BANYAK tantangan yang harus diatasi Golkar setelah meraih 246
kursi di DPR. Pertama-tama, pemerintahan yang didukung Golkar
kelihatannya tidak akan segampang dulu dalam mendapatkan dana
untuk pembangunan.
Penerimaan dari minyak, yang meliputi 58% dari seluruh
penerimaan negara dalam tahun anggaran ini misalnya, agak seret
setelah harga minyak goyah di pasaran internasional. Produksi
minyak Indonesia juga terpaksa dikurangi dari sekitar 1,5 juta
barrel menjadi 1,3 juta barrel sehari. Sementara itu, penerimaan
dari sektor ekspor bukan minyak masih belum bisa diandalkan.
Agaknya melihat kenyataan itu pula, penamat ekonomi terkemuka,
Kaptin Adisumarta menyarankan, agar pemerintah mengubah strategi
dan politik pembangunannya. "Kalau dulu industrialisasi
diarahkan untuk menggantikan impor semata, sekarang harus untuk
ekspor," katanya. Artinya, harus berani membeli barang baku dan
menjual hasil produksinya.
Dengan kata lain, akan banyak kenikmatan yang dulu mudah, di
masa datang ini harus ditinggalkan. Kue dan gula-gula zaman kaya
minyak tak akan lebih gampang didistribusikan.
Dalam kondisi seperti itu, tantangan yang cukup rumit diatasi
ialah potensi konflik yang tumbuh dalam sejarah masyarakat
Indonesia yang majemuk ini. Pertentangan ABRI-sipil -- yang
pernah terjadi di masa silam -- kini memang sudah tidak
terdengar ceritanya lagi. Ini tentu karena melemahnya posisi
sipil.
Tapi mungkin justru akan muncul sebagai masalah sesuatu yang tak
datang dari sipil: bakal banyaknya anggota ABRI dari angkatan 45
yang akan menjalani masa pensiun. Menurut sumber TEMPO di
Hankam, tahun 1982/1983 sekitar 100 perwira tinggi akan
mengakhiri masa dinasnya. Sementara itu, ratusan pegawai negeri
juga dari pejabat teras -- akan dipensiunkan.
"PERSOALAN akan timbul karena mereka sebelumnya tahu banyak dan
bisa berbuat apa saja, lantas tidak mempunyai kedudukan sama
sekali," katanya. Bahkan tidak mustahil ada beberapa dari mereka
akan mengambil sikap "berbalik" menghadapi rekan-rekannya yang
masih duduk di pemerintahan.
Tapi pengalaman adalah guru yang baik, dan di bidang ini para
pemegang kekuasaan sudah punya pengalaman misalnya dengan kasus
"Petisi 50". Beberapa langkah, kelihatannya sudah dipersiapkan
untuk menghindari kemungkinan konflik itu. Misalnya dengan
memberikan "porsi" lebih besar bagi Pepabri, organisasl yang
menampung purnawirawan ABRI. Konon, organisasi ini akan lebih
banyak mendapat kesempatan menyalurkan aspirasi politik ABRI.
Alasan ini pula agaknya yang membuat Jenderal (Purn.) Daryatmo,
bekas Kepala Staf Kekaryaan Hankam, tidak terlalu risau.
"Mungkin hanya dalam pengalaman ada gap itu. Karena purnawirawan
umumnya hasil revolusi fisik, dan generasi muda ABRI hasil
pendidikan," katanya kepada TEMPO.
Tapi bagaimana nanti? Kelihatannya masih ada beberapa potensi
konflik lagi yang akan tetap menghantui pemerintah yang didukung
Golkar dalam lima tahun mendatang ini. Potensi konflik agama,
tegasnya Islam dan non-lslam, belum bisa dikatakan reda. Begitu
pula isu kaya miskin dan masalah laten pribumi dan nonpribumi.
Tentu saja karena kenyataan, bahwa masalah-masalah itu berakar
jauh dalam sejarah.
"Masalah-masalah tersebut barangkali masih sulit untuk
diungkapkan secara terbuka ," kata Dr. Alfian. Ahli ilmu politik
yang masih menjabat Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional
(LRK)-LIPI itu kepada TEMPO melihat, 'jelas dibutuhkan suatu
studi yang mendalam untuk mengatasi atau setidaknya memperkecil
masalah-masalah yang peka itu."
Dalam hubungan itu, ia menunjuk gejala yang timbul selama
kampanye tempo hari. "Masih banyak terlihat sikap dan tingkah
laku emosional konfrontatif," katanya. Ini terutama nampak pada
ucapan para politisi dan tindakan sementara pendukungnya. Telah
muncul anggapan, seolah-olah agama menjadi monopoli kekuatan
politik tertentu. "Pengungkitan emosi agama secara berlebihan
bisa menggoyahkan solidaritas nasional," ucap Alfian.
Namun ada juga yang lebih optimistis. Konflik itu agaknya tidak
gampang meletus karena sifat orang Indonesia yang sangat "luwes"
dalam soal agama. "Konflik baru timbul jika ada usaha menarik
penganut agama yang satu ke agama yang lain," kata Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar. Ahli sosiologi agama yang menjabat Dekan
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu berpendapat, sebelum
agama-agama besar masuk, suku di Indonesia sudah memiliki
theologi sendiri."lkatan kekeluargaan dan kesukuan sering lebih
penting dari ikatan agama," katanya.
Bagaimana pandangan para ulama dan pemuka agama Islam sendiri?
"Sebenarnya, umat Islam, selama dakwah-dakwahnya tidak diganggu
atau dihalangi, tidak akan terjadi apa-apa," kata K.H. Syukri
Gozali, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketua Umum MUI itu bahkan menganjurkan agar umat Islam menjaga
Ukhuwab Islamiah, jangan sampai terjadi perpecahan antara umat
Islam yang di PPP, Golkar atau PDI.
Artinya, tambah Lukman Harun - salah seorang tokoh Islam dari
Muhammadiyah -- yang dimaksud umat Islam bukan hanya orang yang
termasuk dalam kelompok partai atau ormas Islam yang sekarang
duduk di Partai Persatuan Pembangunan - (PPP). Lewat organisasi
politik itu, Islam mencoba mengungkapkan amar ma'aruf nahi
mungkar, menganjurkan yang baik dan mencegah yang salah. "Ini
bukan sikap konfrontatif, tetapi pengungkapan rasa sayang,"
katanya. Namun ia juga mengakui, kesalahan Partai Islam dalam
pengungkapannya kelihatan agak keras. "Tapi sebaliknya, yang di
pemerintahan jangan menganggap kritikan itu sebagai sikap
oposan," tambahnya.
Menolak citra "oposan" ini juga disuarakan oleh tokoh lain. "
Saya kira yang membuat citra dan gambaran Islam selalu menentang
arus itu datang dari golongan lain," kata K.H. As'ad Syalusul
Arifin, 86 tahun, ulama terkemuka dari Ja-Tim. Pemimpin
pesantren Asembagus, Situbondo yang menjadi sesepuh NU itu juga
menilai, sikap demikian timbul antara lain juga akibat kelemahan
pemimpinnya. "Karena itu, NU sebagai organisasi Islam yang
mempunyai potensi besar, berusaha memperbaiki para pemimpinnya
yang sudah tidak mampu memikul beban umatnya," katanya. "Bahkan
seharusnya menempatkan pemimpin Islam yang mengerti kiprah
pemerintah . "
Yang jadi soal, tentu, konflik yang potensial selama ini
ternyata bukan cuma persoalan pemimpin. Ada dasar sosial-ekonomi
yang sudah hadir berpuluh tahun. Ini terutama tampak dalam
masalah "pri" dan "nonpri", yang tidak bisa dikatakan cuma
problem Orde Baru.
Demikianlah tetap laten pola "ekonomi kuat" dan "lemah" dalam
hubungan nonpribumi dan pribumi. "Klau pemerintah berhasil
mengatasi konflik kaya-miskin, kemungkinan konflik
"pribumi-nonpribumi" itu akan terkurangi," kata Kwik Kian Gie,
47 tahun, Sekretaris Badan Kerja Harian Yayasan Prasetiya Mulya
-- yayasan yang menghimpun pengusaha non-pri -- kepada TEMPO.
Ketua bidang ekonomi Bakom PKB itu juga menilai, "nonpribumi"
harus meninggalkan kelompoknya yang ekslusif dan menerima
kenyataan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia.
Usaha ini sedang dicoba Yayasan PrasetiyaMulya untuk lebih
"mengindonesiakan" keturunan Cina yang ada di sini. Kecuali itu,
tentunya perlu diikuti program-program asimilasi -- walau tidak
terlalu efektif -- misalnya dengan perkawinan, tidak tinggal di
daerah "pecinan", menerima kebudayaan setempat dan tidak hanya
bergerak di bidang ekonomi.
Ini dikatakan pula oleh suara lain. "Pemerintah harus merangkul
mereka masuk ke dalam tata nilai bangsa," kata Dr. Moeljarto
Tjokrowinoto, dosen Fakultas Sospol UGM kepada TEMPO. Pembauran
dikatakan berhasil kalau sudah menyangkut segala hal, seperti
pekerjaan, profesi, pendidikan dan lainnya.
Tapi tentu mustahil bahwa pemerintah bisa menyelesaikan soal
seperti ini dalam waktu 5 tahun -- karena umur masalah ini
sendiri sudah sekitar 100 tahun Maka soalnya bukanlah berharap
meniadakan sumber konflik, tapi mengelola tiap sengketa dengan
damai.
Persoalan ini cukup serius, justru menghadapi persiapan setelah
1987 nanti, ketika para pemimpin yang sekarang bertambah tua.
Para pemimpin Orde Baru itu memang sudah membuktikan mampu
memerintah tanpa terjadinya konflik-konflik besar, misalnya
pemberontakan yang bertahun-tahun seperti masa sebelumnya.
Kapasitas untuk mengelola konflik itu sekarang tentunya
diharapkan akan terus ada di kemudian hari, setelah periode ini
lewat. Tapi seperti dikatakan banyak pengamat, masih dirasa
terlalu gasik untuk menilai, apakah landasannya sudah
dipersiapkan sejak 1982 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini