Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menuju 1987, dengan kue sekedarnya

Banyak tantangan yang harus diatasi golkar setelah meraih 246 kursi di DPR. pemerintahan yang didukung golkar kelihatannya tidak akan semudah dulu dalam mendapatkan dana untuk pembangunan. (nas)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK tantangan yang harus diatasi Golkar setelah meraih 246 kursi di DPR. Pertama-tama, pemerintahan yang didukung Golkar kelihatannya tidak akan segampang dulu dalam mendapatkan dana untuk pembangunan. Penerimaan dari minyak, yang meliputi 58% dari seluruh penerimaan negara dalam tahun anggaran ini misalnya, agak seret setelah harga minyak goyah di pasaran internasional. Produksi minyak Indonesia juga terpaksa dikurangi dari sekitar 1,5 juta barrel menjadi 1,3 juta barrel sehari. Sementara itu, penerimaan dari sektor ekspor bukan minyak masih belum bisa diandalkan. Agaknya melihat kenyataan itu pula, penamat ekonomi terkemuka, Kaptin Adisumarta menyarankan, agar pemerintah mengubah strategi dan politik pembangunannya. "Kalau dulu industrialisasi diarahkan untuk menggantikan impor semata, sekarang harus untuk ekspor," katanya. Artinya, harus berani membeli barang baku dan menjual hasil produksinya. Dengan kata lain, akan banyak kenikmatan yang dulu mudah, di masa datang ini harus ditinggalkan. Kue dan gula-gula zaman kaya minyak tak akan lebih gampang didistribusikan. Dalam kondisi seperti itu, tantangan yang cukup rumit diatasi ialah potensi konflik yang tumbuh dalam sejarah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Pertentangan ABRI-sipil -- yang pernah terjadi di masa silam -- kini memang sudah tidak terdengar ceritanya lagi. Ini tentu karena melemahnya posisi sipil. Tapi mungkin justru akan muncul sebagai masalah sesuatu yang tak datang dari sipil: bakal banyaknya anggota ABRI dari angkatan 45 yang akan menjalani masa pensiun. Menurut sumber TEMPO di Hankam, tahun 1982/1983 sekitar 100 perwira tinggi akan mengakhiri masa dinasnya. Sementara itu, ratusan pegawai negeri juga dari pejabat teras -- akan dipensiunkan. "PERSOALAN akan timbul karena mereka sebelumnya tahu banyak dan bisa berbuat apa saja, lantas tidak mempunyai kedudukan sama sekali," katanya. Bahkan tidak mustahil ada beberapa dari mereka akan mengambil sikap "berbalik" menghadapi rekan-rekannya yang masih duduk di pemerintahan. Tapi pengalaman adalah guru yang baik, dan di bidang ini para pemegang kekuasaan sudah punya pengalaman misalnya dengan kasus "Petisi 50". Beberapa langkah, kelihatannya sudah dipersiapkan untuk menghindari kemungkinan konflik itu. Misalnya dengan memberikan "porsi" lebih besar bagi Pepabri, organisasl yang menampung purnawirawan ABRI. Konon, organisasi ini akan lebih banyak mendapat kesempatan menyalurkan aspirasi politik ABRI. Alasan ini pula agaknya yang membuat Jenderal (Purn.) Daryatmo, bekas Kepala Staf Kekaryaan Hankam, tidak terlalu risau. "Mungkin hanya dalam pengalaman ada gap itu. Karena purnawirawan umumnya hasil revolusi fisik, dan generasi muda ABRI hasil pendidikan," katanya kepada TEMPO. Tapi bagaimana nanti? Kelihatannya masih ada beberapa potensi konflik lagi yang akan tetap menghantui pemerintah yang didukung Golkar dalam lima tahun mendatang ini. Potensi konflik agama, tegasnya Islam dan non-lslam, belum bisa dikatakan reda. Begitu pula isu kaya miskin dan masalah laten pribumi dan nonpribumi. Tentu saja karena kenyataan, bahwa masalah-masalah itu berakar jauh dalam sejarah. "Masalah-masalah tersebut barangkali masih sulit untuk diungkapkan secara terbuka ," kata Dr. Alfian. Ahli ilmu politik yang masih menjabat Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRK)-LIPI itu kepada TEMPO melihat, 'jelas dibutuhkan suatu studi yang mendalam untuk mengatasi atau setidaknya memperkecil masalah-masalah yang peka itu." Dalam hubungan itu, ia menunjuk gejala yang timbul selama kampanye tempo hari. "Masih banyak terlihat sikap dan tingkah laku emosional konfrontatif," katanya. Ini terutama nampak pada ucapan para politisi dan tindakan sementara pendukungnya. Telah muncul anggapan, seolah-olah agama menjadi monopoli kekuatan politik tertentu. "Pengungkitan emosi agama secara berlebihan bisa menggoyahkan solidaritas nasional," ucap Alfian. Namun ada juga yang lebih optimistis. Konflik itu agaknya tidak gampang meletus karena sifat orang Indonesia yang sangat "luwes" dalam soal agama. "Konflik baru timbul jika ada usaha menarik penganut agama yang satu ke agama yang lain," kata Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar. Ahli sosiologi agama yang menjabat Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu berpendapat, sebelum agama-agama besar masuk, suku di Indonesia sudah memiliki theologi sendiri."lkatan kekeluargaan dan kesukuan sering lebih penting dari ikatan agama," katanya. Bagaimana pandangan para ulama dan pemuka agama Islam sendiri? "Sebenarnya, umat Islam, selama dakwah-dakwahnya tidak diganggu atau dihalangi, tidak akan terjadi apa-apa," kata K.H. Syukri Gozali, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Umum MUI itu bahkan menganjurkan agar umat Islam menjaga Ukhuwab Islamiah, jangan sampai terjadi perpecahan antara umat Islam yang di PPP, Golkar atau PDI. Artinya, tambah Lukman Harun - salah seorang tokoh Islam dari Muhammadiyah -- yang dimaksud umat Islam bukan hanya orang yang termasuk dalam kelompok partai atau ormas Islam yang sekarang duduk di Partai Persatuan Pembangunan - (PPP). Lewat organisasi politik itu, Islam mencoba mengungkapkan amar ma'aruf nahi mungkar, menganjurkan yang baik dan mencegah yang salah. "Ini bukan sikap konfrontatif, tetapi pengungkapan rasa sayang," katanya. Namun ia juga mengakui, kesalahan Partai Islam dalam pengungkapannya kelihatan agak keras. "Tapi sebaliknya, yang di pemerintahan jangan menganggap kritikan itu sebagai sikap oposan," tambahnya. Menolak citra "oposan" ini juga disuarakan oleh tokoh lain. " Saya kira yang membuat citra dan gambaran Islam selalu menentang arus itu datang dari golongan lain," kata K.H. As'ad Syalusul Arifin, 86 tahun, ulama terkemuka dari Ja-Tim. Pemimpin pesantren Asembagus, Situbondo yang menjadi sesepuh NU itu juga menilai, sikap demikian timbul antara lain juga akibat kelemahan pemimpinnya. "Karena itu, NU sebagai organisasi Islam yang mempunyai potensi besar, berusaha memperbaiki para pemimpinnya yang sudah tidak mampu memikul beban umatnya," katanya. "Bahkan seharusnya menempatkan pemimpin Islam yang mengerti kiprah pemerintah . " Yang jadi soal, tentu, konflik yang potensial selama ini ternyata bukan cuma persoalan pemimpin. Ada dasar sosial-ekonomi yang sudah hadir berpuluh tahun. Ini terutama tampak dalam masalah "pri" dan "nonpri", yang tidak bisa dikatakan cuma problem Orde Baru. Demikianlah tetap laten pola "ekonomi kuat" dan "lemah" dalam hubungan nonpribumi dan pribumi. "Klau pemerintah berhasil mengatasi konflik kaya-miskin, kemungkinan konflik "pribumi-nonpribumi" itu akan terkurangi," kata Kwik Kian Gie, 47 tahun, Sekretaris Badan Kerja Harian Yayasan Prasetiya Mulya -- yayasan yang menghimpun pengusaha non-pri -- kepada TEMPO. Ketua bidang ekonomi Bakom PKB itu juga menilai, "nonpribumi" harus meninggalkan kelompoknya yang ekslusif dan menerima kenyataan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia. Usaha ini sedang dicoba Yayasan PrasetiyaMulya untuk lebih "mengindonesiakan" keturunan Cina yang ada di sini. Kecuali itu, tentunya perlu diikuti program-program asimilasi -- walau tidak terlalu efektif -- misalnya dengan perkawinan, tidak tinggal di daerah "pecinan", menerima kebudayaan setempat dan tidak hanya bergerak di bidang ekonomi. Ini dikatakan pula oleh suara lain. "Pemerintah harus merangkul mereka masuk ke dalam tata nilai bangsa," kata Dr. Moeljarto Tjokrowinoto, dosen Fakultas Sospol UGM kepada TEMPO. Pembauran dikatakan berhasil kalau sudah menyangkut segala hal, seperti pekerjaan, profesi, pendidikan dan lainnya. Tapi tentu mustahil bahwa pemerintah bisa menyelesaikan soal seperti ini dalam waktu 5 tahun -- karena umur masalah ini sendiri sudah sekitar 100 tahun Maka soalnya bukanlah berharap meniadakan sumber konflik, tapi mengelola tiap sengketa dengan damai. Persoalan ini cukup serius, justru menghadapi persiapan setelah 1987 nanti, ketika para pemimpin yang sekarang bertambah tua. Para pemimpin Orde Baru itu memang sudah membuktikan mampu memerintah tanpa terjadinya konflik-konflik besar, misalnya pemberontakan yang bertahun-tahun seperti masa sebelumnya. Kapasitas untuk mengelola konflik itu sekarang tentunya diharapkan akan terus ada di kemudian hari, setelah periode ini lewat. Tapi seperti dikatakan banyak pengamat, masih dirasa terlalu gasik untuk menilai, apakah landasannya sudah dipersiapkan sejak 1982 ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus