SATU persatu sampul tertutup itu dibuka dan dibaca di depan
hadirin. Isinya berita acara penghitungan suara daerah tingkat
I. Sekretaris Umum Panitia Pemilihan Indonesia Suprapto kemudian
menjelaskan tata cara dan hasil pembagian kursi DPR buat
masing-masing provinsi.
Ketua, para anggota PPI dan saksi kemudian menandatangani Berita
Acara Penetapan Hasil Pemilihan untuk Pemilihan Umum Anggota DPR
tahun 1982. Maka sahlah sudah hasil Pemilu 1982.
Jelas Golkar kini memang menang lagi, malah lebih meyakinkan
dibanding Pemilu 1977. Dalam DPR yang akan datang Golkar akan
memperoleh 246 kursi, PPP 94 dan PDI 24 dibanding dengan 232
kursi, 99 dan 29 di DPR yang sekarang. Mengapa Golkar kali ini
menang lebih telak? Mengapa PPP kalah di Jakarta dan PDI mundur
di beberapa daerah? Mengapa hasil pemilu terasa berbeda dengan
kesan dan harapan yang timbul tatkala kampanye masih
berlangsung?
"Golkar menang karena telah mempersiapkan diri selama lima
tahun. Ini yang sering dilupakan orang. Dan keberhasilan
pembangunan jelas membuat Golkar menang, bahkan melebihi Pemilu
1971," ujar Wakil Sekjen DPP Golkar Moerdopo.
Moerdopo agaknya berbicara secara umum. Tidak hanya persiapan,
Golkar juga jauh lebih unggul dalam organisasi, fasilitas, dana
dan strategi dibanding parpol. "Bodoh kalau partai pemerintah
yang punya segalanya sampai bisa kalah," ujar seorang pejabat
tinggi.
Namun walau "Golkar punya segalanya," ada beberapa faktor yang
membuat kemenangannya kali ini lebih.
Seperti juga pada dua pemilu sebelumnya, Golkar telah membuat
pengkajian mengenai tingkah laku pemilih Indonesia. Berdasar
kesimpulan bahwa sebagian besar pemilih Indonesia masih bersifat
tradisional dan paternalistis, artinya cenderung mengikuti
contoh pimpinan, disusunlah strategi kampanye Golkar. Dalam hal
ini Golkar memanfaatkan sekali jalur birokrasi yang dikuasainya,
khususnya Korpri. Lewat penggarapan yang matang dan rapi, dengan
berbagai "peragaan", suara pegawai negeri, karyawan perusahaan
negara dan keluarga ABRI, hampir seratus persen masuk ke Golkar.
Daerah yang dianggap kunci adalah Jakarta. Banyak yang
menganggap hasil pemilu di Ibukota, daerah paling bebas
tekanan, sebagai ukuran hasil pemilu yang sebenarnya. Pada
Pemilu 1977, di Jakarta PPP meraih lebih 44% suara, mengungguli
Golkar yang mendapat sekitar 39%.
"Semula kami memperhitungkan di Jakarta Golkar akan kalah lagi,"
ujar tokoh muda Golkar Sarwono. Peristiwa Lapangan Banteng 18
Maret 1982 rupanya merupakan titik balik.
Menurut Sarwono, semula Golkar akan menggunakan sukses
pembangunan sebagai thema kampanye secara nasional. Setelah
terjadi Peristiwa Lapangn Banteng, suatu "tim kecil" Golkar
mengkajinya dan menyusun taktik baru. Menurut hasil penelitian
mereka, masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk ini tidak
menyukai segala sesuatu yang bersifat eksklusif dan radikal.
"Kebetulan Peristiwa Lapangan Banteng itu menunjukkan sikap yang
seperti itu. Berdasar itu kami kemudian melancarkan kampanye
dengan thema nasionalisme, seperti penempelan stiker merah putih
dan sebagainya," ujar Sarwono.
GOLKAR kemudian memang memanfaatkan sekali peristiwa Lapangan
Banteng, yang rupanya berhasil mengubah citra PPP di mata
pendukungnya. Sebagian pemilih, terutama golongan yang sudah
mapan, beralih memberikan suara mereka pada Golkar. "Atau
menjadi golput," kata seorang pengamat.
Pihak PPP mengakui ini. Ridwan Saidi, Ketua Biro Kampanye PPP di
DKI mengatakan, penyebab turunnya jumlah suara partainya di
Ibukota antara lain karena faktor demografi banyaknya golongan
nonpribumi yang masuk ke Jakarta dan juga banyaknya pemilih PPP
yang pada saat pencoblosan pulang mudik ke daerah.
Namun faktor lain yang dianggap Ridwan paling menentukan adalah
berbaliknya sikap pemilih dari golongan menengah yang sudah
mapan, juga golongan atas, setelah menyaksikan kampanye PPP.
"Mereka tidak tergugah oleh menggebu-gebunya kampanye, tapi
justru mengambil jarak, bahkan berbalik," kata Ridwan.
Toh PPP masih tetap unggul di Aceh satu-satunya daerah. Di
provinsi ini dalam empat kami pemilu, sejak pemilu pertama pada
1955, partai Ka'bah tak pernah kalah. "Kami tak punya resep apa
pun untuk memenangkan PPP. Masyarakat pemilih memang dekat
dengan kami dan serasa senasib," kata Ghazali Amna, Ketua DPD
PPP Aceh. Pada Pemilu 1982 PPP merebut 59% suara dan Golkar 37%
dibanding 57% dan 41% pada pemilu sebelumnya.
PPP juga mencatat kemajuan di Sumatera Barat. Pada Pemilu 1977,
di daerah ini mereka memperoleh sekitar 32% suara dengan 5 kursi
DPR Pusat dan Golkar 66,5% suara dengan 9 kursi. Pada Pemilu
1982 PPP meraih lebih 40% suara dengan enam kursi DPR Pusat
dan Golkar turun menjadi 58% dengan delapan kursi. Tambahan
suara buat, PPP agaknya datang dari generasi muda dan mahasiswa.
"Bila saja PPP tidak mengalami keguncangan di pusat yang
merembet ke daerah, dan bisa lebih intensif mempersiapkan diri,
PPP bisa merebut lebih banyak suara," kata Chairul Harun,
komentator harian Singgalang.
Parpol terkecil, PDI, secara nasional terpukul telak, kehilangan
lima kursinya di DPR Pusat. Di beberapa daerah yang semula
diharapkan menang, ternyata hasilnya mengecewakan. Akibatnya
banyak calon, kebetulan yang berasal dari unsur non-PNI seperti
V.B. da Costa, Sabam Sirait, Alex Wenas dan John Tamahata, tidak
terpilih.
Kemajuan paling menyolok buat PDI adalah di Jawa Barat. Di sini
partai ini memperoleh jumlah suara dua kali lipat dibanding
Pemilu 1977: berarti enam kursi buat DPRD I dibanding tiga pada
masa sebelumnya. "Para pemilih kami kebanyakan datang dari
generasi muda. Mereka merupakan tenaga inti PDI Jawa Barat,"
kata Suparman Adiwidjaja, Wakil Ketua PDI Ja-Bar.
Yang mundur prestasinya di Jawa Barat adalah Golkar. Pada Pemilu
1971 dengan meraih 76%, Golkar Ja-Bar pernah dinyatakan sebagai
juara oleh DPP Golkar. Pada Pemilu 1977 angka-ini menurun
menjadi 66% dan pada Pemilu 1982 merosot lagi menjadi 63%. Di
daerah produksi pangan prestasi Golkar ternyata tetap tinggi. Di
Kabupaten Karawang misalnya malah naik dari 73% pada 1977
menjadi 80% pada 1982. Kemajuan ini, menurut perkiraan Kepala
Humas DPD Golkar Ja-Bar Barita Effendi Siregar, karena
keberhasilan pemerintah meningkatkan produksi pangan. Sektor
yang rawan buat Golkar ternyata daerah pinggiran, daerah
perindustrian dan daerah kaki lima. "Mungkin karena masih ada
ketimpangan yang tajam di daerah itu," lanjut Barita.
Di Jawa Tengah, banteng ternyata benar-benar gepeng. PDI Ja-Teng
dalam Pemilu 1982 kehilangan lebih setengah juta suara yang
berakibat hilangnya empat kursi DPR Pusat, dari 10 tinggal 6.
Menurut beberapa bekas tokoh PNI, merosotnya suara PDI karena
berbondong-bondongnya massa PDI pindah ke Golkar sebagai buntut
perpecahan dalam unsur PNI.
"Sebab utamanya adalah Soenawar Sukowati," kata seorang bekas
pimpinan PNI. Ketua Umum DPP PDI ini dianggap memecahbelah PDI
Ja-Teng. Di Kabupaten Karanganyar, misalnya, sampai ada tiga
cabang PDI. Ucapan Soenawar yang menolak marhaenisme dalam PDI
juga membingungkan warga bekas PNI. "Daripada bingung ya pindah
saja dari PDI," ujar sumber yang sama. Selain itu Golkar memang
tekun menggarap para bekas tokoh PNI tersebut, bahkan sampai
tingkat desa.
PDI juga terpukul di Daerah Istimewa Yogyakarta, padahal dalam
kampanyenya dianggap paling sukses, hingga banyak yang
optimistis parpol ini bisa meraih tiga kursi DPR Pusat dibanding
cuma satu yang ada sekarang. Ternyata kursi yang diraih tetap
satu, malah jumlah suara yang diraih turun dari 264 ribu menjadi
cuma 240 ribu. Menurut Sutarjo Suryoguritno, Wakil Ketua DPD PDI
DIY, kemunduran partainya ini bukan karena pendukungnya banyak
yang golput. Tapi kekalahan total PDI Yogya karena "penyimpangan
pihak lain", maksudnya oknum pejabat pemerintah yang seolah
takut atau curiga terhadap kebesaran dan perkembangan PDI.
Rasa kecewa juga menghinggapi banyak warga dan pimpinan PPP di
Sulawesi Selatan. Pada pemilu 4 Mei lalu PPP hanya meraih
sekitar 10% suara dibanding 14% pada 1982. "Merosotnya jumlah
suara PPP terutama karena kurangnya saksi-saksi di tempat
pemilihan," kata M. Yunus Tekeng, salah seorang tokoh muda PPP
Sul-Sel.
Lain lagi pendapat H. Tadjuddin Chalid, tokoh Golkar Sul-Sel.
Menurut dia, kenaikan suara yang diperoleh Golkar karena
ditunjang beberapa faktor. Pertama karena kecilnya jumlah suara
yang tidak sah (hanya 4,57%). Kedua: kematangan persiapan Golkar
sendiri yang dilakukan jauh hari sebelum pemilu. "Masyarakat
Sul-Sel yang bertahun-tahun hidup dalam suasana kekacauan
rupanya lebih membutuhkan rasa aman. Kini mereka sudah merasakan
enaknya hidup dalam suasana aman di bawah kepemimpinan Orde
Baru," ujar Tadjudin.
Mungkin pendapat seperti Tadjuddin benar. Namun sebuah
penelitian yang independen agaknya masih tetap diperlukan untuk
menjawab perubahan tingkah laku pemilih dari pemilu ke pemilu --
suatu hal yang penting terutama bagi yang menang. Sebab pemilu
memang bukan cuma pesta buat rakyat, ramairamai yang menelan
biaya serta korban. Pemilu yang baik adalah pemberi informasi
yang terpercaya tentang medan di hadapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini