Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBERIAN izin meninggalkan lembaga pemasyarakatan bagi Miranda Goeltom mencerminkan pandaknya ingatan otoritas hukum kita pada komitmen yang seyogianya tak mereka lupakan: ketaatan pada aturan hukum. Miranda divonis tiga tahun penjara karena terlibat kasus korupsi, yang dihisab sebagai kejahatan luar biasa di negeri ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 melarang cuti kunjungan keluarga bagi narapidana korupsi serta pelaku kejahatan berat lain—terorisme dan narkoba. Karena itu, izin bagi Miranda segera menerbitkan pertanyaan dan syak wasangka. Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan memang punya wewenang memberi izin kepada narapidana "khusus", tapi disertai syarat ketat. Antara lain, pemohon cuti harus telah melampaui setengah masa hukuman atau menjelang bebas.
Masuk penjara sejak Mei 2013, Miranda Goeltom bahkan belum menempuh sepertiga dari tiga tahun masa hukumannya. Pro-kontra pun merebak. Kalangan yang pro menggunakan alasan kemanusiaan. Pihak yang kontra menegaskan, pemberian izin ini bukan hanya merupakan langkah keliru, melainkan juga menabrak aturan. Dampak lain yang sulit dicegah adalah terbitnya kerambangan bahwa kepala penjara "ada main" dengan pemohon cuti.
Direktur Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan Nugroho berkukuh bahwa narapidana korupsi boleh mengajukan izin cuti khusus. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menegaskan tak ada pelanggaran. Alasannya, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan masih berlaku. Ayat 52 huruf b peraturan itu mengatur kondisi luar biasa—termasuk menjadi wali nikah—yang membuat seorang narapidana korupsi pun boleh melenggang ke luar.
Kepada kedua pemegang kuasa ini kami perlu mengingatkan setidaknya dua hal. Pertama, izin cuti terhadap pelaku kejahatan luar biasa—termasuk korupsi—harus jauh lebih ketat. Tanpa melupakan aspek kemanusiaan, izin semestinya hanya diberikan dalam kondisi yang betul-betul luar biasa, misalnya kematian anak, orang tua, suami, atau istri. Keketatan ini sekaligus mencegah terbitnya "inspirasi" berhajat ke luar penjara dengan aneka alasan keluarga, termasuk—misalnya—karena hendak kawin lagi.
Kedua, merujuk pada aturan baheula sama saja dengan membuat pembenaran ke belakang. Padahal pembenaran harus bertumpu pada aturan yang berlaku dan—tentu saja—rasa keadilan. Untuk apa repot-repot merevisi peraturan tahun 1999 ke 2006 jika kita mudah saja melompati pembaruan itu demi membenarkan keputusan keliru? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan revisi sebagai peninjauan dan pemeriksaan kembali untuk perbaikan serta pembaruan. Dari sinilah otoritas lembaga pemasyarakatan seharusnya berpijak dan menimbang sebelum memutuskan.
Upaya Miranda ke luar penjara untuk menikahkan putrinya, betapapun manusiawinya, tetap menciptakan preseden buruk. Dia dituding mendapat perlakuan istimewa dan berstandar ganda. Entah bagaimana pula kepala lembaga pemasyarakatan dan para atasannya akan menjawab pertanyaan ini: jika yang menikahkan anak sekadar pencoleng kecil, apakah mereka juga akan bersetuju membuka lebar-lebar pintu penjara?
berita terkait di halaman 28
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo