Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi antariksa ronald reagan mimpi antaraiksa ronald reagan

Perang bintang atau strategic defense initiative (sdi) yang dicanangkan reagan mengundang reaksi keras. berbagai percobaan telah dilakukan. dengan menggunakan teknologi sinar laser.(sel)

13 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Ronald Reagan memperkenalkan impiannya dua tahun lalu, pers Amerika segera menjuluki gagasan sistem pertahanan di antariksa sebagai Star Wars. Ketika itu 23 Maret 1983 - hanya setengah jam setelah Parlemen AS memotong lebih dari separuh rencana anggaran pertahanan yang diusulkan sang presiden. Dilengkapi peta grafik dan berbagai foto udara. Reagan naik mimbar televisi, berusaha membuktikan keunggulan Soviet yang katanya mengancam perdamaian. Karena itu, "Pemotongan atas pengeluaran militer tak boleh dilakukan, kecuali secara serius diinginkan untuk membahayakan keamanan negara." Dalam pidatonya yang berapi-api itu, Presiden kemudian mengajak rakyatnya bermenung: "Bagaimana kalau rakyat yang merdeka bisa hidup dengan aman, meyakini bahwa keamanan itu tidak hanya bergantung pada kemampuan kita mengancam kemungkinan serangan nuklir Uni Soviet dengan pembalasan seketika, tapi juga bahwa kita bisa menyergap dan menghancurkan misil balistik sebelum misil itu mencapai daratan kita atau wilayah sekutu kita?" Reagan menggambarkan perkembangan teknologi masa kini mempunyai potensi mewujudkan keinginan itu, dengan mengembangkan suatu sistem pertahanan di antariksa. Maka, ia mengajak kalangan ilmuwan untuk "memberikan kepada Amerika Serikat sarana yang bisa diandalkan dan membuat semua senjata nuklir mubazir." Itu baru kejutan. * * * Segera saja gagasan Presiden itu, yang olehnya digambarkan sebagai "harapan baru bagi keturunan kita pada abad ke-21", menimbulkan reaksi luas. Moskow menuduh Reagan, "memperpanjang perlombaan senjata dan meneruskannya hingga abad ke-21." Para ilmuwan sebaliknya meragukan kelayakan gagasan itu - dan banyak rekan Reagan separtai (Republik) ngedumel. "Agak berlebihan," komentar Robert Michael, ketua fraksi di Parlemen, yang turut mempertahankan anggaran pertahanan dari serangan Fraksi Demokrat. "Orang mendapat kesan bahwa (kaum Republik) agak tergila-gila pada anggaran pertahanan itu." Sedangkan Jim Leach, anggota Republik lain, khawatir gagasan koleganya itu menjadi penghalang perundingan perlucutan senjata. "Sangat gegabah jika menganggap . . . bahwa para ilmuwan, dengan suatu cara, bisa mengembangkan teknologi baru yang mampu melumpuhkan senjata mengerikan hasil penelitian abad ke-20," kata Leach. Tapi membuat kejutan agaknya memang bagian dari gaya bekas bintang film ini. Gagasan ekonomi barunya, misalnya, selalu siap mengayunkan senjata. Invasi Amerika di Grenada, tarik uratnya dengan Libya, ancamannya kepada pemerintah Nikaragua, dan kini sistem pertahanan di antariksa, semua itu justru membuatnya populer - kata beberapa psikolog yang sempat mengkaji kepribadian orang pertama Amerika Serikat ini. Masyarakat modern membutuhkan kehadiran tokoh yang penuh ga-.rah dan bervariasi, pemimpin yang bisa meyakinkan bahwa kehidupan hanya bisa dihadapi dengan penuh optimisme, bukan dengan keluhan, apalagi ratapan, atau rasa iba. Ketika Februari lalu Presiden ini kembali menawarkan pikirannya itu dalam pidato kenegaraannya, optimisme itu memang bahan utama. "Apa pun mungkin - bila kita punya keyakinan, kemauan, dan keberanian," ujarnya di tengah tepuk tangan riuh para anggota Kongres, para menteri, dan para undangan terhormat lain. Sampai-sampai defisit anggaran belanja tak disinggung sama sekali. Pidato Reagan itu sebenarnya mengantar rencana anggaran belanja negara yang dua hari sebelumnya ia serahkan kepada Kongres. Berkata Reagan membela anggaran pertahanannya yang melambung, "Tekad kita membangun pertahanan yang kuat mempengaruhi Uni Soviet untuk kembali ke meja perundingan." Tekad itu antara lain mencakup bertegangnya Reagan mempertahankan misil balistik MX dan gagasan Star Wars. "Tekad apa," tanya George F. Kennan agak sinis. Bekas duta besar AS di Uni Soviet itu dalam sebuah tulisan awal bulan lalu berkata, "Lebih masuk akal menilai keputusan Uni Soviet untuk kembali berunding itu karena perkiraan Moskow bahwa Reagan - menghadapi masa pemerintahannya yang kedua - akan bersungguh-sungguh melanjutkan upaya perlucutan senjata dan meredakan ketegangan hubungan kedua negara. Tambahan lagi, Soviet agaknya menyadari ketidakhadiran mereka di meja perundingan sangat dimanfaatkan oleh propaganda anti-Soviet." Lebih lanjut Kennan, yang kini pensiunan profesor di Universitas Princeton, New Jersey, berujar, "Bahkan, lebih mendasar ialah kemungkinan bahwa pimpinan Soviet sendiri juga merasa, meneruskan perlombaan senjata tak menguntungkan siapa pun - dan karenanya, demi kepentingan mereka sendiri, dengan segala upaya berusaha mengakhirinya." Tapi Reagan tetap meyakini kebenaran kesimpulannya dan dengan bahasa yang paling berkharisma, dalam pidato kenegaraannya, ia kembali menawarkan idam-idamannya mengenai suatu pertahanan nonnuklir di antariksa. "Peluang abad nuklir yang paling banyak mengandung harapan," ujarnya penuh pesona - meski cepat ia sambung, "tapi yang belum banyak dipahami orang." Salah satu bukti "ketidakpahaman orang" itu tergambar pada julukan Star Wars itu - yang, menurut Reagan dan para pendukungnya, membuat gagasan yang penuh damai itu jadi tampak agresif. Reagan sendiri pernah mengeluh, "Saya harap siapa pun yang menciptakan julukan itu mau mencabutnya kembali karena itu menimbulkan gambaran palsu tentang apa yang kita bicarakan." la sendiri akhirnya pinjam istilah Pentagon, dan menamakan impiannya itu Strategic Defense Initiative (SDI) oleh USIS, biro penerangan AS, di Jakarta diterjemahkan menjadi Prakarsa Pertahanan Strategis (PPS). Januari lalu, di majalah The New York Times Magazine muncul sebuah artikel berjudul Pertahanan diAntariksa bukanlah Star Wars. Artikel itu ditulis Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional pada masa Jimmy Carter. Ia menulis artikel itu bersama Robert Jastrow, ahli fisika dan pendiri Lembaga Goddard untuk Pengkajian Antariksa, dan Max M. Kampleman, yang kini memimpin delegasi AS dalam perundingan perlucutan senjata di Jenewa. Mereka menyayangkan, argumentasi dalam perdebatan nasional mengenai gagasan PPS itu tidak lagi realistis. Padahal, menurut mereka, gagasan itu perlu ditanggapi secara serius. "Menangkal suatu serangan nuklir janganlah dilihat sebagai khayalan ilmiah (science fiction)," kata mereka. Betapa orang tidak akan menganggapnya suatu impian science fiction ? Meski teknologinya masih dalam tahap pengembangan awal sekali, baik lawan maupun pendukung gagasan Reagan itu sama membayangkan sistem pertahanan seperti itu sebagai suatu jaringan terpadu puluhan satelit di antariksa, yang masing-masing mampu menyebarkan berkas sinar maut ke arah sasaran. Sinar maut itu tentunya berasal dari senjata laser dan sejenisnya - inilah awal mimpi Reagan. Tapi kenyataan teknologi laser itu bagaimana, saat ini? * * * Laser (singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, atau Penguatan Cahaya oleh Pancaran Sinar yang Dirangsang) ialah alat yang mampu membangkitkan seberkas cahaya terpadu berdaya tinggi, yang sinarnya sejajar dan beriak gelombang tunggal. Kemungkinan memanfaatkan laser sebagai senjata sudah dibayangkan kalangan militer sejak para ilmuwan menciptakannya pada tahun 1960. Berbeda dengan cahaya lampu pijar biasa, yang terdiri dari sinar beraneka riak gelombang yang menghambur secara rambang ke segala jurusan, seberkas laser terdiri dari sejumlah sinar dengan riak gelombang seragam yang saling memperkuat, dan merambat sederap dan sejajar. Berkas sinar itu berdaya sangat kuat karena energinya yang terpadu: juga mudah dipitar pada sasaran, sekalipun pada jarak ribuan kilometer. Karena merambat dengan kecepatan cahaya, dan hampir tidak membaur, ia bahkan berpotensi untuk melubangi kulit misil musuh, menghancurkan peralatan pengendali misil itu, dan melumpuhkan muatan kepala nuklirnya. Tapi sementara ini - terkecuali sejumlah uji coba oleh kalangan militer laser, karena sifatnya itu, secara luas sudah dimanfaatkan dalam bidang pembedahan, laboratorium ilmiah, industri, dan lingkungan militer untuk mengancang-ancang jarak dan mengendalikan bom atau roket. Di antara sekian banyak jenis laser terutama dibedakan oleh jenis bahan yang dipergunakan - kini laser kimiawi yang menggunakan gas fluorin dan hidrogen merupakan yang paling berdaya. Meski begitu, sebuah laser pembasmi misil harus jauh lebih kuat lagi - bahkan 10 kali lebih kuat dari laser kimiawi yang pernah dipakai angkatan udara AS dalam uji coba senjata pemusnah satelit. Juga karena laser semacam ini umumnya menghasilkan sinar beriak gelombang panjang, dan ini pada jarak jauh mudah menghambur. Akibatnya, untuk bisa menembus kulit misil, misalnya, berkas sinar harus membakar selama tujuh detik - sebelum tembys. Sialnya, dalam waktu sesingkat itu, misil musuh sudah naik sekitar 30 kilometer. Maka, laser kimiawi itu bukanlah calon kuat untuk sistem yang didambakan Reagan. Masalah lain ialah penempatan laser itu. Karena berkas sinarnya merambat lurus, tak bisa mengikuti lengkungan permukaan bumi, laser hanya efektif bila diberi tempat di antariksa. Tapi ini mengharuskan penempatan sebuah armada satelit pembawa senjata laser di antariksa yang, bila diperkirakan, jumlahnya harus berkisar antara 100 dan 1.600 buah. Suatu sistem yang sangat kompleks dan sukar dikelola, tentunya. Ada gagasan menempatkan peralatan laser itu di darat - dan memantulkan berkas sinar mautnya melalui suatu sistem cermin yang dipasangkan pada sejumlah satelit di antariksa. Laser yang dipergunakan sejenis dengan yang bekerja dengan suatu reaksi kimiawi yang agak berbeda, tapi yang memerlukan peralatan pembangkit energi yang sangat besar dan berat. Itu juga alasan tambahan penempatannya di darat. Tapi juga sistem seperti itu tak banyak didukung para ilmuwan dan ahli teknik, sekalipun yang sangat bergairah terhadap gagasan Presiden itu. Edward Teller, misalnya, ahli fisika dan Bapak Bom Hidrogen, seorang pendukung kuat gagasan Reagan,menganggap sistem dengan laser kimiawi itu tidak layak dan terlalu mahal. Agaknya, satu-satunya calon laser yang layak ialah laser sinar-X, suatu alat yang pada tahun 1975 masih merupakan suatu konsep hipotetis yang belum diketahui penggunaannya. Tulis Dr. Arthur L. Schawlow, ahli fisika dari Universitas Stanford, dalam Encyclopedia Britannica tahun 1975: "Tampaknya, mungkin pada akhirnya dirakit sejenis peralatan yang bisa menyinarkan sinar-X.... Kegunaannya saat ini belum bisa dibayangkan." Schawlow, yang pernah mendapat hadiah Nobel (fisika) untuk upayanya dalam pengembangan teknologi laser, baru membayangkan kemungkinan penggunaannya untuk holografi. Maka, laser sinar-X itu - meski Reagan sendiri tak pernah merinci jenis senjata yang ia impikan - rnuncul sebagai calon terkuat dalam sistem pertahanan yang dimaksud. Cikal bakal sinar laser - seperti berbagai jenis gas, cairan, ataupun zat padat - harus "dipompa" dengan energi yang berasal dari panas, cahaya, listrik, atau suatu reaksi kimiawi. Tapi sumber energi itu harus juga membentuk dua bagian elektron dalam bahan laser itu, yang masing-masing berbeda aras (tingkat) energinya. Satu bagian didorong ke aras berenergi tinggi, sementara yang lain dibiarkan berenergi normal. Itu memungkinkan elektron dari aras energi tinggi surut kembali ke aras energi normal. Dalam proses surut itu, elektron memancarkan foton, unsur renik pembawa cahaya. Jika ke dalam sistem seperti itu dimasukkan sedikit saja energi tambahan, terjadilah suatu banjir foton, yang kemudian muncul sebagai radiasi laser. Peranti laser paling awal menghasilkan radiasi sinar beriak gelombang panjang. Tapi belakangan disadari para ilmuwan: cahaya beriak gelombang pendek - seperti cahaya ultraungu atau sinar-X melahirkan berkas laser berenergi tinggi, energi yang bisa dimanfaatkan untuk membinasakan suatu sasaran. Namun, membuat berkas laser sinar-X ternyata luar biasa sulitnya. "Hambatan utama ialah kebutuhan energi masukan yang sangat besar," ujar George Chaplaine, yang sudah hampir satu dasawarsa memimpin sebagian besar riset bidang itu di Lawrence Livermore National Laboratory. Di antara sejumlah laboratorium di Amerika Serikat yang terjaga amat ketat karena terlibat penelitian teknologi termaju, peranan Livermore Laboratory di Livermore, California - sangat menonjol, terutama di bidang penelitian laser sinar-X. Februari 1981 Livermore sempat menguji coba sebuah laser sinar-X dengan masukan energi yang berasal dari bom nuklir. Dalam kebanyakan laser, proses surutnya kembali elektron ke aras berenergi rendah berlangsung cukup pelan, sehingga energi masukan dengan mudah bisa mengejar derap proses itu. Tapi proses yang menghasilkan laser sinar-X jauh lebih cepat. Demikian cepatnya, sehingga untuk menghasilkan seberkas laser sinar-X diperlukan energi masukan yang sangat tinggi, dan dalam waktu sececah dari satu detik. Bagi kebanyakan laboratorium, menghasilkan denyutan energi seperti itu di luar kemampuan mereka. Tapi Livermore bisa memanfaatkan sumber tenaga seperti bom nuklir, yang bagi laboratorium lainnya terlarang. Uji coba yang dilakukan Livermore itu, bagian dari suatu program sangat rahasia bernama Dauphin, sempat diberitakan majalah Aviation Week and Space Techno/ogy. Majalah yang oleh sementara kalangan secara sinis dinamakan Aviation Leak (membocorkan rahasia penerbangan) itu juga mengungkapkan, Livermore meneliti kemungkinan pemakaian laser sinar-X itu sebagai calon senjata dalam sistem antimisil-balistik (AMB). Januari lalu George A. Keyworth ll, penasihat Presiden Reagan di bidang ilmu dan teknologi, secara terbuka memberi selamat kepada Livermore atas keberhasilan mereka menguji coba laser sinar-X dengan masukan energi yang berasal dari bom nuklir. Energi dahsyat yang dihasilkan ledakan nuklir itu merupakan energi masukan yang terubah menjadi sinar-X oleh sejumlah batangan yang menjorok ke segala jurusan pada bom itu. Batangan itu, berupa tabung-tabung berisikan bahan laser (berkemungkinan sejenis gas), dengan suatu mekanisme bisa dipitar ke arah sasaran masing-masing. Saat ledakan terjadi, setiap batang memancarkan berkas laser sinar-X dengan kekuatan dahsyat - hanya sesaat sebelum batang itu sendiri musnah dalam ledakan. Tapi "sesaat" itu sudah cukup untuk melabrak sasaran musuh. Senjata idealkah peranti laser sinar-X itu? Belum tentu - tulis majalah Time baru-baru ini. Secara teoretis senjata laser bisa ditempatkan di antariksa tapi itu berarti sama dengan menyiagakan 1.400 bom nuklir di luar angkasa, yang beredar dalam orbit rendah di atas wilayah Uni Soviet, menghadang setiap misil Soviet yang bakal muncul. Berkata Cory Coll, yang memimpin suatu tim riset masalah PPS itu di Livermore Laboratory, "Secara politis, saya kira penempatan bom (nuklir) dalam orbit kurang bisa diterima." Tapi senjata laser sinar-X rupanya tidak direncanakan untuk ngetem (alias ngendor - di orbit. Kata Chaplaine agak jengkel, "Saya kira sudah cukup jelas bahwa tidak lagi dipertimbangkan pemakaian satelit sebagai landasan senjata." Menurut Chaplain, senjata penangkis seperti yang ia rencanakan baru diluncurkan ke antariksa setelah musuh melancarkan serangannya. Bagaimana caranya, tidak dirincinya. "Mungkin menggunakan misil," katanya. Perkiraan yang paling layak: jika misil itu diluncurkan dari kapal selam yang berada di dekat pantai Uni Soviet. Tapi ini pun bukan tanpa problem, tulis Time. Mengirim perintah peluncuran dari Washington ke berbagai kapal selam itu, di tingkat awal suatu peperangan nuklir, mungkin tidak semudah yang direncanakan. Ini pun jika berbagai kapal selam itu tidak lebih dulu dimusnahkan Soviet, sebelum melancarkan serangan umumnya. * * * Betapapun, berbagai percobaan oleh kalangan militer dengan berbagai jenis laser lain, termasuk laser kimiawi, tidak terlalu mengecewakan. Mengapa Livermore memusatkan risetnya pada laser sinar-X itu? Ini karena energi, menurut Chaplaine. "Perbedaan antara energi hasil laser kimiawi dan laser sinar-X bisa dibandingkan dalam prinsip bagaikan perbedaan antara energi hasil ledakan kimiawi dan hasil ledakan nuklir." Berkas laser sinar-X, misalnya, tak memerlukan waktu berdetik untuk melubangi kulit misil. Energinya begitu besar hingga melelehkan kulit misil itu dalam waktu seperseribu detik - bahkan menimbulkan suatu labrakan dahsyat yang memecahkan logam yang berhambur menghancurkan semua komponen kunci misil musuh yang kena. Para teknikus di Livermore juga tidak terlalu antusias pada laser kimiawi sebagai senjata penggempur misil balistik musuh. Alasannya: laser kimiawi harus disertai sejumlah besar bahan bakar jika ditempatkan di antariksa. Sistemnya harus sistem optis, yang terdiri dari sejumlah cermin pemantul yang pembuatannya harus teramat sempurna. Riak gelombang sinarnya pun terlalu panjang, sehingga pada jarak jauh menghambur, menyulitkan pemitaran yang tepat. Meski begitu, laser kimiawi masih dipertimbangkan untuk senjata pemusnah pada suatu tahap lain dalam sistem pertahanan berlapis ganda. Departemen pertahanan AS sendiri enggan meninggalkan laser itu karena sudah satu dasawarsa lebih terinvestasikan untuk pengembangannya. Toh masih ada saingan serius bagi laser sinar-X. Yaitu laser yang "dipompa" dengan elektrika, yang dinamakan laser elektron bebas. Serangkaian magnet memaksakan seberkas elektron beriak pada saat menembus seberkas sinar laser. Setiap elektron yang bergetar selama lintasan itu memancarkan sinar ke dalam berkas sinar laser itu, hingga memperkuat dayanya. Maka, laser ini bisa menghasilkan sinar beriak gelombang lebih pendek (karenanya, berdaya perusak lebih besar) daripada yang dihasilkan laser kimiawi. Karenanya, Livermore mempertimbangkan jenis laser ini sebagai salah satu komponen pelengkap dalam suatu sistem pertahanan terpadu. Jika saja sempat ada kepala nuklir yang lolos dari sekian banyak tahap pertahanan di antariksa, kemudian sempat memasuki lapisan udara, kembali menuju sasarannya, nyatanya waktu yang tersisa teramat singkat - hingga sangat riskan mempercayakan tahap pertahanan itu kepada senjata otomatis atau peluru penyergap. Sementara itu, efektivitas semua jenis laser juga tak bisa diandalkan di dalam atmosfer karena sinarnya yang mudah membaur oleh partikel debu, kelembapan, atau asap di udara. Juga laser sinar-X dihinggapi kelemahan itu. Karena itu, sejak 1970-an para ahli mencoba mengembangkan suatu senjata pemancar berkas yang lain: meriam berkas partikel, yang bisa diandalkan bagi pertahanan tahap akhir. Kalau seberkas sinar laser menembus sasarannya dengan membakar lubang di kulitnya dan menghanguskan isinya, berkas unsur atom menembus sasarannya bagaikan petir dengan kekuatan bentur. Daya penghancur berkas partikel itu sangat besar: tambahan lagi ia mudah dipitar dari satu ke sasaran lain. Pemitaran ini dilakukan dengan mengubahubah muatan sejumlah magnet pengarah dalam perangkat pemitar laser itu. Meski ternyata elektron itu unsur atom yang paling menarik untuk dikerahkan dalam proses ini. problemnya masih barlyak. Antara lain produksi elektron itu - yang harus berenergi'tinggi. Memang, berbagai laboratorium riset menghasilkan elektron seperti itu dalam pemercepat (accelerator) mereka, tapi jumlahnya terlalu sedikit. Maka, Livermore - dan beberapa laboratorium lainnya - membangun pemercepat khusus untuk penelitian masalah persenjataan. Yang terbaru adalah milik Livermore yang dinamakan ATA (Advanced Test Accelerator). Berkas elektron yang dihasilkan ATA berarus listrik 10.000 amper, dengan aras energi setinggi 50 juta volt elektron. "Sudah jelas, berkas seperti itu bisa menghancurkan misil apa pun," ujar William Barletta, ahli berkas partikel di situ. Meski bertenaga dahsyat, berkas partikel punya kelemahan. Jika mempergunakan unsur bermuatan (elektron bermuatan negatif), lintasannya akan dipengaruhi daya medan magnetis bumi. Karenanya, unsur bermuatan itu harus dijadikan netral dulu sebelum dilesatkan dari "laras" meriam. Ini melibatkan suatu proses yang tekniknya teramat rumit demikian rumit, hingga banyak ahli memandangnya tidak mungkin terwujud secara praktis. * * * Jenis senjata lain yang juga dikembangkan ialah senjata energi kinetik. Ini adalah berbagai jenis roket, peluru pelacak sasaran, atau bahkan kepingan baja yang dilontarkan ke arah misil musuh. Teknologi ini cukup berkembang sudah, dan memungkinkannya dimanfaatkan dalam suatu sistem pertahanan terpadu menjelang 1990-an, jauh lebih awal dari senjata berkas laser ataupun elektron. Berbagai senjata itu punya kemungkinan dipergunakan dalam suatu sistem terpadu - meski tahap pemakaiannya berlainan, sesuai dengan tingkat perkembangan tiap-tiap senjata. Letjen (AU) James Abrahamson, yang mengepalai program PPS di Pentagon, melihat suatu pengembangan tiga tahap. Pertama, suatu sistem yang terutama mengandalkan berbagai jenis senjata kinetis, yang kemudian disusul berbagai jenis senjata lebih maju, seperti laser dan meriam partikel. Tapi tahap awal itu dimulai hanya jika sudah bisa dipastikan bahwa tahap berikutnya bisa dipakai dalam waktu tidak terlalu lama. Tampaknya Pentagon sendiri sudah menerima gagasan tahapan ini. Penggunaan anggaran tahun fiskal 1986 hampir berimbang - untuk pengembangan perangkat pengindria dan sistem pengendalian dalam pertempuran (US$ 1,6 milyar) dan untuk pengembangan berbagai senjata (US$ 1,8 milyar). Perangkat pengindria merupakan komponen utama setiap sistem senjata. Ia harus melacak sasaran dan memitar senjata melalui jarak ribuan kilometer. Juga harus seketika memberikan kepastian tentang kena atau tidaknya suatu sasaran. Jangan sampai ada senjata yang tetap membidik sasaran yang sudah hancur, atau sebaliknya sudah mengalihkan pemitarannya sementara sasaran belum hancur. Koordinasi, pengandaran, dan pengendalian berbagai perangkat pengindria itu dilakukan perangkat komputer - perangkat dan program yang tidak terbayang rumitnya. Komputer itu harus mengendalikan dan mengkoordinasikan puluhan ribu benda yang kesemuanya bergerak dengan kecepatan tinggi. Semua itu dilakukan komputer sambil mengolah bermilyar-milyar bit informasi yang berasal dari perangkat pengindria dan perangkat senjata. Program komputer itu demikian rumit dan panjangnya, hingga untuk menyusunnya haruslah oleh komputer lagi. Menurut taksiran James Fletcher, yang pernah mengetuai tim peneliti PPS dari kalangan pemerintah, untuk mengecek dan membersihkan program itu dari berbagai kesalahan, harus dilakukan uji coba 50 juta kali - sebelum "siap tempur". Tak hanya itu. Untuk mengamankan perangkat komputer itu dari kerusakan dalam suatu pertempuran nuklir, ia harus ditempatkan di dalam orbit tinggi. "Mungkin di pertengahan jarak antara bumi dan bulan," kata Fletcher. fentang tingkat pengembangan peranti keras, ia yakin hampir memadai tapi tentang perangkat lunak, berupa program tempur, ia pesimistis. Menurut Fletcher, paling sedikit diperlukan 20 tahun untuk merancang, menyusun, dan membuatnya "siap tempur". Itu juga pendapat Robert S. Cooper, kepala Lembaga Penelitian Termaju Proyek Pertahanan. "Seumur hidup saya saya abdikan pada sistem dan pada teknologi yang tercakup dalam sistem itu," katanya beberapa waktu lalu. "Penilaian saya: kita tidak mungkin bisa mengelola kerumitan yang tercakup di dalam sistem yang kita bahas sekarang ini." Meski mungkin dikembangkan suatu sistem pertahanan laser terhadap pesawat bomber jarak jauh, problemnya menjadi demikian kompleks jika sasarannya merupakan misil balistik. Sistem pertahanannya membutuhkan suatu mekanisme pelacakan untuk mengetahui peluncuran misil musuh itu, suatu metode untuk mengetahui misil itu milik musuh atau kawan, dan tentu saja suatu sistem pemitaran yang teramat tepat untuk menghancurkan misil musuh itu. Pesawat bomber jarak jauh, yang memerlukan lima hingga 10 jam perjalanan untuk mencapai sasarannya, menyediakan waktu cukup hingga sistem pertahanan itu bisa disiagakan. Sebaliknya, untuk menghancurkan sebuah misil balistik, hanya tersedia beberapa ratus detik. Apalagi jika berbagai kepala nuklir yang dibawa misil itu sudah terpisah dan menempuh perjalanan sendirisendiri setelah tahap luncur - tambah lagi kulit kepala nuklir itu diperkuat sekali agar bertahan terhadap gesekan udara saat kembali memasuki atmosfer menuju sasaran. Ini memerlukan waktu lebih lama bagi berkas sinar laser menembus kulit itu. Kemudian, untuk mengetahui telah hancur atau belumnya yang ditembak merupakan masalah teknologis yang seperti tak mungkin terpecahkan - menurut Wallace D. Henderson, wakil direktur BDM International Corp., perusihaan yang terlibat riset rahasia mengenai laser bagi departemen pertahanan AS. "Cukupkah hanya menganggap sasaran itu pasti hancur saat laser itu dipitar dengan tepat?" tanya Henderson. Agar betul-betul efektif, sebuah senjata laser di antariksa harus bisa memastikan itu sebelum mengalihkan pitarannya terhadap sasaranberikutnya. Tapi itulah yang teramat sulit. "Diperlukan beberapa detik sebelum sebuah misil yang tertembak beralih dari jalur balistiknya, sehingga bisa dipastikan ia tak lagi merupakan ancaman bahaya," ujar Henderson. Celakanya, selama beberapa detik itu sistem pertahanan kehilangan peluang untuk mengalihkan pitarannya ke sasaran lain. Kemudian lagi, pangkalan di antariksa itu sendiri sangat mudah dilumpuhkan. Satelit pemusnah, suatu satelit "bunuh diri" yang dirancang untuk menghancurkan satelit musuh dengan cara mendekatinya dan kemudian meledak, merupakan senjata cukup ampuh menghancurkan komponen sistem pertahanan di antariksa itu. Teknologi ini - yang dinamakan asat (antisatellite) sudah dijajaki Uni Soviet selama lebih dari satu dasawarsa, dan diperkirakan sudah mencapai suatu tingkat keunggulan yang menentukan. Meski asat Soviet - dan variasi yang dikembangkan AS - hanya efektif terhadap satelit yang berorbit rendah, mudah diperkirakan bahwa sebuah senjata asat bisa dilengkapi dengan peranti laser untuk menyerang sasaran yang berada di orbit yang lebih tinggi, seperti halnya pangkalan laser dalam sistem pertahanan di antariksa.'Suatu cara pemusnahan yang bahkan lebih gampang lagi jika diluncurkan sebuah misil berkepala nuklir ke antariksa dan kemudian meledakkannya. Penyebaran "denyutan elektromagnetis" bisa menghancurkan apa saja yang berdekatan. Gambaran mengerikan tentang berbagai senjata, seperti ranjau antariksa dan asat yang dilengkapi perangkat laser, sangat meluaskan - dan merumitkan - tugas mengelola suatu sistem AMB itu. Seperti dikemukakan Henderson, perlindungan terhadap pangkalan senjata antariksa memerlukan penetapan jalur-jalur bebas di antariksa, hingga cukup leluasa untuk menjaminnya tidak terancam bahaya ranjau antariksa. Pangkalan seperti itu juga terpaksa diperkuat terhadap kemungkinan serangan berkas sinar laser musuh. Maka, Henderson berpendapat, "masalah kesanggupan mengandarkan (= mengoperasikan) serta kelayakan menuntut suatu pertimbangan yang terinci, sebelum orang menitikberatkan keandalan teknologi laser itu." * * * Kendati begitu, banyak orang juga yang percaya bahwa semua jurang operasional dan teknologis bisa diatasi. Edward Teller, ahli fisika yang memelopori pengembangan bom hidrogen, membandingkan keputusan Reagan untuk mengembangkan sistem ABM itu dengan keputusan Roosevelt untuk mengembangkan bom atom. "Dalam kedua kasus, (Presiden) mendukung sepenuhnya dalam kasus pertama terbukti menentukan dan dalam kasus kedua saya harap juga menentukan," ujar Teller kepada wartawan Newsweek, William J. Cook. "Keputusan ini," katanya, "saya harap akan mengubah perang dingin menjadi perdamaian sejati. Itu jelas-jelas niatnya - dan pasti jauh lebih banyak dari sekadar berpengharapan karena ini merupakan gagasan yang riil, dengan kemungkinan riil pula pendukung di belakangnya." Edward Teller, yang kini berusia 78 tahun dan dikenal sebagai Bapak Bom Hidrogen itu, berkata, "Pernyataan Presiden mengandung persamaan dengan perhatian Presiden Roosevelt atas surat Einstein tentang bom atom. Dalam konteks sejarah,keduanya sebanding." Tahun 1939, Teller muda turut membujuk Albert Einstein menulis surat kepada Roosevelt - meyakinkannya tentang perlunya merestui penelitian tentang bom atom karena pihak Jerman sudah mencapai beberapa kemajuan di bidang itu. Kini Teller pendukung utama gagasan Reagan, bahkan turut meyakinkannya bahwa suatu sistem pertahanan terhadap misil balistik - yang didasarkan pada teknologi berkas sinar laser dan berkas unsur atom sepenuhnya layak. Teller, yang sebelum Perang Dunia ll melarikan diri dari negeri kelahirannya, Hungaria, pada tahun 1950-an menonjol dalam pengembangan bom hidrogen. Kini ia seorang peneliti senior di Lembaga Hoover Universitas Stanford - universitas yang juga membawahkan Laboratorium Livermore - dan mengabdi kepada pemerintahan Reagan sebagai anggota dewan penasihat ilmiah angkatan udara AS. Pandangan hidupnya, yang mendukung kekerasan dan penggunaan senjata pemusnah termaju, membuatnya dicurigai banyak rekan ilmuwan. Tapi ini justru menjamin pengakuannya dari Gedung Putih Reagan, tempat ia selalu diterima sebagai tamu terhormat. Pengagum Teller yang terutama ialah George Keyworth, penasihat ilmiah Presiden. Keyworth mengundang Teller bersama sejumlah ilmuwan lainnya untuk memberi penilaian atas beberapa alternatif teknologi antimisil balistik, untuk pertimbangan. Presiden. Teller penuh pujian terhadap presidennya. "la mendukung teknologi tinggi sebagai sarana yang memungkinkan terciptanya suatu dunia yang lebih stabil. Keyakinan dalam pendekatan imajiner yang demikian ... merupakan berita menarik," katanya. Teller bukan pendukung Reagan yang baru. Ia sendiri sudah mendukung pemikiran seperti itu sejak pertengahan 1960-an. Ia terbungkam ketika perjanjian mengenai AMB ditandatangani pada tahun 1972, suatu perjanjian yang menurut Teller suatu kesalahan teramat besar. Kini ia mulai berkumandang lagi melalui berbagai tulisannya. Teller berpendapat, jangka waktu mengembangkan suatu sistem pertahanan berdasarkan senjata laser dan unsur atom sebanding dengan waktu yang diperlukan antara saat meledakkan bom atom pertama (1945) dan saat ditemukannya pemecahan atom pertama kali, tahun 1939. "Menurut saya, tugas kita saat ini sebanding: mungkin lebih sulit, mungkin juga lebih mudah," ujarnya, dalam suatu wawancara tahun lalu. "Saya cenderung optimistis." Dan itu mirip nada ucapan Brzezinski dan kawan-kawan, yang mengharapkan gagasan Presiden Reagan mendapat tanggapan sungguh-sungguh. Harapan terwujudnya PPS itu bukan tidak nyata, tulis Brzezinski: bahkan sebagian teknologinya semakin mantap, dan bukan lagi barang ajaib. Menurut Brzezinski, perwujudan PPS menjelang akhir abad ini terutama memerlukan pengembangan di bidang konstruksi. Ia yakin, upaya pengembangan itu - yang digabungkan dengan "sedikit" penelitian tambahan - sudah cukup, hingga bisa dibangun suatu perisai berlapis ganda di antariksa menjelang awal tahun 1990-an, dengan biaya sekitar US$ 60 milyar. Tapi rupanya Brzezinski dan kawan-kawan tidak berbicara tentang senjata laser. * * * Yang dimaksud dengan sistem pertahanan berlapis ganda, seperti disebut Brzezinski, adalah kemampuan menghancurkan misil balistik musuh dalam berbagai tahap lintasannya. Pertama, tahap luncur - saat misil musuh muncul di atas lapisan atmosfer bumi. Saat itu berbagai kepala nuklir bawaannya belum terpisah dari misil induk, dan meledak di tahap itu, sekaligus menghancurkan sejumlah misil lawan. Penghancuran dalam tahap itu dilakukan dengan peluru nonnuklir, dengan mengandalkan satelit pengintai untuk mengetahui saat dan arah peluncuran misil balistik musuh itu. Dan pengintaian itu hanya dapat dikerjakan dengan baik dari satelit yang bergaris edar di atas wilayah Soviet. Namun, karena berada dalam keadaan tidak berbobot, satelit itu bisa diperkuat dengan lapisan baja tebal sebagai perlindungan terhadap serangan senjata perusak musuh. Juga Robert Jastrow, rekan penulis Brzezinski, menganggap sistem pertahanan di antariksa tidak perlu menunggu "matangnya" teknologi laser, berkas partikel, atau meriam elektromagnetis meski senjata seperti itu memang hebat. Jastrow menganjurkan memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia, yaitu jenis peluru sergap nonnuklir yang bisa mencari sasaran sendiri dengan gelombang radar atau panas, dan meledak di saat membentur sasaran. Jenis peluru itu kini banyak dipergunakan dalam sistem penyergap pertahanan udara atau misil antisatelit yang diluncurkan dari pesawat penyergap F-15. Roket semacam itu bisa ditempatkan dalam laras peluncur pada sebuah satelit di antariksa. Tahap berikutnya dinamakan tahap akhir: menyergap kepala nuklir musuh yang sempat lolos dari penghancuran di tahap luncur. Setelah misil peluncur kehabisan bahan bakar, dan jatuh kembali ke dalam atmosfer, sejumlah kepala nuklir melanjutkan lintasan balistik melalui antariksa menuju sasaran. Ini makanan pertahanan lapisan kedua. Penyergapan dan penghancuran masih dilakukan di atas lapisan atmosfer bumi, bila mungkin. Seperti disarankan Jastrow, juga tahap ini menggunakan pelurusejenis yang di tahap luncur, tapi masih diperlukan pengembangan lebih lanjut. Karena ketiadaan udara, peluru penyergap sukar membedakan antara kepala nuklir sungguh dan yang bukan, alias pemancing. Untuk sementara, penghancuran bisa dilakukan di dalam lapisan atmosfer, hingga alat pengindria bisa menangkap perbedaan gelombang yang ditimbulkan oleh jenis kepala nuklir yang berbeda-beda. Meski begitu, penghancuran tetap dilakukan pada ketinggian sekitar 30 km, sehingga tidak terjadi kerusakan di permukaan bumi saat kepala nuklir meledak. Jastrow yakin, penelitian peluru yang mampu menyergap di antariksa bisa dilakukan dalam waktu lima tahun. Bahkan konsep senjata semacam ini sudah pernah diuji coba Pentagon tahun lalu: sebuah peluru penyergap mampu menghancurkan sebuah kepala nuklir (kosong) pada ketinggian 160 km, waktu itu. Menurut Jastrow, harga berbagai perlengkapan dalam tahap luncur sistem itu sekitar US$ 45 milyar. Ini mencakup 100 buah satelit, yang masing-masing dilengkapi 150 laras roket peluru penyergap. Ini, menurut Jastrow, cukup untuk menghadang suatu serangan Soviet yang dilancarkan dari ke-1.400 sumur peluncur mereka- Mencakup juga empat buah satelit geostasioner dan 10 satelit orbit rendah untuk tujuan pelacakan dan pengamatan. Juga termasuk harga semua peralatan komunikasi di darat, serta manajemen pertempuran. Sementara itu, tahap akhir diperkirakan Jastrow akan berbiaya US$ 15 milyar, termasuk 10 milyar untuk 5.000 peluru penyergap dan US$ 5 milyar untuk 10 pesawat terbang yang mengangkut semua peralatan untuk melacak kepala nuklir musuh yang mendekat dan lolos dari penghancuran di tahap luncur. Memang, tahap luncur yang paling menentukan. Itu bakal mencegah Rusia memusatkan serangan nuklirnya terhadap sasaran utama, seperti pusat komando nasional yang dipimpin Presiden atau pangkalan misil balistik antarbenua karena para pemimpin Soviet itu tidak bisa memastikan kepala nuklir mana yang tidak hancur dan mencapai sasaran. Inilah yang penting. Sekadar melindungi sumur peluncur misil balistik saja sudah merupakan suatu kemenangan yang sangat berarti dan segera mengimbangi ancaman kekuatan 6.000 kepala nuklir Soviet. Terutama yang sangat perlu dijaga keselamatannya ialah ke-550 sumur peluncur Minuteman lll, 300 di antaranya dilengkapi kepala nuklir yang teramat teliti, yaitu Mark 12A. Jenis ini satu-satunya misil balistik yang dimiliki AS dengan kemampuan dan ketepatan yang bisa menghancurkan pangkalan misil balistik Soviet, yang sumur-sumurnya diperkuat, serta sekitar 1.500 tempat perlindungan yang juga diperkuat, tempat pimpinan Soviet bersembunyi. Untuk mengatasi keraguan tentang jumlah kepala nuklir yang sempat menembus lapisan pertahanan, pihak Soviet bisa saja memperbesar kemungkinan itu dengan cara memperbanyak kepala nuklir yang diluncurkan terhadap suatu sasaran. Tapi, kata Jastrow, jika kita mengadakan penangkalan pada tahap luncur, dan menghancurkan kepala nuklir itu di saat diluncurkan, tujuan seperti itu tak bisa tercapai oleh Soviet. Penangkalan pada tahap luncur itu juga mempunyai keuntungan lain. Misil balistik raksasa milik Soviet, seperti SS18 - yang dua kali lebih berat dari misil MX yang seberat 97,5 ton - dengan mudah bisa ditaklukkan. Setiap misil SS18 membawa 10 kepala nuklir, tapi mungkin kapasitas itu bisa ditingkatkan menjadi 30 buah. Dengan begitu, Rusia bisa menambah ribuan kepala nuklir antarbenua pada kekuatan mereka, tanpa mengeluarkan biaya besar. Dengan perbandingan semacam itu, biaya perang menjadi relatif ringan bagi Rusia, tapi penangkalan dan penghancuran di tahap luncur bisa menghapus semua keuntungan itu - suatu pemecahan menarik untuk mengatasi problem SS18. Seperti dikemukakan Brzezinski dan kawan-kawan, strategi keamanan Amerika didasari upaya membangun senjata ofensif yang kian tanR-uh dan mampu, untuk meyakinkan musuh bahwa suatu serangan nuklir dari pihaknya akan memperoleh balasan yang setimpal. Inilah pandangan konvensional mengenai stabilitas pada abad nuklir ini. Stabilitas itu didasari dua upaya yang bertentangan: di satu pihak membangun khazanah persenjataan nuklir yang kian efisien dan maju, sementara di pihak lain merundingkan kemungkinan mengurangi jumlah dan membatasi pemakaian senjata itu. Amerika Serikat memang tidak jemu-jemunya mengusahakan kedua upaya itu, tetapi kerumitan untuk mencapai suatu perlucutan senjata yang efektif kian menonjol ketika bermunculan - di kedua belah pihak - berbagai senjata yang efektif, jitu, dan dapat dipindah-pindahkan serta dilengkapi kepala nuklir berganda. Tapi, berbeda dengan kita (AS), tulis Brzezenski, kebanyakan sumur peluncuran misil balistik Uni Soviet bisa dipergunakan secara berulang, sehingga jumlah sumur itu tidak mencerminkan jumlah peluru kendali. Ini menambah kesulitan melakukan verifikasi dalam rangka suatu perjanjian perlucutan senjata. Betapapun, bagian terbesar kekuatan strategis Soviet terdiri dari senjata tempur perdana, seperti misil antarbenua SS17, 18, dan 19, yang dalam jumlah besar ditempatkan di darat. Maka, seorang pemimpin Amerika Serikat yang merasa bertanggung jawab tak bisa mengambil keputusan tentang keperluan pertahanan - tanpa memperhitungkan bahwa suatu serangan perdana dari Soviet bisa menjadi kenyataan. Rusia bisa menggempur Amerika dengan menembakkan bagian misil mereka dari sumur peluncuran yang bisa diisi kembali. Sarannya: misil balistik AS, Komando Udara Strategis, dan pangkalan kapal selam nuklir. Jika kekuatan Amerika yang tersisa terutama kapal selam - melakukan pembalasan, Rusia dengan segera bisa membalas lagi dengan misil dari sumur peluncuran yang tak bisa diisi lagi. Kali ini sasarannya adalah kota permukiman. Dan beberapa jam lagi berulang - dengan misil yang diluncurkan dari sumur yang bisa diisi kembali dan sempat bertahan dari serangan balasan AS. Pokoknya, kata Brzezenski, mereka itu bersiaga dengan kemampuan menembak tiga kali "dibanding kita yang satu kali". Bagi kita, kata Brzezinski lagi, pertukaran katastrof seperti itu tak terbayangkan. Tapi dengan kemungkinan besar kekuatan balasan Amerika bakal lumpuh di awal serangan Soviet, mungkin ada saja seorang pemimpin Soviet yang, dengan pertimbangan keuntungan kemenangan, sempat mempertimbangkan serangan seperti itu. Untuk menangkal kemungkinan seperti itu, seorang presiden Amerika yang bertanggung jawab mau tidak mau harus selalu mengusahakan senjata misil yang lebih efektif agar ada jaminan tidak diserang. Tapi upaya ini menciptakan suatu hubungan strategis antara AS dan Soviet yang kian aneh dan tidak tertahankan. Karena itu, tulis Brzezinski, kita perlu menganjurkan pertimbangan serius terhadap gagasan PPS, yang dalam salah satu perwujudannya mungkin lebih efektif terhadap upaya stabilisasi dan perlucutan senjata. Menurut Brzezinski, PPS itu mencakup tiga masalah. Pertama, layakkah suatu sistem pertahanan dari segi teknis dan biaya. Kedua, perlukah secara strategis sistem semacam itu. Betul menambah stabilitaskah, atau justru mengurangi, dan menambah atau mengurangi prospek pengawasan dan perlucutan senjata nuklir? Ketiga, implikasi politis apa yang terkandung dalam pertahanan strategis bagi Amerika sendiri dan bagi para sekutunya? Kemudian, implikasi apa yang terkandung dalam hubungan jangka panjang AS dengan Uni Soviet, dan bagaimana cara AS memperoleh konsensus nasional atas strategi yang penting ini ? * * * Mungkin Ronald Reagan terpilih sebagai tokoh yang harus melontarkan suatu konsepsi pemikiran baru di tengah dunia yang telah berkarat dengan konsepsi pemikiran doktrin MAD (Mutual Assured Destruction). Perang nuklir hanya dapat dihindari karena masing-masing takut melakukan serangan pertama - karena terancam pembalasan yang tidak semuanya bisa diduga. Rupanya, jauh sebelum melontarkan gagasannya itu dua tahun lalu, Reagan sudah lama digoda pemikiran tentang suatu sistem pertahanan antimisil nuklir. "la sejak dulu prihatin tentang konsep tak berpengharapan yang terwujud dalam konsep strategi penghancuran bersama," ujar William Clark, bekas penasihat keamanan nasional. Clark, yang ditugasi memimpin program penelitian ABM, teringat Reagan sudah membicarakan kemungkinan sistem seperti itu ketika masih menjadi gubernur California. Dan agaknya pokok kesalahpahaman tentang gagasan Star Wars terletak di situ. Star Wars bukan sekadar suatu sistem senjata baru dalam khazanah konsepsi perimbangan senjata. Bekas menlu AS, Henry Kissinger, menamakannya suatu konsep baru yang mencoba menembus jalan buntu yang kian terasa membatasi konsep strategi lama. "Prakarsa Pertahanan Strategis Presiden Ronald Reagan ialah upaya yang paling dini untuk mengatasi jalan buntu militer," tulis Kissinger di IHT Maret lalu. "Saya mendukung konsep itu. Namun, saya khawatir, kerumunan penjelasan mengenai konsep itu bisa mengubahnya menjadi suatu slogan yang mencari tujuannya." Kissinger sependapat dengan Weinberger bahwa pengeluaran bagi pertahanan tidak setara dengan pengeluaran untuk kesejahteraan. "Mengurangi pengeluaran untuk kesejahteraan bisa mengakibatkan ketidakenakan, bahkan penderitaan tapi mengurangi pertahanan pada waktunya bisa mengancam kehadiran Amerika sendiri," katanya. Karena itu, ia menyetujui anggaran pertahanan yang tinggi, dan tak perlu dikebiri. Namun, pada waktu bersamaan, pemerintah harus menanggulangi pokok masalah utama, yaitu kebijaksanaan pertahanan dan organisasi. Kebijaksanaan yang dikembangkan selama beberapa dasawarsa, yang dimonopoli nuklir dan keunggulan menyeluruh strategis, kini tak lagi layak. Dulu Barat mungkin mengancam Soviet dengan pembalasan penghancuran besar-besaran sebagai imbangan terhadap serangan. Tapi saat Soviet mengembangkan kekuatan nuklir tersendiri, konsep strategi Barat tidak dibarui. Reagan mengambil keputusan melontarkan gagasannya beberapa pekan sebelum pidato kenegaraannya di televisi. Ketika itu, 11 Februari 1983 sang presiden mengadakan pertemuan rutin dengan para kepala staf gabungan, membicarakan masalah senjata ofensif. Secara terinci mereka mengkaji kemungkinan strategis dan teknologis yang mewujudkan tritunggal tradisional kekuatan strategis nuklir AS rudal nuklir antarbenua di darat, rudal nuklir di kapal selam, dan pesawat bomber berudal nuklir. Mereka menganggap konsep strategi ini kian rapuh dan usang bagi pertahanan Amerika Serikat. Harapan murung yang tergambar dalam keharusan menghadapi peningkatan terus-menerus kekuatan nuklir untuk mempertahankan doktrin MAD (Jaminan Saling Membalas) itu membuka kesempatan bagi Laksamana James Watkins, kepala operasi angkatan laut, dan McFarlane, penasihat keamanan nasional, untuk membawa pembicaraan pada kemungkinan mengembangkan suatu sistem pertahanan yang tak tertembus rudal musuh. Reagan langsung merangkul impian itu dengan gairahnya, sehingga bahkan para kepala staf "terkejut", kata seorang ajudannya. "la (Reagan) melihat peluangnya jauh lebih jelas daripada mereka." Para ahli strategi pembantu Presiden bahkan lebih terkejut ketika Reagan tak mengacuhkan semua keberatan mereka, dan memutuskan mengumumkan gairahnya itu di depan umum. Betapapun penyesalan Reagan, julukan Star Wars agaknya tak terhapus lagi. Para ahli fisika nuklir di Universitas Harvard dan MIT (Massachussets Institute of Technology), yang meragukan kelayakan gagasan itu, tetap memakainya, demikian juga sebagian besar surat kabar dan majalah. Uni Soviet juga gembira dengan julukan itu - karena, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, sifat agresif dalam kata war tetap menonjol. Bahkan di Indonesia, TVRI pun mengganti judul film yang disutradarai George Lucas dengan bahasa Jawa hingga menjadi Kartika Yudha. Agaknya Star Wars, nama film yang sempat ngetop pada akhir tahun 1970-an itu, mengesankan peperangan di antariksa - kesan yang tentu saja terlalu agresif bagi selera kaum Reagan, yang ingin "menjual" citra damai gagasan itu. * * * Sebetulnya, salah Reagan sendiri. Beberapa waktu sebelumnya, ia pernah menjuluki Uni Soviet sebagai "Kekaisaran Zalim". Ungkapan ini tampak analog apalagi dikemukakan Reagan dengan latar belakang masa lalunya sebagai aktor film - dengan kekaisaran yang dipimpin Dart Vader, seteru "orang baik" dalam Star Wars versi Lucas itu. Sebetulnya, ironis kalau sekarang Reagan mempromosikan sistem pertahanannya demi mengekalkan perdamaian di dunia, menghadapi gempuran "Kekaisaran Zalim" itu. Hampir dua dasawarsa lalu, "Kaisar Zalim" sendiri - waktu itu Perdana Menteri Kosygin dari Uni Soviet - menyatakan bahwa suatu sistem AMB merupakan "senjata manusiawi" yang "melindungi manusia", bukan mengancamnya. Tapi justru pihak AS ketika itu - Presiden Lyndon B. Johnson dan Menteri Pertahanan Robert McNamara - bisa meyakinkan Kosygin bahwa pendapat itu keliru. Negara pertama yang sempat memiliki kemampuan defensif, di samping ofensif, pasti terangsang melancarkan serangan nuklir pertama - begitulah kata kedua pejabat utama Amerika Serikat itu. Maka, kata mereka, gagasan mengenai suatu sistem pertahanan AMB justru bersifat "haus perang". Demikianlah suasana dunia menjelang pembicaraan yang akhirnya menghasilkan perjanjian tentang pembatasan AMB, yang ditandatangani presiden AS, Richard Nixon, dan ketua Presidium Tertinggi Uni Soviet, Leonid Brehznev, 1972. Perjanjian ini oleh kalangan luas dianggap yang paling konstruktif dan berarti selama ini. Kini upaya yang dulu dinilai bersifat "haus perang" itu ditawarkan Amerika kepada Uni Soviet sebagai program damai. Dalam pertemuan antara menlu AS, George P. Shultz, dan menlu Uni Soviet, Andrei A. Gromyko, Januari lalu di Jenewa, Shultz menjelaskan prakarsa Reagan itu kepada rekannya dari Soviet. Tujuan sistem seperti itu, menurut gambaran Reagan, ialah, "Suatu perisai pengaman yang akan menghancurkan misil berkepala nuklir sebelum mencapai sasarannya." Tapi Gromyko menganggap prakarsa presiden AS itu bisa mendorong dunia lebih mendekati suatu konflik nuklir. Ini bukan mengada-ada, menurut Gromyko - jika perlombaan senjata dibiarkan menyebar hingga ke antariksa. Ia yakin, "Proyek yang bertujuan merebut keunggulan militer tidak akan terwujud, baik di bumi maupun di antariksa." Awal Maret lalu, ketika Gromyko mengunjungi Spanyol selama tiga hari, ia sempat mengkritik lagi prakarsa Reagan itu. Sebelumnya, seusai pertemuannya dengan Shultz, Gromyko - yang begitu terkesan pada penjelasan Shulk - mau diwawancarai di TV, sesuatu yang jarang ia lakukan. Ia mengomentari keinginan Reagan menciptakan suatu perisai untuk melindungi mereka (orang Amerika) terhadap Uni Soviet. Kemudian ia menceritakan bahwa ia dibujuk Shultz tentang tidak adanya niat Amerika menyerang Soviet. Karena itu, kata Gromyko mengutip Shultz, Moskow tak memerlukan sistem pertahanan semacam itu. Lalu Gromyko bercerita bahwa ia sempat menganjurkan Shultz. "Coba bayangkan kita saling bertukar tempat.... Jika kita merencanakan membangun sistem seperti itu . . . cukupkah pernyataan seperti itu (bahwa Uni Soviet tak berniat menyerang Amerika) bagimu?" Shultz terdiam, tak menjawab, menurut Gromyko. Menjelang saat sistem ABM AS dan Uni Soviet menjadi operasional, kemungkinan terjadinya suatu konflik pada saat krisis sangat meningkat. Para pihak akan merasa sangat terancam: menyadari bahwa sebagian besar senjata of ensif mereka akan menjadi mubazir bila sistem penangkal misil balistik di antariksa benar-benar hadir. Jadi, perlombaan untuk mengembangkan suatu sistem antimisil yang sejati (pasti Uni Soviet turut terjun dalam perlombaan itu) mungkin jauh lebih berbahaya daripada tingkat perlombaan sekarang. Implisit dalam suatu pengembangan sistem antimisil balistik nuklir ialah pengembangan berbagai sistem senjata untuk menghancurkan sistem lawan. Ini mencakup satelit pemusnah, ranjau antariksa meriam laser, meriam berkas partikel. Tapi ini hanya mengalihkan permainan catur maut perlombaan senjata ofensif dari permukaan bumi (atau bawah permukaan laut, dalam hal kapal selam) ke antariksa. Semua kegiatan itu bakal melahirkan sejumlah masalah rawan baru yang mungkin bisa mematuk suatu peperangan nuklir yang menyeluruh. Apa, misalnya, yang akan terjadi jika isyarat sebuah satelit antimisil balistik milik AS oleh Uni Soviet diartikan sebag?i tindak peperangan? Bagaimana Soviet akan bereaksi atas penghancuran - meski tidak disengaja sekalipun - salah sebuah satelit pemusnahnya? Barangkali jaringan pertahanan kompleks dan piawai di antariksa milik kedua negara adidaya itu bakal menjadi suatu jaringan tali pelatuk maut nuklir? Yang lebih parah, semua itu akan membuang jauh satu-satunya contoh pemikiran maju kedua negara adidaya tentang pengembangan teknologi strategis yang baru, yang terwujud dalam bentuk Perjanjian ABM tahun 1972. Pada suatu tahap penelitian, kedua negara adidaya itu sudah pasti terpaksa melanggar berbagai batasan yang tercakup dalam kesepakatan itu. Maka, perwujudan sistem pertahanan terhadap misil balistik di antariksa berarti penolakan mutlak doktrin ancaman pembalasan total, doktrin yang baik atau buruk - selama 40 tahun sempat mencegah pecahnya perang nuklir. Perjanjian 1972 itu melarang membangun sejenis radar besar di wilayah pedalaman salah satu negeri adidaya melarang pula pemakaian radar kecil yang bisa berpindah-pindah dan membatasi hingga 100 buah jumlah peluncur misil antibalistik - yang boleh dibangun sebuah negara di sekitar satu-satunya pangkalan antimisil balistik yang diperkenankan dalam perjanjian itu. Juga melarang mengembangkan pengetesan ataupun pemakaian berbagai komponen sistem ABM di antariksa. Justru komponen semacam itu yang merupakan inti sistem pertahanan yang diprakarsai Presiden Reagan, jika pene1itian dalam bidang itu berhasil dalam waktu lima hingga tujuh tahun mendatang. * * * Tapi hambatan utama bagi gagasan Star Wars ialah: praktis belum tersedia teknologi yang dibutuhkan. Impian Reagan mengenai suatu dunia kuat yang baru, berdasarkan strategi pertahanan antimisil balistik, agaknya melampaui batas kesanggupan ilmu masa kini. Jika saja teknologi Amerika bisa mencapai dan menghasilkan suatu sistem ABM dengan efektivitas 95% - suatu nilai yang menurut kebanyakan ahli tak mungkin tercapai - itu tetap berarti bahwa dari 20 misil balistik musuh, sebuah pasti lolos. Tambahan lagi, sistem antisatelit pemusnah dan ranjau antariksa milik musuh mungkin saja menghancurkan berbagai satelit tempur dalam sistem "pertahanan" itu - sebelum yang terakhir sempat meluncurkan roketnya atau berkas laser. Dan, akhirnya, seperti halnya semua sistem persenjataan lain, suatu sistem ABM di antariksa pasti punya kelemahan terhadap tindak lawan. Misalnya: apalah daya sistem itu jika dipancing dengan serangan misil berkepala nuklir kosong. "Mutlak tidak bocor .... Terus terang tidak mungkin tercapai," ucap seorang wakil direktur Program Pertahanan Angkatan Darat AS, terhadap misil balistik, dalam suatu dengar pendapat di Kongres mengenai rencana Star Wars itu. Tapi, menurut Reagan sendiri, keandalan 100% memang tak perlu. Sudah cukup jika sistem pertahanan berlapis itu mampu menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan penyerangan calon agresor - jika mereka ragu mengenai kesanggupan sendiri untuk melancarkan suatu serangan yang pasti berhasil. Hakikat suatu pertahanan efektif terhadap misil musuh ialah justru memperbesar unsur ketidakpastian itu - suatu rongrongan ampuh terhadap keyakinan mereka yang mengimpikan keberhasilan suatu gempuran nuklir. Semua efek itu bisa diperbesar lagi dengan cara mengurangi jumlah misil ofensif, melalui suatu perjanjian perlucutan senjata. Tapi, kilah para penentang gagasan Reagan lagi, justru itulah bukti bahwa PPS berpotensi menggagalkan perundingan perlucutan senjata. Calon agresor, kata mereka, akan berusaha memperkecil kembali unsur ketidakpastian itu. Adanya peluang - meski sangat kecil - persentase tertentu dari jumlah kepala nuklir mereka yang bisa tembus akan mendorong mereka memperbanyak senjata ofensif, juga memperbesar persentase yang bisa menerobos perisai, dan dengan begitu tetap menjamin semua sasaran yang direncanakan termusnahkan. * * * Debat nasional seperti itu membuat Max Kampelman mengeluh. Menurut Kampelman, suatu diskusi tentang kelayakan teknis sistem pertahanan itu tak akan bisa dilakukan masyarakat. Ia akui, semua kebijaksanaan umum yang diinginkan diberlakukan dalam suatu masyarakat demokratis harus didiskusikan dulu secara luas. Tapi perdebatan ini sudah terlalu jauh. "Masalah ini perlu dijernihkan," ujar Kampelman, penuh tekad, memulai bagiannya dalam artikel bersama itu. Ia mengakui, pendekatan seperti diuraikan sebelumnya (strategi pertahanan dengan PPS) mungkin bukan pilihan menarik bagi mereka yang suka "menyimpan telur mereka dalam (satu) keranjang perlucutan senjata, tanpa memperhitungkan kesulitan luar biasa untuk mewujudkan suatu persetujuan efektif yang bisa diawasi dengan tuntas". Itu juga bukan pilihan menarik bagi mereka yang meyakini bahwa cara terbaik menjaga keselamatan ialah semata-mata mengandalkan keseimbangan senjata teror antara kedua negara adidaya, konsep yang nyata sudah mulai rapuh. Bagi Kampelman, ini pilihan menarik. Baginya, Star Wars merupakan pentungan tambahan di meja perundingan, untuk menjinakkan orang Rus. Bahkan Amerika senantiasa berdalih seperti itu bila ingin menggunakan sistem persenjataan baru: penempatan misil jelajah di Eropa, penambahan misil MX, dan kini Star Wars. Prinsipnya, "untuk mengurangi senjata, perlu diciptakan senjata". Maka, akhir bulan lalu, berdasarkan prinsip itu, Kampelman memerlukan berkeliling di Washington dan melobi Kongres, agar menyetujui anggaran bagi penambahan misil MX. Kongres, menghadapi tekanan Reagan dan seluruh aparatnya, akhirnya menyetujui penambahan 21 misil MX itu. Kampelman tidak mengabaikan keperluan mengusahakan, dengan sekuat tenaga, suatu perjanjian perlucutan senjata dan mewujudkan suatu cara pencegahan perang yang layak. Ini tentunya pilihan yang paling sederhana dan menarik. Pengurangan besar-besaran dalam jumlah peluncur dan kepala nuklir, di samping pembatasan efektif penggunaan dan pengembangan mutu persenjataan, akan menjamin stabilitas nuklirdan melahirkan suatu kepercayaan lebih besardi kedua pihak. "Mungkinkah tercapai masa depan seperti itu?" tanya Kampelman. Ia, yang saat ini memimpin tim perunding AS di Jenewa, sangat skeptis. Sayangnya, katanya, pilihan seperti itu bukan dengan sendirinya menjamin suatu masa depan yang lebih aman. Hanya suatu strategi yang menggabungkan kemampuan ofensif dengan suatu sistem pertahanan terhadap misil musuhlah yang bisa menjamin masa depan yang lebih aman, katanya. Dengan kata lain, arsenal nuklir yang ada sekarang mestinya dipertahankan, bahkan diperkuat, sementara diusahakan suatu sistem pertahanan terhadap arsenal nuklir ofensif musuh. Baru berunding. Soalnya, tambah Kampelman, bisa saja tercapai kemajuan terbatas dalam perlucutan senjata, tapi perjanjian yang sungguh efektif mensyaratkan pembatasan atas pengembangan kualitatif berbagai sistem persenjataan, pengawasan atas sistem senjata ofensif yang bisa berpindah-pindah dan yang mudah dipergunakan secara rahasia, dan pengembangan suatu metode untuk membedakan misil berkepala nuklir dengan misil jelajah tanpa kepala nuklir, serta perwujudan suatu persetujuan monitoring untuk mencegah pengembangan, testing, serta penggunaan sistem senjata yang baru. Semua itu tentunya membuat pilihan yang "sederhana dan menarik" tadi menjadi sangat rumit dan seperti tidak mungkin tercapai. Tambahan lagi, menurut Kampelman, sampai saat ini praktek Uni Soviet untuk mematuhi ketetapan berbagai perjanjian yang sudah dicapai cukup meragukan itikad mereka. Ini, kata Kampelman, membenarkan sikap skeptis atas kemungkinan terwujudnya suatu perjanjian yang demikian luas jangkauannya serta demikian kompleks permasalahannya. Maka, hampir pasti, suatu dunia bebas nuklir tak akan bisa tercapai - dan karena itu lebih baik mengusahakan "payung sebelum hujan". Tak perlu menunggu lama-lama, katanya. Seperti halnya rekannya, Brzezinski dan Jastrow, Kampelman yakin bahwa suatu pertahanan strategis berlapis ganda segera bisa diwujudkan. Nilai utama sistem itu ialah melunturkan keyakinan kalangan militer Soviet akan suatu serangan perdana yang bakal berhasil. Memang, sistem pertahanan dalam tingkat sekarang tidak akan menjamin keselamatan perkotaan atau permukiman lain, tapi setidaknya sarana ofensif seperti pangkalan misil balistik telah terlindungi. Ini memang yang dituduhkan kalangan ilmuwan terhadap kaum pendukung PPS itu. Tapi harus diingat, kata Kampelman, kemajuan ilmu dan teknologi pada abad ke-20 ini demikian pesatnya. Karena itu, konsep "mustahil" harus dipergunakan sangat berhati-hati. Perlindungan total memang tujuan akhir, tapi itu tidak berarti tak perlu dikaji kemungkinan suatu sistem pendahulu yang tidak begitu sempurna. Pertahanan terhadap misil balistik bisa saja efektif, meski tidak "sempurna", dan teknologi untuk itu nyaris tersedia. Jangan lupa, ujar Kampelman membuktikan, bahwa dalam sejarah, kalangan ilmuwan juga tidak terlalu unggul menilai perkembangan teknologi pada masa berikutnya. Misalnya, pada tahun 1926 A W. Bickerton, ilmuwan Inggris, menyatakan secara ilmiah tidak mungkin mengirimkan sebuah roket ke bulan. Laksamana William D. Leahy juga mengatakan kepada Presiden Truman pada tahun 1945, "Bom (atom) itu tak akan pernah meledak, dan saya berbicara sebagai ahli bahan peledak." Dan, setelah Perang Dunia usai, Dr. Vennevar Bush, yang memimpin upaya ilmiah selama perang itu, menolak pembicaraan tentang suatu tembakan roket berjarak. Betapapun Max Kampelman meragukan kemampuan masyarakat Amerika menilai PPS itu, terutama untuk segi-segi teknologisnya, toh dukungan masyarakat tetap diharapkan. Kalau tidak, apa perlunya ia menulis artikel panjang di majalah yang tersebar luas? Apa perlunya ia ikut melobi Kongres untuk menyetujui anggaran bagi 21 misil MX tambahan? Lalu, apa perlunya Reagan tampil di televisi dan mengajak rakyat Amerikat turut bermimpi? * * * Kendati begitu, rakyat Amerika tetap saja meragukan kelayakan PPS itu. Dalam suatu pengumpulan pendapat umum yang diselenggarakan surat kabar Los Angeles Times di seluruh negeri, rakyat tak menunjukkan gairah. Mereka bahkan tidak menyetujui suatu program riset untuk proyek itu, dan sebaliknya sangat menyambut suatu larangan bagi semua senjata militer di antariksa. Dua kali lebih banyak, responden meyakini bahwa sistem pertahanan terhadap misil balistik itu justru bisa dianggap oleh musuh sebagai ancaman, dan menggoyahkan keseimbangan kekuatan. Meski banyak pula orang Amerika mencurigai kesungguhan Uni Soviet dalam melaksanakan berbagai persetujuan. Lebih dari 80% responden mengharapkan terikatnya suatu perjanjian yang menghentikan penyebaran senjata nuklir, dan mengharapkan kedua pihak mengurangi senjata nuklir mereka itu. Angket pendapat itu melibatkan 1.847 orang Amerika dewasa yang diwawancarai melalui telepon selama kurun waktu satu pekan, akhir Januari lalu. Banyak juga penulis buku science fiction tak menyetujui gagasan PPS itu, sekalipun mereka suka bermimpi-mimpi. Arthur C. Clark, penulis 2001: A Space Odyssey, menganggap rencana perisai di antariksaJtu sebagai "carut-marut teknologi". Mestinya pemerintah AS mengutamakan misi kooperatif dengan Uni Soviet. Sementara itu, Isaac Asimov, ilmuwan dan penulis terkenal puluhan buku science fiction, tidak menganggap rencana Star Wars layak. "Tidak seorang pun menanggapinya secara serius," kata Asimov. Ia menilai, gagasan itu hanya cara untuk membuat orang Rusia bangkrut. "Tapi kita bangkrut juga," katanya. "Ini sangat mirip suatu siasat gaya John Wayne." Tidak semua penulis, tapi. Berkata Jerry Pournelle, "Peranan historis kaum militer ialah membuka cakrawala baru dan melindungi pemukim yang awal. Kini, ini cara terbaik memasuki antariksa." la mengakui, itu bukan satu-satunya alasan ia mendukung gagasan PPS itu. "Kalangan penulis memang terpecah-pecah mengenai soal ini," ujar Robert A. Collins, redaktur majalah Fantasy Review yang suka mengkaji tulisan science fiction. Perpecahan pendapat juga ditemui di antara para sekutu Amerika Serikat di seberang Atlantik. Kekhawatiran utama negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO ialah bahwa sistem pertahanan antariksa itu akan meniadakan perlindungan nuklir Amerika bagi mereka. Juga dikhawatirkan, dana yang luar biasa besar bagi proyek itu - US$ 26 milyar selama lima tahun mendatang - bakal menyedot biaya yang diperlukan untuk meningkatkan kekuatan senjata konvensional. Proyek itu juga dilihat sebagai memperbesar jurang teknologi maju antara AS dan Eropa. Banyak sekutu Amerika berkeinginan untuk mengambil peranan lebih besar dalam berbagai proyek pengembangan persenjataan yang kini diungguli Amerika Serikat. Amerika menjual kepada sekutunya tujuh kali lebih banyak perangkat senjata dan lainnya di bidang militer daripada yang dijual sekutu itu kepada AS. Tapi yang mengkhawatirkan ialah, Amerika dirasakan telah melanggar suatu prinsip diplomatis tradisional, yaitu pantang meminta janji negara lain yang tak mungkin bisa dipenuhi negara itu. Persetujuan yang diberikan para sekutu di Eropa agaknya pernyataan demi mempertahankan kesatuan intinya, suatu pernyataan yang diberikan penuh ragu. Bahkan Nyonya Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris, yang sepenuhnya menyetujui program PPS itu, sempat mengingatkan Kongres Amerika ketika ia berkunjung ke Amerika Desember lalu akan kata-kata Almarhum Winston Churchill, "Terutama, waspadalah jangan sampai melepaskan senjata atom sebelum pasti, dan lebih dari pasti, bahwa sarana lain telah dicoba untuk menjamin perdamaian ." Yang disetujui para sekutu pada pokoknya program riset PPS tentang penggunaannya kelak masih persoalan lain. Kekhawatiran terutama ialah, PPS itu pada waktunya bisa melanggar perjanjian AMB 1972. Itu sebabnya Kanselir Helmut Kohl dari Jerman Barat menegaskan dukungannya terhadap PPS sebagai suatu "program riset yang diperkenankan oleh perjanjian AMB". Berkata Kohl, "Dengan PPS itu, Amerika Serikat berusaha mencari jalan baru dalam dialog dengan Uni Soviet untuk mengurangi ketergantungan pada senjata nuklir ofensif dalam jangka pan jang." Sementara itu, Prancis tetap khawatir, PPS bakal mematuk suatu perlombaan persenjataan baru. Berkata Charles Hernu, menteri pertahanan Prancis, Januari lalu, "Kemungkinan terbesar, penggunaan sistem pertahanan akan melancarkan perlombaan senjata ofensif kembali." la perkirakan Soviet akan membangun sistem pertahanan sendiri, dan ini akan membuat arsenal senjata nuklir yang dimiliki Prancis sendiri mubazir. Kendati begitu, para sekutu itu tak ingin ditinggalkan jika PPS akhirnya terwu jud. Berkata Helmut Kohl "Negara industri maju seperti Jerman Barat, dan sekutu Eropa lainnya, janganlah ditinggalkan dalam tahap riset dan pengembangan PPS itu." Maka, Caspar Weinberger, menteri pertahanan AS, yang bertugas menjual gagasan PPS itu kepada para sekutu di Eropa, menyatakan bahwa PPS bisa saja diperluas hingga juga melindungi Eropa Barat. Ia juga menegaskan, kerja sama akan disambut baik oleh Amerika. "Kita membutuhkan pertolongan dari mana saja," ucapnya dalam pidatonya di Munich awal Februari lalu. Pidato itu dibacakan karena Weinberger sendiri tak bisa terbang ke Munich dari London, akibat cuaca buruk. Toh penerimaan di kalangan Eropa Barat tetap skeptis. Pertama, tentang kelayakan janji perluasan perisai itu hingga mencakup juga Eropa Barat, yang terutama terancam oleh misil jarak pendek. Dan kedua, kesediaan AS mengikutsertakan sekutu di Eropa dalam suatu program perancangan perisai berteknologi tinggi. Geoffrey Pattie, menteri negara Inggris untuk industri dan teknologi informasi, sangsi akan kesediaan AS itu - sekalipun, katanya, "Hidung Eropa gatal melihat umpan menarik seperti itu." Berbagai pejabat AS sendiri, yang hadir di Munich secara pribadi, mengakui bahwa kerja sama seperti itu memang meragukan - lebih-lebih karena ada risiko bocornya berbagai aspek teknologi yang sensitif kepada Uni Soviet. * * * Toh upaya membujuk sekutu di Eropa tak surut. Ajakan kerja sama yang diusulkan Weinberger di Munich belum ada perincian kongkretnya. Tapi akhir bulan lalu, dalam pertemuan Kelompok Perencanaan Nuklir NATO di Luxemburg, Weinberger mengajak secara resmi para anggota NATO serta beberapa negara lain untuk turut ambil bagian dalam program riset PPS itu. Ia mengirim surat kepada 14 negara anggota NATO serta juga kepada Prancis (bukan anggota NATO sejak 1964), Jepang, Australia, dan Israel. Celakanya, permintaan itu disertai harapan agar jawaban "turut tidak turut" diberikan dalam batas 60 hari. Masalah ini menimbulkan pertikaian diplomatik baru, yang bisa membatalkan dukungan apa pun dari Eropa bagi rencana AS itu. Di Jerman Barat, desakan itu diterima sebagai suatu "ultimatum", dan Weinberger dituduh menganggap Jerman Barat sebagai suatu koloni Amerika Serikat. Batas waktu itu agaknya memang tidak dlrundlngkan dulu dengan kalangan yang berwenang di AS sendiri tapi berkata Weinberger, "Tak kaku betul batas waktu 60 hari itu." Tuduhan lain: ajakan itu tetap juga tak terinci, seberapa jauh Amerika bersedia mengikutsertakan para sekutu itu. Tak lama kemudian, tampak gejala mundurnya Helmut Kohl dari dukungannya semula. Dalam suatu pertemuan, seorang pejabat senior pemerintah Jerman Barat menyatakan, pemerintahnya mungkin tak bisa memenuhi batas waktu jawaban 60 hari yang diminta Weinberger. "Kita tak ingin naik kuda yang salah, jika pun kita turut," kata pejabat yang ikut menentukan kebijaksanaan pertahanan Jerman Barat itu. "Kita tidak bisa menyatakan bahwa kita mengambil bagian dalam suatu konsep riset yang, bahkan, kita kenal pun belum." Sekalipun dalam berbagai pernyataan resmi Kohl tetap mendukung rencana Reagan itu, dukungan itu bagai ucapan bibir saja. Agaknya, Bonn lebih suka memberi keputusan jika sudah seirama dengan sikap negara anggota NATO lainnya. Para menteri pertahanan NATO yang berkumpul di Luxemburg akhir bulan lalu memang menyetujui memberi dukungan kepada program riset PPS itu, tapi kembali dukungan itu tidak terinci. Pemerintah Denmark, misalnya, diminta menolak undangan kerja sama itu oleh Parlemen. Para pejabat pemerintah Australia juga menyatakan bahwa pemerintah mereka akan menolak ajakan itu. Sedangkan menteri pertahanan Inggris, Michel Heseltine, menyatakan bahwa Inggris "bisa dipastikan" turut dalam program AS itu. Namun, para pejabat Inggris lainnya tetap ragu. Seperti dikemukakan menlu Inggris, Sir Geoffrey Howe, terdapat banyak pertanyaan tak terjawab mengenai kelayakan suatu sistem pertahanan di antariksa. Seperti juga Jerman Barat, banyak negara Eropa - terutama Prancis - ingin membentuk suatu konsorsium menghadapi kerja sama di bidang teknologi PPS, untuk memperkuat posisi Eropa terhadap AS. Tapi pendekatan itu mengkhawatirkan AS. Berkata Jenderal James Abrahamson, yang kini juga terlibat pengerahan kerja sama sekutu Eropa, "Itu sebabnya kita menganjurkan para sekutu menjawab usul kita itu secara sendiri-sendiri." Menurut Abrahamson, AS khawatir waktunya akan terlalu lama bagi orang Eropa untuk menyusun program mereka sendiri. "Saya ingin menegaskan, ini merupakan suatu program riset," katanya. "Kita di Amerika Serikat terpaksa menggunakan prosedur kontrak khusus. Satu tahun dari sekarang saja kita sudah sangat jauh terkebelakang." Tentang berbagai pernyataan kontroversial dan bertentangan oleh berbagai pejabat AS itu, jenderal angkatan udara yang berusia 53 tahun itu berkata, "Memang disesalkan, tapi hal semacam itu selalu kita lakukan." Abrahamson memang berpengalaman menggalang kerja sama di bidang teknologi antara AS dan Eropa. Ia juga mengurusi kerja sama itu waktu membangun Spacelab, laboratorium antariksa yang dirancang, dibiayai, dan dibangun sejumlah negara Eropa dan kemudian diluncurkan dalam pesawat ulang alik AS. Proyek itu melibatkan banyak problem yang kini dihadapi dengan program riset PPS itu. Abrahamson sendiri menyatakan Spacelab sebagai contoh keberhasilan kerja sama teknis. Sebaliknya, para negara Eropa yang ambil bagian dalam proyek itu sempat mengkritik pembatasan AS terhadap pemanfaatan Eropa atas teknologi yang dikembangkan bersama dalam misi itu. Abrahamson juga terlibat dalam konsorsium AS-Eropa yang membangun pesawat tempur F-16, suatu program yang dinilainya juga sangat berhasil. Kini ia ingin mengerahkan keterlibatan Eropa dengan pola serupa. Menurut Abrahamson, Eropa tak boleh mengabaikan kesempatan melibatkan para peneliti dan industrinya dengan teknologi PPS itu. Ini menyangkut terutama teknologi komputer, tapi juga komunikasi, laser, serta teknologi optis. "Ini sangat penting bukan saja bagi pertahanan strategis Eropa sendiri, tapi (teknologi itu) juga akan punya dampak atas persenjataan konvensional dan, lebih dari itu, atas perkembangan di bidang sipil," katanya. Yang jelas, keraguan para sekutu di Eropa belum lagi reda. Dan banyak lagi yang harus diperbuat Reagan dan para pendukungnya untuk meyakinkan mereka. Tulis Philip Geyelin dalam surat kabar Le Monde: "Pencegahan (serangan nuklir) yang memainkan peranan utama dalam mempertahankan perdamaian di Eropa didasarkan pada ... suatu kemampuan terjamin akan suatu pembalasan." Tatkala Ronald Reagan bermimpi mengenai suatu dunia tanpa senjata nuklir, orang Eropa mulai bertanya-tanya: dengan cara apa lagi mereka bisa mencegah suatu perang konvensional, yang sudah mereka kenal betul akibatnya, sesuatu yang belum pernah dirasakan orang Amerika. Bukan tidak mungkin tercapai suatu persetujuan, tulis Geyelin. Soalnya, masalah PPS ini, sebagai suatu masalah politik praktis, merupakan satu lagi unsur yang berpotensi mengeruhkan hubungan AS dan sekutunya di Eropa. Karena itu, harus ditangani dengan sangat hati-hati, juga selama berkembangnya perundingan perlucutan senjata di Jenewa. Masalah ini tak bisa terlepas dari perundingan itu. Demikian di mata orang Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus