DI tahun 1990, berapakah IQ anda? Di atas 125?
Jika demikian, kata sebuah cerita, anda akan tergabung dalam
mereka yang berkuasa. Suatu kepemimpinan yang tidak ditentukan
oleh darah ningrat, juga tak ditentukan oleh kekayaan, akan
terbentuk. Tiap orang ditentukan posisinya berdasarkan "IQ +
Ikhtiar"-nya. Yang direken tinggi berada di atas, yang rendah
dipijit ke bawah. Itulah "meritokrasi".
Tapi ini cuma dongeng ahli sosiologi Inggris Michael Young. Dan
menurut buku yang terbit di tahun 1958 itu, suatu perlawanan
kemudian akan terjadi. Sebab dulu, tiap kelas dan kelompok
sosial punya pemimpinnya sendiri. Dan betapa menekannya kini
ketika semua orang yang berbakat dijadikan suatu elite bersama.
Tak ada maaf bagi yang gagal. Yang tak memenuhi syarat ditolak.
Maka demikianlah di tahun 2034 kaum Populis berontak. Hidup,
kata para pelawan, tak boleh diatur oleh "ukuran matematis".
Tiap orang seharusnya mengembangkan kapasitasnya sendiri, yang
berbeda-beda, dalam hidupnya. Dan kaum Populis menang.
Meritokrasi rontok, meskipun buku itu disebut Tbe Rise of the
Meritocrace Michael Young nampaknya bukan seorang penganjur
jenis kekuasaan yang digambarkannya. Tapi benarkah kaum Populis
akan berontak bila dongeng itu benar-benar terjadi?
Mungkin itulah yang sadar atau tak sadar, dengan atau tanpa
Michael Young, jadi thema pemikiran sebagian besar orang tua
hari-hari ini, ketika mereka berdiri antre di depan loket
sekolah untuk anak mereka. Toh sebagian besar anak adalah anak
dengan kecerdasan dan prestasi rata-rata. Mereka memang disebut
"rata-rata" karena mereka merupakan mayoritas. Yang istimewa,
yang ekstrim cerdasnya-, yang di atas ratarata senantiasa
sedikit.
Yang sedikit ini mungkin akan dengan lebih mudah memasuki
universitas lalu keluar selamat dari sana. Mereka barangkali
akan lebih gampang pula dapat posisi bagus di kemudian hari.
Tapi bukan itu yang jadi soal sebenarnya.
Sebab siapa pun tahu, dunia akan selalu menyaksikan kelangkaan.
Ada posisi-posisi yang tak banyak tersedia. Ada
kenikmatan-kenikmatan yang tak akan terjangkau semua orang.
Dalam kondisi itu masyarakat manusia berkembang dalam sebuah
struktur kesempatan yang berbentuk piramida yang langka itu
selalu ada, dan yang langka itu -- karena langka -- akan cuma
dimiliki sedikit orang. Mereka yang "orang kebanyakan", akan
menyebar di bawah.
Kita memang maklum. Pada akhirnya pendidikan sekolah pun bukan
suatu tangga berjalan yang akan dengan mudah membawa seorang
anak ke pucuk piramida itu. Pendidikan, kata ahli ekonomi
Amerika, Lester Thurow, telah jadi "suatu keharusan defensif".
Orang-orang harus memperbaiki tingkat pendidikan mereka "sekedar
untuk memperuhankan posisi penghasilan mereka yang sekarang.
MAKA kecemasan kita bukanlah bahwa anak kita tidak akan jadi
orang-orang yang berada di pucuk hierarki sosial. Kecemasan
kita lebih bersahaja: bahwa dalam persaingan sengit itu
anak-anak kita akan tenggelam bahkan dari tingkat "manusia
rata-rata" sekalipun, dan hilang harga diri.
Bisakah itu dielakkan?
Ada seorang pandai yang membedakan rasa hormat dari pujian. Ia
bermimpi bahwa manusia mungkin dapat menciptakan suatu
masyarakat tempat semua orang berhak atas rasa hormat, dan harga
diri, meskipun tak semuanya berhak atas pujian.
Mungkin untuk itulah kaum Populis dalam dongeng Michael Young
berontak. Bukan untuk mencipukan masyarakat tanpa cemburu. Tapi
membebaskan diri dari suatu status sampah dalam got yang kekal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini