Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bertaruh di Ambalat

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alfitra Salamm
  • Ahli Peneliti Utama LIPI, Jakarta

    Pertaruhan paling serius bagi pemerintah Indonesia dalam krisis Ambalat adalah apakah kawasan itu dapat dipertahankan. Trauma kekalahan Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional, pada tahun 2002, sepertinya masih membayang. Pemerintah pasti tak ingin hal itu terulang lagi kini.

    Muncul sedikit keraguan di sebagian elite politik Indonesia jika krisis Ambalat mesti diselesaikan melalui perundingan bilateral. Indonesia diperkirakan akan kewalahan dalam format semacam itu. Sebab, perundingan bilateral sama artinya Indonesia mengambil sikap bahwa Blok Ambalat adalah kawasan dengan status sengketa (dengan Malaysia). Padahal anggapan yang berkembang saat ini menegaskan Ambalat adalah milik Indonesia. Dan klaim tersebut tidak mungkin berubah lagi. Dengan memilih jalan perundingan bilateral, Indonesia dinilai akan masuk dalam permainan politik Malaysia. Kita tidak ingin persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI), penangkapan cukong illegal logging asal Malaysia, dan berbagai proyek lain menjadi barter politik kedua negara dalam menyelesaikan sengketa ini.

    Kini kedua negara memilih jalan damai untuk menyelesaikan kasus Ambalat. Tetapi sebenarnya hal ini membuat keadaannya semakin tidak jelas. Apakah jalan damai berarti kedua negara sepakat menyelesaikan melalui perundingan? Atau secara terselubung kedua negara sepakat tidak memperkarakan lagi untuk sementara waktu? Pengalaman sejarah menunjukkan hubungan kedua negara memang selalu ditujukan untuk mempertahankan relasi yang harmonis, menghindari ketegangan, dan konflik terbuka. Apalagi, dalam konteks ASEAN, Indonesia dan Malaysia adalah saka guru dan benteng terakhir lembaga ini. Kelahiran ASEAN sendiri sebenarnya buah dari konfrontasi kedua negara ini sebelumnya.

    Sebenarnya argumentasi yang menjadi dasar tuntutan Malaysia terhadap Ambalat tidak kuat secara hukum. Malaysia yakin Ambalat milik mereka setelah Pulau Sipadan dan Ligitan dikuasai. Keyakinan itu didasarkan atas garis batas laut yang ditarik dari pulau terluar Malaysia, yaitu Pulau Sipadan dan Ligitan. Prinsip ini sangat aneh, karena Malaysia tidak pernah diakui dunia internasional sebagai negara kepulauan. Sedangkan Indonesia sudah diakui sebagai negara kepulauan sejak 1957 lewat Deklarasi Djuanda.

    Peta resmi 1979 yang digunakan Malaysia sebagai dasar klaim pun dianggap lemah karena peta tersebut tidak didasarkan pada hukum internasional yang kuat. Indonesia secara terbuka sudah melakukan protes atas peta 1979 itu, namun tidak pernah diindahkan pemerintah Malaysia.

    Selama ini masalah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya sudah menjadi agenda dalam forum General Border Committee (GBC). Institusi ini diprakarsai oleh Tentara Nasional Indonesia dan Tentera Diraja Malaysia setelah konfrontasi kedua negara. Tujuan GBC adalah menyelesaikan persoalan perbatasan yang diprediksi bakal menjadi gangguan. Selama era Orde Baru, hampir semua persoalan kedua negara dapat diselesaikan melalui GBC. Kedekatan pribadi antara elite pemerintah dan tentara kedua negara menjadikan hal itu mungkin. Bahkan bukan rahasia lagi bahwa persoalan dapat diselesaikan hanya melalui hubungan telepon antarpemimpin nasional.

    Meski demikian, bukan berarti GBC tanpa masalah. Kelemahan GBC adalah selalu menghindari perbedaan pandangan yang merugikan kepentingan kedua negara. Akibatnya, sering kedua negara tak berpikir rasional, terbuka, dan berjangka panjang. Padahal, jika hal itu dilakukan, kecil kemungkinan krisis Ambalat ini akan muncul. GBC juga semakin tidak efektif akibat adanya regenerasi kepemimpinan nasional dan kalangan pejabat teras TNI. Pertemuan tahunan GBC memang masih dilakukan, tetapi sifatnya lebih seremonial. Kini, krisis Ambalat tidak mungkin diselesaikan hanya melalui GBC. Diperlukan keterlibatan berbagai lembaga (lintas sektoral) untuk itu.

    Bagaimana dengan opsi melibatkan ASEAN untuk menyelesaikan sengketa? Dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan, terlihat Malaysia selalu menghindari penyelesaian cara demikian. Jadi, kecil kemungkinan ASEAN bisa ikut menuntaskan persoalan ini. Dapat dikatakan, ASEAN telah gagal menjadikan dirinya sebagai lembaga bersama untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki anggotanya. Yang terjadi justru persaingan terselubung di antara kepentingan nasional masing-masing. Tampaknya ASEAN bukan lagi menjadi organisasi milik bersama.

    Bagi Indonesia, saat ini yang penting bukan sekadar mempertahankan mati-matian kawasan Ambalat. Lebih dari itu adalah bagaimana mereformasi manajemen pengelolaan kawasan perbatasan laut, baik melalui format hukum maupun kebijakan kemaritiman yang konkret. Masih ada puluhan pulau lain yang berpotensi bermasalah dengan negara tetangga. Termasuk dalam hal ini mempersiapkan diplomat pejuang dan pakar hukum laut yang benar-benar menguasai masalah perbatasan. Format hukum nasional harus disusun secara kuat dan diakui dunia internasional. Celah kelemahan format hukum nasional inilah yang tampaknya terbaca oleh Malaysia sehingga dengan mudah mengusik kedaulatan Indonesia.

    Kekayaan Indonesia berupa puluhan ribu pulau juga harus diperkuat dengan visi maritim?yang sebenarnya sudah ada sejak Deklarasi Djuanda 1957. Tetapi Indonesia tidak pernah serius mengemas visi tersebut dalam bentuk kebijakan dan hukum nasional. Selama ini kita terbuai mitos Indonesia bangsa pelaut dan negara kepulauan. Wawasan kebangsaan yang sudah diperjuangkan oleh Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja tampaknya menjadi wacana belaka.

    Di belakang itu semua, kita harus waspada, siapa yang diuntungkan atas ketegangan Indonesia-Malaysia ini. Ambalat kini menjadi pertaruhan bagi Indonesia, juga keutuhan ASEAN.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus