yang lebarnya dua kali panjang lapangan sepak bola. "Dulu, saya bisa mandi-mandi di sisi ini lalu ambil sabun di seberang," kata Ahmad. Tapi kini pria berusia 43 tahun itu harus berhitung dua kali untuk mengarungi bagian sungai selebar 200 meter itu.

Keganasan abrasi di bibir sungai itu terjadi sepanjang 155 kilometer di Kabupaten Siak. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai ini dengan perahu kayu, Tempo melihat banyak rumah kayu yang berdiri di tebing sungai. Rumah panggung itu hampir kehilangan kaki-kakinya. Sebuah bangunan sekolah bahkan sudah amblas ke sungai.

Vegetasi di tepian sungai bernasib tidak kalah mengenaskan. "Rusak parah," kata Nyoto Santoso, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove yang ikut dalam rombongan. Berdasarkan survei bersama Kantor KLH Wilayah Sumatera dan Bapedalda 2003, abrasi bibir Sungai Siak tiap tahun rata-rata mencapai 15 meter.

Pemerintah Kabupaten Siak menuding kapal-kapal besar, bertiang hingga setinggi 30 meter, penunjang aktivitas industri pengolah kayu dan pulp di sepanjang sungai, sebagai biang keladi. Terutama ketika pasang tinggi, lalu lalang kapal-kapal itu menciptakan gelombang yang rajin menghajar dan menggerusi tebing sungai. "Sungai Siak tidak dapat lagi menanggung beban lalu lintas kapal-kapal itu," ujar Bupati Siak, Arwin A.S.

Arwin tidak asal bicara. Dia berpedoman pada rekomendasi penelitian Fakultas Teknik UGM pada 2001, bahwa kuantitas, ukuran, dan kecepatan kapal harus dibatasi. Studi selama empat bulan pada 2001 itu menghitung 4.217 kapal melintasi Sungai Siak.

Karena itu Arwin memimpin pembangunan sebuah jembatan yang mampu menyaring kapal besar, sekaligus menyatukan wilayah Siak Utara dan Siak Selatan, yang selama ini hanya dihubungkan dengan sampan kecil atau feri. Kapal setinggi 23 meter dari air sungai itu terbukti mengurangi jumlah kapal hingga 13 persen dari sebelumnya. Dan bagi Siak, itu juga akan menjadi sumber uang, karena kapal akan berlabuh di Kawasan Industri Buton.

Namun langkah menyelamatkan sungai sekaligus mencari uang itu terganjal gugatan pemilik kapal. Juli tahun lalu, ketika konstruksi jembatan sudah rampung 70 persen, tinggal menyambung tiang-tiang, perusahaan perkapalan berbasis di Surabaya, PT Manunggal Sejati, mengadu ke PTUN Pekanbaru. Mereka menggugat karena kapal mereka yang umumnya setinggi 25 hingga 30 meter dipastikan bakal tidak bisa memenuhi kontrak kerja dengan PT Indah Kiat Pulp & Paper untuk mengangkut 7.500 ton bubur kertas setiap bulannya ke Jakarta. "Kami terancam merugi Rp 9 miliar dalam setahun," kata penasihat hukum PT Manunggal, Muhamad Haris.

Tidak sepenuhnya salah memang, setidaknya berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Perhubungan ad interim tertanggal 18 Oktober 2004, yang menyatakan Jembatan Siak termasuk jalur pelayaran nasional. Konsekuensinya, jembatan Siak harus ditinggikan hingga 30 meter.

Di meja hijau PTUN Pekanbaru, Arwin menang dalam kasus itu. Namun kemudian dia kalah di Pengadilan Tinggi TUN Sumatera Utara.

Meski kalah, Arwin tak mau surut. Dia yakin sekali bahwa jembatan itu akan mengerem laju abrasi dan pencemaran di Sungai Siak. "Setiap tahunnya terjadi tujuh sampai 10 kali kecelakaan kapal, baik tabrakan, kandas, tenggelam, terbalik, maupun kebakaran, yang menyebabkan korban jiwa dan pencemaran berskala besar," tuturnya.

Ariful, ahli lingkungan dari Universitas Riau, punya pendapat lain soal mengapa Sungai Siak kini semakin rusak. Menurut dia, jembatan bukanlah biang keladi tunggal. Kehidupan biota di sungai ini sudah mulai menghilang sejak dulu. Dulu, pada 1983, jumlah biota yang ada di sungai itu mencapai 123 jenis. Tapi kini jumlahnya tinggal 20-an. Dia yakin, kerusakan itu tak akan selesai hanya dengan meributkan abrasi dan kapal-kapal besar.

"Lebih dari itu karena pangkalnya, yang justru lebih penting, adalah pencemaran dan pengikisan vegetasi di tepian sungai oleh industri kelapa sawit, kayu lapis, juga limbah rumah tangga," kata dia.

Universitas Riau mengukur kadar oksigen terlarut di Sungai Siak telah kurang dari satu bagian per sejuta (ppm). Padahal, air sungai normal mengandung kadar oksigen terlarut 4-6 ppm. Tidak aneh bila setiap musim kemarau ribuan ton ikan mati silih berganti pada 1998-2004 karena sesak napas. Juni tahun lalu, misalnya, ribuan ikan berbagai jenis, seperti baung, buntal, selais, mas, kelabau, juaro, tapa, tawas, serta udang mengambang di air. Pencemaran itu bahkan juga mematikan ikan seukuran betis orang dewasa. "Begitu parahnya, ada ular berukuran panjang kira-kira dua meter ikut mati," kata Ariful.

Dua pendekar lingkungan lainnya, Zuchri dan Nyoto, setuju argumen itu. Abrasi dipercepat karena tiadanya hutan vegetasi pohon pelindung pinggir sungai. "Seandainya gelombang kuat tetapi ada mangrove yang cukup, saya rasa dampaknya tak akan terasa," kata keduanya. Tapi sekarang vegetasi alami itu tersisa 30 persen. Itu pun tinggal di sepertiga bagian hulu sungai. Di hilir, malah sudah rusak total.

Dengan kerusakan seperti itu kini Sungai Siak tak beda dengan sungai besar di Sumatra lainnya seperti Musi, Belawan, dan Deli (lihat Sungai-sungai yang Kalah). Kehidupan di sungai itu menghilang. Wajah sungai itu kuyu, selesu raut muka Sri Indrapura, seorang pemancing yang ditemui Tempo di bekas dermaga di Siak. "Seharian memancing cuma dapat tiga ekor ikan," jawabnya. Padahal dulu, para pencari ikan itu biasa mendapat lebih dari 15 kilogram ikan. Bahkan tak jarang mereka mendapat arwana, ikan hoki yang berharga jutaan rupiah. Sungai itu kini telah kalah.

Wuragil (Siak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus