MILITER DAN POLITIK Oleh: Amos Perlmutter Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1984, 452 halaman APABILA hendak memanfaatkan secara efektif banjir literatur luar negeri, termasuk yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kita harus memiliki "ilmu toserba". Ilmu itu berarti, sebelum memasuki sebuah toko serba guna, kita harus mengetahui dengan pasti apa yang dicari. Apabila tidak maka bisa terjadi, kita membawa pulang barang-barang yang menarik dan mahal, tetapi sebetulnya tidak kita perlukan. Selain itu, "ilmu toserba" berarti pula bahwa kita harus mengamati barang-barang yang tersedia di dalam toko serba guna tersebut. Sekalipun tidak membeli semua barang yang diamati, dengan memperhatikannya akan bertambah jelas bagi kita sifat dan bentuk barang yang dicari. Dengan gambaran yang lebih jelas itu, kita dapat mencari barang yang belum ditemukan pada toko serba guna lain. Apabila terpaksa, kita bisa mendesain dan membuat barang yang diperlukan itu. Dengan "ilmu toserba" tadi, patut kita sambut gembira buku karya Amos Perlmutter ini-yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Militer dan Politik. Kita telah punya daftar yang jelas mengenal apa yang kita carl darl sebuah buku seperti itu. Dan, yang kita cari ialah sampai di mana buku itu memuat hal-hal bermanfaat bagi usaha mengembangkan pemikiran di sekltar dwifungsi ABRI. Sebab, menjelang peringatan Indonesia Merdeka pada 17 Agustus nanti, kita hendak melengkapi jawaban atas pertanyaan: Mengapa kita beralih dari situasi 1945, yang di dalamnya, di samping Pancasila dan UUD '45 yang merupakan faktor utama adalah Dwitunggal Sukarno - Hatta, ke situasi sekarang, yang di dalamnya, di samping Pancasila dan UUD '45, faktor yang sangat penting ialah dwifungsi ABRI? Kita mengharapkan pada tahun-tahun mendatang dwifungsi ABRI akan merupakan faktor positif dalam pembangunan naslonal menuju timggal landas - termasuk dalam pembangunan politik untuk mengembangkan Demokrasi Pancasila. Sedangkan yang kita prihatinkan ialah jangan-jangan dwifungsi ABRI akan membawa kita ke pembusukan politik: militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme. Bagaimana landasan pemikiran teoretis lebih lengkap dan program lebih kongkret hisa dikembangkan, agar dwifungsi ABRI dapat mewujudkan apa yang kita harapkan sambil menghindarkan yang kita prihatinkan? Dalam kata pengantar untuk edisi bahasa Indonesia, Dr. Burhan Magenda menegaskan, buku ini tidak dapat diharapkan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Magenda menulis, "Karena wilayah studinya yang memang lain, tidaklah dapat diharapkan bahwa buku Perlmutter ini dapat menjawab banyak pertanyaan yang berhubungan dengan peranan sosial politik ABRI. Untuk itu diperlukan pendekatan yang lebih luas." Sebab itu, kita membaca buku ini sampai seorang sarjana Indonesia menelurkan karya dengan menggunakan pendekatan yang lebih luas itu. Perlmutter menyebut 10 sarjana Barat telah memelopori studi mengenai hubungan sipil-militer di negara-negara non-Barat yang sedang berkembang (halaman LI). Maka, dapat ditambah Perlmutter sebagai nama ke-l1. Dengan segala perbedaan di antara mereka, karya ke-11 sarjana Barat itu tentu mencerminkan orientasi dan nilai-nilai yang terdapat di lingkungan dan zaman saat mereka hidup. Sadar atau tidak, sarjana-sarjana non-Barat, termasuk sarjana-sarjana Indonesia, bisa cenderung berpedoman kepada orientasi dan nilai-nilai dari guru-guru mereka, yang umumnya dari Barat. Dalam hubungan itulah kita menunggu munculnya seorang PerImutter Indonesia, yangberorientasi pada nilainilai sendiri. Buku ini, yang hendak mengembangkan suatu teori umum tentang hubungan sipilmiliter, hampir tidak memperhatikan Indonesia. Kata Indonesia hanya disebut dua kali. Yaitu, pada akhir satu paragraf singkat yang berbunyi, "Ketika PKI menyerang tentera, tentera memukul kembali dan setelah tahun 1965 tentera terlibat dalam pembubaran orde lama dan menegakkan orde baru di bawah kekuasaan militer." (halaman 179) dan pada tabel, yang mencantumkan bahwa di Indonesia telah terjadi enam kali kudeta militer dalam kurun waktu 1946-1970. Kita, yang selalu berhasil untuk menghindarkan tradisi kudeta: tentu akan merasa heran membaca tabel itu. Perlmutter dalam buku ini mengintroduksikan suatu kategori baru militer, yaitu "prajurit profesional revolusioner". Dalam literatur sipil-militer selama ini hanya ada dua kategori, yaitu "prajurit profesional" dan "prajurit pretorian". Sekiranya Perlmutter memberikan perhatian kepada Indonesia, maka dia sebetulnya dapat menyebut prajurit ABRI, yang merupakan "pejuang dan prajurit", sebagai salah satu contoh "prajurit profesional revolusioner". Sehingga, pengertian itu tidak hanya dibatasi kepada kasus-kasus revolusi komunis di RRC dan Vietnam, serta kasus Israel. Sekalipun Perlmutter hampir tidak memperhatikan Indonesia, kita dapat mencatat dua hal yang bermanfaat dalam buku itu. Pertama, kalimat yang menegaskan bahwa "keadaan politik menentukan sifat/jenis hubungan-hubungan sipil-militer" (halaman 435). Sedangkan Clausewitz mengajarkan, untuk mempelajari perang, kita harus bertolak dari politik. Apabila kita hendak mempelajari peranan militer, termasuk dwifungsi ABRI, kita harus bertolak dari keadaan politik, dan tidak sebaliknya. Sebab, kelemahan politiklah yang mengundang peranan militer, termasuk dwifungsi ABRI, untuk ikut mendorong pembangunan politik. Di Indonesla, itu berarti ikut mendorong pertumbuhan Demokrasi Pancasila. Kedua, catatan mengenai "prajurit profesional revolusioner". Perlmutter, yang sangat bersahabat dengan jenderal-jenderal Israel (halaman LIX), memberikan sanjungan pada tentara Israel, yang digolongkannya "prajurit profesional revolusioner". Tapi ia tidak memberikan uraian meyakinkan mengenai pengertian revolusi itu. Kalimat terakhir buku ini hanya berbunyi: "Prajurit revolusioner, produk suatu kebudayaan politik yang baru dan pencipta kebudayaan militer yang baru, adalah prajurit yang telah menciptakan suatu tipe alternatif profesionalisme militer" (halaman 452). Tanpa mempermasalahkan sanjungan terhadap prajurit Israel, yang secara tersirat terdapat di dalam kalimat itu, kita dapat menjadikannya dorongan untuk mengembangkan pemlklran yang kreatlf dan inovatlf mengenai ABRI sebagai "pejuang dan prajurit". Sebab, dalam kata-kata ' pejuang dan prajurit" itu tercakup tugas mengembangkan kebudayaan politik dan sistem sosial ekonomi sebagal pelaksanaan cita-cita perjuangan bangsa, dan selanjutnya tugas untuk mengembangkan tipe profesionalisme militer yang baru. Yaitu, profesionalisme militer yang memperoleh motivasi, inspirasi, arah perkembangan, dan orientasi pertumbuhannya dari cita-cita perjuangan bangsa. Dengan segala kritik terhadap buku ini, termasuk kelemahan dalam penerjemahannya, dengan "ilmu toserba" kita dapat menarik beberapa manfaat guna mengembangkan landasan pemikiran teoretis dan lebih mengkongkretkan program pelaksanaan dwifungsi ABRI - khususnya selama tahuntahun perampungan tugas Angkatan 45 dalam pembangunan nasional. T.B. Simatupang Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1951)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini