Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hasil resmi sebuah informasi ... hasil resmi pemilu dan masa depan

Pengumuman hasil resmi pemilu 1982. tantangan-tantangan harus dihadapi dalam 5 tahun mendatang. rencana-rencana para calon anggota baru dan anggota-anggota yang tak terpilih lagi. (nas)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU persatu sampul tertutup itu dibuka dan dibaca di depan hadirin. Isinya berita acara penghitungan suara daerah tingkat I. Sekretaris Umum Panitia Pemilihan Indonesia Suprapto kemudian menjelaskan tata cara dan hasil pembagian kursi DPR buat masing-masing provinsi. Ketua, para anggota PPI dan saksi kemudian menandatangani Berita Acara Penetapan Hasil Pemilihan untuk Pemilihan Umum Anggota DPR tahun 1982. Maka sahlah sudah hasil Pemilu 1982. Jelas Golkar kini memang menang lagi, malah lebih meyakinkan dibanding Pemilu 1977. Dalam DPR yang akan datang Golkar akan memperoleh 246 kursi, PPP 94 dan PDI 24 dibanding dengan 232 kursi, 99 dan 29 di DPR yang sekarang. Mengapa Golkar kali ini menang lebih telak? Mengapa PPP kalah di Jakarta dan PDI mundur di beberapa daerah? Mengapa hasil pemilu terasa berbeda dengan kesan dan harapan yang timbul tatkala kampanye masih berlangsung? "Golkar menang karena telah mempersiapkan diri selama lima tahun. Ini yang sering dilupakan orang. Dan keberhasilan pembangunan jelas membuat Golkar menang, bahkan melebihi Pemilu 1971," ujar Wakil Sekjen DPP Golkar Moerdopo. Moerdopo agaknya berbicara secara umum. Tidak hanya persiapan, Golkar juga jauh lebih unggul dalam organisasi, fasilitas, dana dan strategi dibanding parpol. "Bodoh kalau partai pemerintah yang punya segalanya sampai bisa kalah," ujar seorang pejabat tinggi. Namun walau "Golkar punya segalanya," ada beberapa faktor yang membuat kemenangannya kali ini lebih. Seperti juga pada dua pemilu sebelumnya, Golkar telah membuat pengkajian mengenai tingkah laku pemilih Indonesia. Berdasar kesimpulan bahwa sebagian besar pemilih Indonesia masih bersifat tradisional dan paternalistis, artinya cenderung mengikuti contoh pimpinan, disusunlah strategi kampanye Golkar. Dalam hal ini Golkar memanfaatkan sekali jalur birokrasi yang dikuasainya, khususnya Korpri. Lewat penggarapan yang matang dan rapi, dengan berbagai "peragaan", suara pegawai negeri, karyawan perusahaan negara dan keluarga ABRI, hampir seratus persen masuk ke Golkar. Daerah yang dianggap kunci adalah Jakarta. Banyak yang menganggap hasil pemilu di Ibukota, daerah paling bebas tekanan, sebagai ukuran hasil pemilu yang sebenarnya. Pada Pemilu 1977, di Jakarta PPP meraih lebih 44% suara, mengungguli Golkar yang mendapat sekitar 39%. "Semula kami memperhitungkan di Jakarta Golkar akan kalah lagi," ujar tokoh muda Golkar Sarwono. Peristiwa Lapangan Banteng 18 Maret 1982 rupanya merupakan titik balik. Menurut Sarwono, semula Golkar akan menggunakan sukses pembangunan sebagai thema kampanye secara nasional. Setelah terjadi Peristiwa Lapangn Banteng, suatu "tim kecil" Golkar mengkajinya dan menyusun taktik baru. Menurut hasil penelitian mereka, masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk ini tidak menyukai segala sesuatu yang bersifat eksklusif dan radikal. "Kebetulan Peristiwa Lapangan Banteng itu menunjukkan sikap yang seperti itu. Berdasar itu kami kemudian melancarkan kampanye dengan thema nasionalisme, seperti penempelan stiker merah putih dan sebagainya," ujar Sarwono. GOLKAR kemudian memang memanfaatkan sekali peristiwa Lapangan Banteng, yang rupanya berhasil mengubah citra PPP di mata pendukungnya. Sebagian pemilih, terutama golongan yang sudah mapan, beralih memberikan suara mereka pada Golkar. "Atau menjadi golput," kata seorang pengamat. Pihak PPP mengakui ini. Ridwan Saidi, Ketua Biro Kampanye PPP di DKI mengatakan, penyebab turunnya jumlah suara partainya di Ibukota antara lain karena faktor demografi banyaknya golongan nonpribumi yang masuk ke Jakarta dan juga banyaknya pemilih PPP yang pada saat pencoblosan pulang mudik ke daerah. Namun faktor lain yang dianggap Ridwan paling menentukan adalah berbaliknya sikap pemilih dari golongan menengah yang sudah mapan, juga golongan atas, setelah menyaksikan kampanye PPP. "Mereka tidak tergugah oleh menggebu-gebunya kampanye, tapi justru mengambil jarak, bahkan berbalik," kata Ridwan. Toh PPP masih tetap unggul di Aceh satu-satunya daerah. Di provinsi ini dalam empat kami pemilu, sejak pemilu pertama pada 1955, partai Ka'bah tak pernah kalah. "Kami tak punya resep apa pun untuk memenangkan PPP. Masyarakat pemilih memang dekat dengan kami dan serasa senasib," kata Ghazali Amna, Ketua DPD PPP Aceh. Pada Pemilu 1982 PPP merebut 59% suara dan Golkar 37% dibanding 57% dan 41% pada pemilu sebelumnya. PPP juga mencatat kemajuan di Sumatera Barat. Pada Pemilu 1977, di daerah ini mereka memperoleh sekitar 32% suara dengan 5 kursi DPR Pusat dan Golkar 66,5% suara dengan 9 kursi. Pada Pemilu 1982 PPP meraih lebih 40% suara dengan enam kursi DPR Pusat dan Golkar turun menjadi 58% dengan delapan kursi. Tambahan suara buat, PPP agaknya datang dari generasi muda dan mahasiswa. "Bila saja PPP tidak mengalami keguncangan di pusat yang merembet ke daerah, dan bisa lebih intensif mempersiapkan diri, PPP bisa merebut lebih banyak suara," kata Chairul Harun, komentator harian Singgalang. Parpol terkecil, PDI, secara nasional terpukul telak, kehilangan lima kursinya di DPR Pusat. Di beberapa daerah yang semula diharapkan menang, ternyata hasilnya mengecewakan. Akibatnya banyak calon, kebetulan yang berasal dari unsur non-PNI seperti V.B. da Costa, Sabam Sirait, Alex Wenas dan John Tamahata, tidak terpilih. Kemajuan paling menyolok buat PDI adalah di Jawa Barat. Di sini partai ini memperoleh jumlah suara dua kali lipat dibanding Pemilu 1977: berarti enam kursi buat DPRD I dibanding tiga pada masa sebelumnya. "Para pemilih kami kebanyakan datang dari generasi muda. Mereka merupakan tenaga inti PDI Jawa Barat," kata Suparman Adiwidjaja, Wakil Ketua PDI Ja-Bar. Yang mundur prestasinya di Jawa Barat adalah Golkar. Pada Pemilu 1971 dengan meraih 76%, Golkar Ja-Bar pernah dinyatakan sebagai juara oleh DPP Golkar. Pada Pemilu 1977 angka-ini menurun menjadi 66% dan pada Pemilu 1982 merosot lagi menjadi 63%. Di daerah produksi pangan prestasi Golkar ternyata tetap tinggi. Di Kabupaten Karawang misalnya malah naik dari 73% pada 1977 menjadi 80% pada 1982. Kemajuan ini, menurut perkiraan Kepala Humas DPD Golkar Ja-Bar Barita Effendi Siregar, karena keberhasilan pemerintah meningkatkan produksi pangan. Sektor yang rawan buat Golkar ternyata daerah pinggiran, daerah perindustrian dan daerah kaki lima. "Mungkin karena masih ada ketimpangan yang tajam di daerah itu," lanjut Barita. Di Jawa Tengah, banteng ternyata benar-benar gepeng. PDI Ja-Teng dalam Pemilu 1982 kehilangan lebih setengah juta suara yang berakibat hilangnya empat kursi DPR Pusat, dari 10 tinggal 6. Menurut beberapa bekas tokoh PNI, merosotnya suara PDI karena berbondong-bondongnya massa PDI pindah ke Golkar sebagai buntut perpecahan dalam unsur PNI. "Sebab utamanya adalah Soenawar Sukowati," kata seorang bekas pimpinan PNI. Ketua Umum DPP PDI ini dianggap memecahbelah PDI Ja-Teng. Di Kabupaten Karanganyar, misalnya, sampai ada tiga cabang PDI. Ucapan Soenawar yang menolak marhaenisme dalam PDI juga membingungkan warga bekas PNI. "Daripada bingung ya pindah saja dari PDI," ujar sumber yang sama. Selain itu Golkar memang tekun menggarap para bekas tokoh PNI tersebut, bahkan sampai tingkat desa. PDI juga terpukul di Daerah Istimewa Yogyakarta, padahal dalam kampanyenya dianggap paling sukses, hingga banyak yang optimistis parpol ini bisa meraih tiga kursi DPR Pusat dibanding cuma satu yang ada sekarang. Ternyata kursi yang diraih tetap satu, malah jumlah suara yang diraih turun dari 264 ribu menjadi cuma 240 ribu. Menurut Sutarjo Suryoguritno, Wakil Ketua DPD PDI DIY, kemunduran partainya ini bukan karena pendukungnya banyak yang golput. Tapi kekalahan total PDI Yogya karena "penyimpangan pihak lain", maksudnya oknum pejabat pemerintah yang seolah takut atau curiga terhadap kebesaran dan perkembangan PDI. Rasa kecewa juga menghinggapi banyak warga dan pimpinan PPP di Sulawesi Selatan. Pada pemilu 4 Mei lalu PPP hanya meraih sekitar 10% suara dibanding 14% pada 1982. "Merosotnya jumlah suara PPP terutama karena kurangnya saksi-saksi di tempat pemilihan," kata M. Yunus Tekeng, salah seorang tokoh muda PPP Sul-Sel. Lain lagi pendapat H. Tadjuddin Chalid, tokoh Golkar Sul-Sel. Menurut dia, kenaikan suara yang diperoleh Golkar karena ditunjang beberapa faktor. Pertama karena kecilnya jumlah suara yang tidak sah (hanya 4,57%). Kedua: kematangan persiapan Golkar sendiri yang dilakukan jauh hari sebelum pemilu. "Masyarakat Sul-Sel yang bertahun-tahun hidup dalam suasana kekacauan rupanya lebih membutuhkan rasa aman. Kini mereka sudah merasakan enaknya hidup dalam suasana aman di bawah kepemimpinan Orde Baru," ujar Tadjudin. Mungkin pendapat seperti Tadjuddin benar. Namun sebuah penelitian yang independen agaknya masih tetap diperlukan untuk menjawab perubahan tingkah laku pemilih dari pemilu ke pemilu -- suatu hal yang penting terutama bagi yang menang. Sebab pemilu memang bukan cuma pesta buat rakyat, ramairamai yang menelan biaya serta korban. Pemilu yang baik adalah pemberi informasi yang terpercaya tentang medan di hadapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus