Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH mengherankan jika krisis kedelai yang kerap berulang di negeri ini selalu ditangani dengan cara konyol. Ketika kita kembali tersandera krisis bahan pangan strategis ini, solusi yang disodorkan pemerintah selalu saja salah. Kebijakannya tambal sulam dan tak berorientasi jangka panjang.
Slogan swasembada kedelai membuktikan betapa ngawur kebijakan yang dicanangkan Menteri Pertanian Suswono ini. Pak Menteri rupanya tak melihat realitas betapa sulit tak bergantung pada kedelai impor. Berbagai makanan berbahan kedelai selalu ada di meja makan mayoritas masyarakat. Tak aneh jika kebutuhan kedelai mencapai 2,8 juta ton per tahun. Padahal produksi lokal hanya mampu memenuhi 30 persennya.
Kebijakan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, yang belum lama ini mengatur kuota impor kedelai, juga aneh. Apalagi dia berdalih bahwa kebijakan pembatasan jatah impor kedelai itu bercita-cita mulia, yakni menghindari importir nakal. Importir akan diberi kuota bila mereka kredibel dan sudi membeli kedelai lokal dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah.
Nyatanya kebijakan ini punya banyak lubang yang bisa dimanfaatkan oleh beberapa importir. Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini menduga sejumlah importir memainkan kebijakan ini untuk mencekik pasokan kedelai di pasar. Ketika nilai tukar dolar terhadap rupiah melambung, sejumlah pemilik kuota sengaja menimbun stok kedelai impor. Mereka pun bersorak lantaran harga melonjak, semula di tingkat eceran Rp 7.000 per kilogram, kini Rp 9.500.
Peraturan menteri itu akhirnya dimainkan para spekulan. Korbannya pengusaha tahu dan tempe. Mereka menjerit, akhirnya mogok selama tiga hari. Kenaikan harga kedelai yang anomali itu sampai membuat Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo heran. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tahun ini hanya 11 persen, tapi harga kedelai jauh melejit melebihi persentase itu.
Sengkarut kebijakan ini ternyata menguntungkan para importir. Bila ditilik dari daftar importir pemegang kuota, tampaknya ada kongkalikong. Ada tiga perusahaan milik satu keluarga, kakak-adik. Ketiganya adalah PT Fishindo Kusuma Sejahtera (FKS) Multi Agro Tbk, PT Gerbang Cahaya Utama, dan PT Teluk Intan. Semua perusahaan afiliasi FKS ini, menurut sumber Tempo, menguasai 45 persen kuota yang dikeluarkan, yakni sebesar 584 ribu ton.
Untunglah sistem kuota yang diberlakukan sejak Mei lalu itu telah dicabut setelah dipersoalkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Harga kedelai berangsur turun. Namun publik tetap bertanya-tanya: mengapa kebijakan buruk itu bisa lolos? Sulit untuk tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan buruknya koordinasi antarmenteri serta lemahnya visi pemerintah dalam mengatasi kelangkaan kedelai.
Kebutuhan kedelai akan terus tumbuh. Pemerintah seharusnya punya strategi komprehensif untuk mengatasi problem laten ini. Jangan cuma bermimpi berswasembada kedelai atau mencekik impor—tapi tak membuat terobosan seperti memanfaatkan tujuh juta hektare lahan telantar. Riset perlu dihidupkan agar dalam jangka panjang petani mampu menanam benih seperti jenis kedelai impor. Petani perlu juga diberi insentif atau bahkan subsidi.
Selama strategi itu belum dilaksanakan, impor kedelai masih mustahil dihindari. Karena itu, Bulog bisa ditugasi sebagai penyeimbang harga. Caranya: mengimpor kedelai murah dari negara selain Amerika Serikat, seperti dilakukan Cina, agar tak bergantung pada kedelai negeri adidaya itu.
Para spekulan yang mengacaukan ketahanan pangan tak boleh didiamkan. Cabut saja izin kuota mereka. Kalau perlu, pidanakan mereka.
berita terkait di halaman 114
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo