Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA mata memelototi Suriah setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon, Rafik Hariri, Februari lalu. Kaum oposisi di Libanon dan pendukung Hariri lantang menuduh rezim Presiden Suriah Bashar Assad bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Pemerintah Bush memang tidak secara resmi menyalahkan Suriah. Tapi, dengan memanggil pulang duta besarnya di Damaskus, tujuannya bisa sama. Amerika Serikat kabarnya gusar atas penolakan Suriah menarik pasukannya dari Libanon sesuai dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menguatnya oposisi atas hegemoni Suriah di Libanon cuma satu dari empat masalah yang dihadapi Damaskus. Tiga masalah lainnya: perilaku Suriah di Irak, hubungan dengan AS, dan tuntutan reformasi di dalam negeri. Malangnya, sampai sekarang semua masalah ini tak dapat ditangani dengan baikdan dikhawatirkan akan kian meminggirkan Suriah di kancah dunia.
Di Libanon, Suriah berkali-kali salah membaca niat Washington. Pada September lalu, AS dan Prancis menaja Resolusi 1559 Dewan Keamanan PBB, yang mendesak Damaskus menarik pasukannya dari Libanon dan melucuti milisi di negeri ituterutama Hizbullah. Resolusi ini muncul setelah Assad pada September lalu memaksakan perpanjangan mandat Presiden Libanon Emile Lahoud secara inkonstitusionalpadahal Prancis dan AS telah memperingatkannya. Toh pejabat Suriah tampak masih tidak yakin AS serius menuntut Suriah keluar dari Libanon.
Pemimpin Suriah juga terus mengabaikan tuntutan dalam negeri Libanon sendiri agar kehadiran militernya, yang sudah berlangsung 28 tahun, diakhiri. Tuntutan ini meningkat dramatis setelah tewasnya Hariri. Sedangkan puluhan partisan pendukung Hariri, yang sebelumnya berdiam diri saat tuntutan mundur itu dikemukakan, kini justru berteriak "Suriah, keluar!"
Sebenarnya oposisi multikomunal yang luas telah terbentuk di Beirut, yang menuntut Suriah "cabut" dari Libanon. Namun, bukannya tanggap dan menjalin hubungan bilateral yang sehat dan setara dengan Libanon, Suriah justru berusaha memecah belah oposisi dan memperketat kembali kendalinya. Tewasnya Hariri kian mempersulit, dan Suriah harus siap menghadapi backlash dari AS dan Prancis.
BAHKAN, setelah jatuhnya ibu kota Irak, Bagdad, pada 9 April 2003, Damaskus tampaknya masih terus merindukan sistem lama. Meski Partai Baath di Suriah dan Irak bermusuhan, mereka masih ingin menghibur diri mengingat keduanya bagian dari konfederasi despotisme. Bagi Suriah, Irak yang demokratis dan bersahabat dengan AS jauh lebih buruk daripada Saddam Hussein, musuh yang mereka kenaldan kemudian menjadi mitra dagang yang menguntungkansaat Irak bertahun-tahun terkena sanksi internasional.
Dukungan yang dicurigai diberikan Damaskus kepada anggota Partai Baath Irak yang kabur ke Suriah adalah ancaman yang bisa merusak hubungannya dengan Irak baru. Bagdad berkali-kali menuduh rezim Assad membiarkan dana dari Irak mengalir ke kaum pemberontak. Baru-baru ini Irak juga memberi tahu pemerintah Suriah perihal penemuan foto satu pejabat senior intel Suriah pada mayat seorang pemberontak yang tewas di Fallujah. Setelah terbentuknya otoritas yang legitimatif di Irak seusai pemilihan baru-baru ini, Suriah seyogianya memandang ke depan dan mendepak kaum pro-Saddam.
Meningkatnya ketidaksabaran Bush akan keterlibatan Suriah dalam pergolakan di Irak adalah pemicu utama memburuknya hubungan dengan AS. Memang ada ketidaksukaan yang nyata dari Washington terhadap Suriah. Karena itulah bantahan Suriah akan tuduhan keterlibatannya dalam kekacauan di Irak jarang ditanggapi serius oleh Amerika. Suriah juga tak mendapat dukungan AS dalam hal merundingkan kembali soal Dataran Tinggi Golan dengan Israel.
Ada indikasi Suriah juga tak mampu mengukur niat AS mengenai berbagai persoalan lain. Misalnya, pejabat Suriah yakin, karena Partai Baath adalah partai sekuler, AS pasti akan mendukungnya melawan gerakan Islamis. Mereka tak sadar bahwa Washington menganggap Suriah berselingkuh dengan kaum teroris di Palestina, Irak, dan Libanon.
Di dalam negeri, rezim Assad juga mengalami kesulitan. Kalaupun ada kemajuan di bidang reformasi politik dan ekonomi, tetap saja Suriah bagaikan berjalan di atas es. Kebangkitan kembali Islam sebagai alternatif sistem politik dan ekonomi tidak menawarkan banyak insentifkecuali bagi rezim penguasa. Sikap Prancis, yang beroposisi terhadap kehadiran Suriah di Libanon, setidak-tidaknya menjadi cerminan kekecewaan Prancis terhadap ambisi reformis Assadseperti juga yang dirasakan sebagian besar anggota Uni Eropa.
Presiden Assadyang kini berada dalam tahap konsolidasitak banyak memberikan ruang bagi perubahan di dalam negeri. Menteri Dalam Negeri Suriah yang baru, Ghazi Kanaan, seorang penganut garis keras mazhab lama, justru memerintahkan pengejaran terhadap kaum reformis dan Kurdi dalam satu-dua dekade ini. Perombakan kabinet November lalu, yang menempatkan Kanaan dan orang-orang Assad lainnya dalam kabinet, dianggap sebagai cerminan preferensi pemimpin Suriah itu. Pada bulan-bulan mendatang, diduga Assad akan memasukkan lebih banyak lagi orang-orangnya.
Singkat kata, Assad giat menata konsolidasi kekuatannya. Tapi konsolidasi bukanlah reformasi. Jadi, kalaupun Assad getol memperlihatkan bahwa dirinya adalah reformis, banyak yang tak yakin Assad mampu melakukannya. Suriah-lah yang harus membayar mahal untuk kemenduaan Assad: reformasi dalam niat, konsolidasi dalam aksi.
Copyright: Project Syndicate, 2005
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo