Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani*
PELAWAK dijagokan jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemain sinetron diminta membuat undang-undang di lembaga negara tersebut. Semua ini dilakukan oleh sejumlah partai politik secara instan karena mereka direkrut sebagai calon legislator menjelang pemilihan umum, meski sebelumnya para selebritas itu tidak punya kaitan apa-apa dengan partai bersangkutan. Partai-partai dipaksa melakukan akrobat ini untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di rimba politik Indonesia yang keras dan penuh dengan ketidakpastian itu.
Sistem Proporsional Terbuka
Kehadiran calon anggota legislatif instan itu merupakan tantangan serius bagi kader partai yang telah lama aktif di partai. Kader bukan hanya diancam oleh sesama kader dari partai yang sama ataupun dari partai berbeda, melainkan juga oleh warga nonpartai. Persaingan politik untuk merebut kursi Dewan menjadi semakin keras.
Mengerasnya persaingan politik tersebut disempurnakan oleh kebijakan internal sejumlah partai yang menghapus ”sistem pemilu proporsional setengah terbuka” dan digantikan dengan ”sistem pemilu proporsional terbuka”. Dalam sistem yang disebut terakhir ini, nomor urut calon di sebuah partai tidak penting bagi keterpilihan seorang calon dari partai bersangkutan. Yang menentukan adalah jumlah suara terbanyak dari pemilih yang diperoleh oleh seorang calon, mencapai bilangan pembagi pemilih ataupun tidak, berapa pun nomor urutnya.
Pelawak Eko Patrio, yang dicalonkan Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya, akan mengalahkan Ketua Partai Profesor Didiek J. Rachbini apabila perolehan suara pelawak tersebut ternyata lebih banyak dari sang ketua partai di daerah pemilihan yang sama ketika total yang diperoleh PAN di wilayah itu memenuhi jumlah minimal untuk satu kursi di Senayan. Produsen ”ngakak” itu yang akan menjadi anggota Dewan dari Fraksi PAN, bukan seorang ekonom ”kemandirian bangsa”. Dalam kasus ini, keterampilan membuat ngakak lebih bernilai elektoral ketimbang ilmu ekonomi seorang profesor. Sumber masalahnya, Eko, dibanding Didiek, mungkin jauh lebih dikenal oleh pemilih pada umumnya. Walaupun Didiek lebih kompeten untuk legislasi, pemilih tidak tahu dia dan kompetensinya itu. Kognisi dan sikap pemilih, atau pasar politik, menentukan nasib politik seorang politikus.
Penganut sistem proporsional terbuka punya pijakan normatif yang kukuh dan ideal. Siapa yang bekerja lebih keras dalam sosialisasi diri atau kampanye, ia akan punya peluang lebih besar untuk mendapat suara lebih banyak, dan kemudian terpilih menjadi anggota Dewan. Yang menentukan keterpilihan bukan nomor urut, yang dibuat seorang atau segelintir elite partai yang sering didasarkan menurut pertimbangan subyektif, melainkan kerja keras masing-masing calon.
Selama ini banyak kader partai terpilih menjadi anggota Dewan karena nomor urutnya bagus akibat dari kedekatannya dengan ketua umum partai. Bukan karena kerjanya untuk memperbesar partai dan melayani konstituennya. Sistem proporsional terbuka merupakan koreksi sistematik terhadap kekurangan sistem proporsional tertutup atau semi-terbuka tersebut.
Sistem proporsional terbuka memaksa setiap calon bekerja keras untuk dirinya, kemudian untuk partainya agar didukung oleh pemilih. Ini diharapkan akan membesarkan partai dan akan membuat wakil rakyat menjadi lebih berkualitas terutama dari sisi akuntabilitas publik. Seorang calon, ketimbang partai, akan lebih diingat dengan segala janjinya. Karena itu meminta pertanggungjawabannya menjadi lebih sederhana karena kepada orang bukan kepada organisasi (partai). Mekanisme reward and punishment yang bisa menjadi dasar normatif yang rasional dalam menciptakan hubungan antara anggota Dewan dan konstituennya akan lebih bisa dijalankan. Siapa calon yang mampu memenuhi janji-janji yang disukai pemilih dalam kampanye, ia akan bertahan sebagai pejabat publik dengan kembali dipilih dalam pemilu berikutnya. Sebaliknya, akan dihukum dengan tidak memilihnya kembali.
Konflik Internal
Efek jangka pendek dari diberlakukannya sistem pemilihan proporsional terbuka itu adalah konflik internal di partai. Partai-partai kita selama ini terbiasa dengan sistem proporsional tertutup. Karena itu, untuk menjadi anggota DPR atau DPRD, setiap kader partai selama ini dengan cara mereka masing-masing berlomba-lomba untuk dekat dengan lingkaran utama partai. Ini menciptakan perilaku asal bapak atau ibu senang.
Dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka, setelah bertahun-tahun mendekat pada petinggi partai dengan harapan mendapat nomor urut jadi, sang kader tiba-tiba menjadi musuh elite partai. Ada kemudian yang mundur dari pencalonan karena tidak sanggup menarik massa pemilih. Ia selama ini tidak bekerja untuk pemilih tapi untuk petinggi partai. Tidak mustahil juga kader lama partai meminta pensiun dini karena persaingan yang semakin keras di pasar politik. Kemungkinan ini akan terjadi pada partai seperti Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang secara tiba-tiba memberlakukan sistem proporsional terbuka.
Kesinambungan kaderisasi politik di partai bisa terganggu. Bahkan persaingan sesama kader dari partai yang sama di sebuah daerah pemilihan akan meningkat, dan mungkin ”saling bunuh”. Lebih celaka lagi apabila persaingan ini hanya memperebutkan ”kapling pemilih” yang sama, tidak memperluasnya, sehingga tidak menambah dukungan pemilih bagi partai bersangkutan.
Di samping itu, ketegangan internal partai meningkat karena partai terbuka terhadap calon dari luar partai. Lebih-lebih kalau calon itu hanya bermodal popularitas tanpa kompetensi yang relevan dengan legislasi. Misalnya calon yang berlatar belakang artis.
Umumnya masyarakat ragu atas kemampuan legislasi anggota Dewan dari kalangan artis ini. Pemilu 2004 telah melahirkan sejumlah legislator berlatar belakang artis, dan secara umum publik kurang mendengar suara mereka. Sejauh ini, mereka tetap lebih dikenal sebagai pelawak, wanita cantik, bintang iklan, atau pemain sinetron, daripada legislator yang gigih.
Para kader partai yang sudah bekerja keras akibat sistem proporsional terbuka itu masih harus bersaing dengan artis. Maka tidak sedikit dari kader partai yang menggugat kebijakan elite partai yang dipandang terlalu inklusif dalam rekrutmen calon anggota legislatif.
Namun, hampir semua partai besar memasang artis sebagai calon anggota Dewan. Kalau jumlah calon artis itu relatif seimbang di antara partai itu, nilai tambah artis untuk mendongkrak suara untuk masing-masing partai menjadi hilang. Sebab semua partai punya calon artis. Apa bedanya kemudian antara PAN dan Partai Demokrat, misalnya, kalau dilihat dari keartisan ini. Karena itu, yang akan menentukan kemudian bukan keartisannya melainkan nilai tambah lainnya dari sang artis, misalnya kompetensi, integritas, atau moral. Dalam situasi ketika semua partai memasang artis, maka ”artis plus” yang akan membantu mendongkrak partai, bukan sekadar artis cantik atau lucu.
Bila ternyata strategi partai berhasil mendongkrak suaranya karena calon artis itu, kita akan punya wakil rakyat yang ganteng-ganteng, cantik-cantik, dan lucu-lucu, tapi belum tentu kompeten dalam legislasi. Kualitas anggota DPR kita ke depan, setidaknya dari hasil Pemilu 2009, akan menurun karena pengetahuan dan keterampilan legislasi tidak bisa ditanggulangi dengan program instan. Legislasi membutuhkan pendidikan yang memadai, tidak instan, dan juga pengalaman yang cukup. Kader yang berpendidikan dan cukup berpengalaman pun tidak menjamin bisa menjadi legislator yang tangguh, seperti yang umumnya kita miliki sekarang. Apalagi yang karbitan.
Dalam demokrasi dengan pemilih yang umumnya tidak kompeten karena umumnya hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, sistem pemilu proporsional terbuka seperti yang akan dianut sejumlah partai besar akan membuka pasar politik bagi warga yang populer meskipun tidak kompeten untuk menjadi seorang politikus yang tangguh. Demokrasi kita akan diisi oleh para bintang sinetron dan badut dalam arti harfiah, atau warga yang secara profesional lekat dengan dunia khayalan.
Ekses itu sulit dihindarkan. Butuh waktu lama, butuh pemilih lebih melek, untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ekses itu.
Revisi Undang-undang
Intervensi politik lewat perubahan undang-undang pemilu untuk mengurangi ekses itu perlu dilakukan. Misalnya dengan menetapkan sejumlah syarat untuk seorang calon anggota Dewan seperti kompetensi, latar belakang keahlian yang sesuai dengan kebutuhan legislasi, dan integritas. Bila syarat-syarat ini dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional terbuka, pasar politik yang lebih dapat memenuhi harapan publik, dari sisi penawaran, dapat dihasilkan.
Kader partai yang kompeten dan punya integritas dipaksa bekerja keras mendekati rakyat lewat sistem pemilu tersebut. Para badut tidak akan mudah berpindah profesi. Demikian juga orang-orang cantik dan ganteng. Jangan sampai bangsa ini dimonopoli oleh politik. Seni juga harus berkembang, sama seperti politik.
Tapi alternatif ini juga tidak mudah. Karena warga yang memenuhi kriteria di atas dan mau bekerja keras untuk merebut simpati massa pemilih tidak banyak, dan kini biayanya pun tidak sedikit. Lalu, ketika ada perbedaan kemampuan finansial, yang unggul secara finansial lebih berpeluang terpilih meskipun mungkin kurang memenuhi kriteria legislasi.
Masalah ini dapat diatasi dengan mengubah undang-undang pemilihan umum sedemikian hingga ongkos kampanye dibatasi pada tingkat yang terjangkau oleh warga sekelas pegawai negeri, misalnya. Tanpa harus melalui ajang pengumpulan dana. Bisa juga negara menyediakan anggaran untuk setiap calon dengan besaran yang sama dan tidak boleh ada tambahan. Dengan demikian, dalam demokrasi kita yang akan menonjol bukan uang, bukan banyolan, bukan akting, dan juga bukan khayalan, melainkan kompetensi, integritas, dan kedekatan calon dengan pemilih.
*)Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Peneliti Freedom Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo