BEBERAPA jam setelah Jenderal Mohammad Bukhari menikmati kursi kepresidenan hasil kudetanya, di Nigeria, barulah dia sadar: urusan pertama yang dihadapinya adalah utang US$ 1 milyar, yang pembayarannya jatuh tempo minggu itu. Negerinya memang punya minyak - yang menyumbang 90% kas negara - tapi sekarang penghasilan minyak sudah merosot 30%. Buru-buru Jenderal Bukhari mengirim delegasi ke Bonn, Paris, London, dan Washington, untuk mendapat kemurahan - bukan kemarahan - kreditornya. Kali ini dia untung - begitu pula Brazil, Meksiko, Argentina, dan Filipina, yang harus menunggak utangnya. Tidak demikian dengan Mesir satu setengah abad yang lampau. Sultan Ismail Pasha, yang sedang perang dengan negara tetangganya, Sudan, memerlukan utang untuk membiayai perangnya. Waktu itu belum ada "Eurodollar", dan belum ada kredit sindikat bank. Tapi Sultan berhasil mendapat kredit dari beberapa bank Inggris dan Prancis. Bank-bank ini mau memberi pinjaman karena Mesir punya kapas yang lagi bonafide sebagai jaminan. Tapi, tanpa diduga, harga komoditi yang paling bermlai bagi Mesir ini tiba-tlba jatuh pasaran. Penghasilan Mesir merosot - dan, ketika utang jatuh tempo, Mesir tak sanggup membayar. Inggris dan Prancis segera mendaratkan tentaranya di Mesir. Istana Sultan diserbu. Semua barang yang ada disita. Upeti, dan pungutan pajak dari rakyat, dirampas. Pada saat yang hampir sama, Turki juga ditimpa musibah yang sama - tak sanggup membayar utangnya yang jatuh tempo. Tentara Inggris, Prancis, dan Jerman langsung menyerbu negeri itu. Pada awal 1900-an, presiden AS, Theodore Roosevelt, jengkel sekali ketika Dominica dan Nikaragua, dua negara kecil di Amerika Tengah, tak mampu membayar utangnya. Roosevelt, yang agak nyentrik dan suka bertualang (waktu mudanya pernah jadi tentara kavaleri dan ikut perang melawan Spanyol) segera mengirim marinirnya menyerbu kedua negara itu. Mereka harus diberi pelajaran, kata Roosevelt, supaya tahu diri dan beradab. Dalam soal adab-beradab, mungkin dunia sekarang ini tak banyak berbeda dengan zaman Ismail Pasha dan Roosevelt. Hanya, sekarang ada Bank Dunia dan IMF. Mereka berperan sebagai penengah kalau terjadi konflik antara kreditor dan debitur. Debitur biasanya menuntut pembayaran utangnya ditunda, dan kalau bisa bunganya diturunkan atau dihapus sama sekali. Sebelum ada keputusan, biasanya IMF diminta meneliti ekonomi si debitur. Bahkan ikut membantu memberi tambahan utang - tentu saja dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. IMF lalu memberi sejumlah resep untuk ekonomi si debitur yang lagi sakit. Resep itu biasanya sama saja: ketatkan anggaran belanja jangan bikin pengeluaran yang tak sepadan dengan penerimaan naikkan suku bunga dan ketatkan kredit (karena ekonomi yang sakit, biasanya disertai suhu inflasi yang tinggi): lepaskan kurs mata uang dl pasaran, dan kalau perlu lakukan devaluasi: hapuskan semua bentuk subsidi, supaya beban tidak berat. Resep IMF ini memang terasa pahit. Kegiatan ekonomi bisa terhenti, pengangguran bertambah, dan pendapatan turun, ketika ekonomi mengalami proses penataan kembali. Hanya dengan keberanian yang luar biasa satu pemerintah melakukan apa yang diminta IMF dan menghadapi risiko dan konsekuensi politis di dalam negeri. Banyak yang tak suka dengan resep IMF ini. Kalau pengangguran yang diakibatkan pengetatan ekonomi itu meluas, dan menimbulkan kekacauan politik yang parah, apa untungnya mematuhi IMF? Tapi suka atau tidak, herannya, negara yang melaksanakan resep IMF dengan cepat merasakan hasilnya. Brazil, Argentina, dan Filipina, misalnya, dalam waktu relatif singkat berhasil membenahi ekonominya dan sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ini menimbulkan harapan bagi para kreditor, bahwa uangnya yang dipinjamkan tak akan hilang begitu saja. Mereka malah kemudian menambah konsesi kepada negara-negara ini. Dewasa ini jumlah utang Dunia Ketiga kepada negara industri dan bank-bank komersial negara industri diperkirakan sudah mencapai US$ 800 milyar. Jumlah -yang mendekati 10 kali GNP Indonesia - itu masih merupakan momok karena, bila tak bisa dikembalikan oleh para debitur, akan bisa menimbulkan krisis keuangan global. Dan ancaman krisis ini tak akan lewat sebelum Dunia Ketiga berhasil meningkatkan ekspornya, padahal, kecuali di AS, pemulihan ekonomi Eropa Barat dan Jepang masih adem ayem saja. Ditambah lagi AS mulai main-main dengan proteksionisme. Bisa dimengerti kalau sikap AS akhir-akhir ini mulai njlimet tentang kuota dan tentang peraturan "negeri asal" untuk impor tekstil, misalnya, yang sangat menjengkelkan. Untunglah, sekarang mulai terdengar pendekatan baru yang mungkin bisa membantu Dunia Ketiga keluar dari lingkaran setan yang sumpek ini. Ide pertama berasal bukan dari siapasiapa tapi dari gubernur Bank Sentral Amerika Paul Volcker. Volcker, yang kata-katanya bisa menaikturunkan kurs dolar seperti yang terbukti akhir bulan lalu, tak melihat pemecahan masalah utang Dunia Ketiga ini kecuali dengan penurunan tingkat bunga oleh bank-bank kreditornya. Dia pernah memperingatkan para bankir: Kalau Anda tak menurunkan suku bunga, dan Dunia Ketiga tak sanggup membayar utang mereka, akibatnya bisa serius. Beberapa bankir rupanya jera juga mendengar peringatan Volcker ini: kreditor Brazil menurunkan bunganya dari 2% di atas Libor menjadi 1/8% di atas Libor. Satu PN Meksiko berhasil membujuk kreditornya di luar negeri untuk menerima sebagian pembayaran utangnya dalam mata uang lokal. Konsesi ini masih terbatas dan belum meluas. Dan memang sulit bagi bank untuk memberi keringanan pembayaran utang bila ongkos dana yang dikumpulkan dari pasar uang masih tinggi. Barangkali ada baiknya para bankir merenungkan satu ide yang baru-baru ini dikemukakan oleh seorang ahli moneter dan bankir terkemuka di Wallstreet. Robert Rosa mengusulkan agar negara yang mematuhi pembayaran utang dan bunganya diberi hadiah. Hadiahnya? Potongan bunga 1% atau 1,5% untuk pembayaran cicilan tahun berikutnya. Tapi, sekarang ini berapa banyakkah negara yang masih memenuhi kewajiban membayar utangnya tepat pada waktunya? Indonesia merupakan satu kekecualian, barangkali. Tapi ini pun mungkin berubah. Di depan Komisi APBN DPR baru-baru ini Menteri Keuangan Radius Prawiro mengungkapkan bahwa rasio pembayaran utang Indonesia (DBS) kini membentur 20%. Lampu kuning? Bisa menjadi merah kalau pasaran minyak tak ada perbaikan dan ekspor di luar minyak terus menghadapi saingan dan proteksionisme. Dan beban Rp 3,5 trilyun yang harus disisihkan untuk pembayaran utang luar negeri tahun ini terasa menjadi lebih berat lagi. Semoga saja proyeksi Wharton Econometrics Association dari Universitas Pennsylvania, AS, tentang utang luar negeri Indonesia akan meleset, dan utang Indonesia pada akhir Pelita IV nanti tak akan mencapai US$ 40 milyar dari jumlah sekitar US$ 30 milyar sekarang ini. Tapi seandainya (ini omong kosong) suatu saat pemerintah Indonesia tak sanggup membayar utang ke luar negeri dan harus menundanya, apa yang akan terjadi? Yang terang, Amerika tak akan mendaratkan marinirnya di Ancol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini