MARSUSI sudah mantap. Sekarang ia benar-benar jadi anggota DPR,
setelah tahun kemarin diangkat hanya untuk menggantikan rekan
separtainya. Bahkan pada 1977 gagal duduk di lembaga perwakilan
rakyat itu. Mulai dikenal sewaktu PDI pecah beberapa tahun lalu,
ketua DPD PDI Ja-Tim ini bertekad meningkatkan pengawasan
terhadap eksekutif.
Di Senayan, Jakarta, dia berjanji akan memperjuangkan
"pemerataan dan keadilan dalam berbagai segi". Marsusi, 48 tahun
kemudian berkata: "Kalau dulu saya mengajar di lembaga
pendidikan tinggi, sekarang ingin menjadi pendidik politik
rakyat."
Janji seperti itu juga dikemukakan Hartono Mardjono, 45 tahun,
dari F-PP. Sekarang masih anggota DPRD Tingkat I DKI Jakarta,
kelak ia ingin meningkatkan peranan legislatif, agar seimbang
dengan eksekutif. "Selama ini DPR belum sempat bicara secara
mendasar, sebaliknya terjerembab dalam soal-soal teknis,"
katanya.
Dia juga mengatakan perlu ada kemauan politik untuk menekan
korupsi. "Dan niatan itu terutama harus datang dari Golkar,"
katanya.
Tampilnya anggota baru, dan mudamuda, membikin Sayuti Melik
senang. Anggota F-KP berusia 74 tahun yang kedua belah matanya
terserang penyakit catarac ini berharap mereka lebih berani
bicara."Kalau tidak punya pendapat jangan ikut-ikutan, lebih
baik diam," katanya. Menurut pengamatannya, DPR selama ini
belum berfungsi banyak. Dalam menyusun RUU misalnya, bahannya
selalu datang dari pemerintah. "Bukan karena para anggota dewan
bodoh, tapi jangkauan kami memang masih terbatas. Sedang
pemerintah punya fasilitas dan peralatan lengkap," ujarnya.
Harapan-harapan baik juga dilontarkan oleh Imron Rosyadi, 66
tahun, yang kali ini juga tak bakal lagi mewakili F-PP. Dikenal
sebagai anggota DPR yang sangat menyetujui dwifungsi ABRI, ia
merasa "telah divonis mati dalam bidang politik formal" bersama
29 anggota F-PP dari unsur NU lainnya. Pernah ikut membentuk
Liga Demokrasi di zaman demokrasi terpimpinnya Bung Karno, Imron
yang duduk sebagai wakil rakyat selama 18 tahun ini menganggap,
DPR belum menggunakan hak-haknya secara baik, seperti hak
angket, hak budget, hak interpelasi.
Rachmat Muljomiseno, yang juga bakal pensiun dari keanggotaan
F-PP, setuju. Menurut dia, hak-hak DPR yang dilaksanakan barulah
hak bertanya dan hak amandemen. Lainnya, seperti hak budget dan
hak kontrol belum berjalan. "Tapi DPR memang difungsikan sampai
sebegitu saja," kata Rachmat. Sehari-hari Rachmat adalah
Direktur Bank Perdania, bekerjasama dengan Jepang.
Bagaimana untuk menjadi anggota DPR yang baik? Sabam Sirait yang
kali ini meleset meraih kursi anggota DPR untuk Sumatera Utara
punya resep. "Begini", katanya. "Paling sedikit harus membaca
beberapa koran, termasuk koran daerah, dan dua majalah, dalam
sehari. Dan jangan lupa giat membaca buku, terutama di bidang
kegiatannya."
Menurut Sekjen DPP PDI itu, kalau saja anggota DPR itu mau
bersungguh-sungguh, uang yang diterimanya setiap bulan itu harus
disalurkan sebagai berikut Rp 200.000 sebulan untuk membeli
koran, majalah dan buku. Gaji pokok anggota DPR sebanyak Rp
250.000. Ditambah dengan macam-macam tunjangan, seorang anggota
DPR rata-rata bisa membawa pulang Rp 750.000 sebulan. Tapi
pensiunnya paling banter Rp 200. 000 sebulan.
Tapi Sabam, kini 46 tahun, nampak tenang dan banyak ketawa.
Beberapa bulan yang lalu istrinya lulus dokter di Medan, namun
sampai sekarang belum bisa langsung praktek. Dia sendiri "akan
lebih memusatkan perhatiannya dalam partai, terutama untuk
mendidik kader-kader muda," katanya. Ada juga yang bilang,
jebolan Fakultas Hukum UI itu ingin kuliah lagi.
Bagi Husni Thamrin, 42 tahun, anggota DPR yang baik ialah yang
berpegang pada filsafat Jawa "sing bener ning yo pener" (benar
tapi juga tepat sasaran). "Benar tapi tidak tepat, akan menabrak
tembok, sedang tepat sasaran tapi tidak benar, itu oportunis,"
katanya. Tidak lagi terpilih sebagai anggota DPR, bekas Ketua
Umum KAPPI itu tetap akan aktif di bidang politik lewat
partainya.
Seperti yang lain, ia juga berpendapat perlunya DPR punya tenaga
ahli. Sedang kelemahan DPR yang menonjol, menurut dia, karena
fraksi mayoritas umumnya pegawai negeri, hingga mereka tidak
punya keberanian moral untuk melancarkan kritik, dan pengawasam
"Dengan begitu eksekutif semakin dominan," ujarnya.
Bisakah diharapkan DPR yang akan datang berubah? "Jangan
berharap akan ada perubahan radikal," ujar Krissantono, 36
tahun, tokoh muda Golkar yang terpilih jadi anggota dewan.
"Soalnya sekarang sudah ada landasan yang kokoh, setelah punya
pengalaman di masa lalu. Sekarang ini jangan lagi mengobarkan
soal mayoritas dan minoritas, yang penting kebersamaan," kata
anggota Kelompok Kerja Menteri P & K bidang PMP.
Sebagai anggota DPR, bekas Sekjen DPP KNPI ini nanti ingin
memajukan bidang pendidikan. "Setiap kali saya ke daerah, sering
saya saksikan anak-anak yang tidak bisa sekolah," tuturnya.
Lain lagi Jussac M.R. Wirosubroto dari F-KP. Bapak enam anak ini
belum punya rencana akan bekerja apa setelah pensiun dari DPR.
Ia masih menjabat Ketua PWI Cabang Yogya, meskipun korannya,
Pelopor Yogya, tak lagi beredar. Pernah jadi penasihat hukum
yang laris, wartawan yang di tahun 50-an suka menulis itu
berniat membikin novel lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini