Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gastrodiplomacy Sebagai Strategi Ekonomi

Kalau mau jadi negara maju, Indonesia harus serius menggarap strategi gastrodiplomacy-nya.

6 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gastrodiplomacy bukan hanya soal upaya memperkenalkan masakan suatu negara kepada publik di negara lain (national branding), tapi juga dengan dasar tujuan penguasaan pasar global.

  • Indonesia memiliki catatan sejarah bagaimana masakan memiliki posisi strategis dan menjadi bagian dari strategi pembangunan.

  • Upaya mempopulerkan masakan lokal juga harus diikuti dengan ikhtiar membentuk selera konsumen.

BELAKANGAN ini, pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, mulai bergeser dari masakan lokal/tradisional ke masakan cepat saji dan makanan internasional. Di hampir seluruh kota di Indonesia, restoran masakan cepat saji atau restoran kuliner asing dapat dengan mudah dijumpai, berbeda dengan restoran masakan lokal yang justru mulai sulit ditemukan.

Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian masakan lokal. Generasi muda (milenial, gen Z, dan gen alpha) mungkin saat ini lebih familier dengan masakan Korea (kim chi, oden, topokki, kimbab), Jepang (sushi/sashimi, yakiniku, sukiyaki), atau fast food ala Amerika Serikat (fried chicken, burger, sandwich, french fries) dibandingkan dengan masakan lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu muncul tantangan upaya melestarikan masakan lokal. Tapi bagaimana caranya? Mungkin menempatkan masakan lokal sebagai motor penggerak perekonomian lokal maupun nasional bisa menjadi jawabannya. Namun hal itu bisa dilakukan hanya kalau Indonesia sudah mulai serius menggarap upaya gastrodiplomacy-nya. Konsep ini bisa menjadi salah satu strategi ekonomi Indonesia untuk menjadi negara maju.

Terpinggirkannya masakan lokal oleh ekspansi makanan cepat saji dan makanan internasional salah satunya karena kesuksesan strategi diplomasi perut atau gastrodiplomacy negara-negara yang menggarap masakan sebagai garis depan ekspansi ekonominya.

Gastrodiplomacy merupakan sebuah bentuk diplomasi masakan (culinary diplomacy) yang bersifat government to public. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Paul Rockower (2011). Gastrodiplomacy bukan hanya soal upaya memperkenalkan masakan suatu negara kepada publik di negara lain (national branding), tapi juga dengan dasar tujuan penguasaan pasar global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelitian dari Nirwandi dan Awang (2014) menunjukkan bahwa, pada praktiknya, gastrodiplomacy tak hanya mengkomunikasikan aspek non-verbal, seperti makanan dan budaya. Praktik diplomasi perut ini harus turut serta mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang progresif, membentuk perilaku dan persepsi konsumen, serta menciptakan gelombang konvensi sosial pada negara yang dituju.

Amerika Serikat sejak dulu melakukan ekspansi ekonomi secara agresif melalui jaringan waralaba restoran cepat saji di seluruh dunia. Adapun Jepang, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam berekspansi melalui jaringan diaspora (non-state actor) di seluruh dunia. Penguasaan rantai pasok dan rantai nilai yang dilakukan mengendalikan harga produk, pasar, hingga selera global (Notohamijoyo: 2015).

Korea Selatan bahkan melakukan strategi gastrodiplomacy secara masif dan kreatif. Pencanangan “Korea Kitchen to The World” dan “Kimchi Diplomacy” pada 2002 dijalankan menggunakan strategi terintegrasi dengan jasa hiburan seperti musik (K-Pop), sinema (K-Drama), dan video game. Negeri Ginseng tersebut berhasil menciptakan fenomena global konsumsi produk Korea, termasuk masakan, yang sering disebut Hallyu atau Korean Wave.

Lalu, apa pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia dari kisah sukses negara-negara tersebut? Kita perlu secara kritis melihat bahwa Indonesia belum memiliki strategi khusus atau peta jalan untuk menjalankan gastrodiplomacy itu. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang sangat kaya, Indonesia memiliki ragam kuliner yang perlu dieksplorasi lebih jauh untuk memperkuat ekonomi lokal sekaligus bersaing di pasar global.

Di sisi lain, belum ada perhatian khusus dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk memperkuat kekhasan kuliner lokal secara terpadu. Akibatnya, pengusaha masakan lokal berjuang sendirian dalam menghadapi gempuran ekspansi budaya yang luar biasa.

Salah satu contohnya nasi gandul dari Pati, Jawa Tengah, yang baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Nasional oleh Kemendikbudristek pada 2024. Masakan tradisional khas Pati tersebut mendapatkan ancaman yang serius dari perkembangan masakan cepat saji sehingga tidak lagi menjadi pilihan utama masyarakat. Hal ini juga terjadi dengan makanan lokal di daerah lain.

Indonesia memiliki catatan sejarah bagaimana masakan memiliki posisi strategis dan menjadi bagian dari strategi pembangunan. Presiden Republik Indonesia pertama dan Bapak Proklamator, Soekarno atau akrab disebut Bung Karno, membuat program penyusunan buku resep masakan seluruh daerah di Indonesia berjudul Mustika Rasa yang diterbitkan pada1967.

Bagi Bung Karno, kuliner Indonesia tidak hanya menjadi masalah perut, tapi juga identitas sebuah negara. Dalam berbagai jamuan makan kenegaraan, ia selalu menginginkan sajian masakan Indonesia, misalnya soto, sate, gado-gado, hingga kudapan, seperti klepon, pukis, lemper, dan bika ambon. 

Keteladanan Soekarno dalam hal kuliner itu dilanjutkan oleh para penerus yang peduli terhadap kelestarian masakan lokal, seperti Murdijati Gardjito, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Murdijati aktif membuat riset dan buku tentang sejarah masakan Nusantara. Ada juga Ketua Ikatan Ahli Boga Indonesia Riau Dinawati, yang aktif mempopulerkan masakan khas Riau.

Namun yang jadi persoalan kemudian adalah soal standardisasi rasa. Masakan Indonesia sangat kaya cita rasa, sehingga sulit dibuat standarnya. Coba kita lihat produk kuliner soto. Upaya mempopulerkan sajian yang satu ini ke pasar internasional bukan pekerjaan mudah. Hidangan soto di setiap daerah sangat beragam, seperti soto Kudus, soto Lamongan, sroto Banyumas, coto Makassar, soto Banjar, dan soto Betawi. Promosi soto memerlukan pendekatan geografis dan story telling yang kuat sehingga menjadi daya tarik wisata masakan di masing-masing daerah.

Mempopulerkan Masakan Lokal

Upaya mempopulerkan masakan lokal juga harus diikuti dengan ikhtiar membentuk selera konsumen. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan proses edukasi dan diferensiasi yang intensif serta berkesinambungan. Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk memperkuat proses edukasi, diferensiasi, dan pemanfaatan media baru, termasuk media sosial.

Kisah sukses pemerintah Singapura mempromosikan masakan lokal kaki lima yang dijual di area terpusat (hawker center) patut dicontoh. Rangkaian promosi dilakukan berbarengan dengan penayangan film Crazy Rich Asian (2018) dan kedatangan koki internasional yang populer, seperti Anthony Bourdain serta Gordon Ramsay, membantu mempopulerkan street food Singapura.

Hasil kerja keras dan gotong royong lintas pemangku kepentingan tersebut membuahkan hasil dengan diterimanya street food Singapura masuk UNESCO Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity pada 2020.

Indonesia perlu lebih berfokus dalam memperkuat eksistensi masakan lokal melalui langkah-langkah afirmatif yang terukur dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Jaringan diaspora di luar negeri harus dipandang sebagai salah satu kekuatan.

Kita tidak boleh hanya puas atas hasil survei berbagai lembaga, seperti yang menempatkan siomai dan pempek sebagai favorit konsumen global (Taste Atlas: 2024). Begitu juga pemberian gelar sebagai makanan terenak dunia untuk rendang (CNN: 2021). Namun, pada kenyataannya, di dalam negeri, eksistensi makanan-makanan itu terus tergerus oleh masakan cepat saji.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus