Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Subversi lewat uu

Komunis di Indonesia bukan lagi mengancam dengan kekerasan. Kini memilih cara, misalnya subversi lewat perundang-undangan no 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Harus ada pengujian materil undang-undang.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Subversi lewat uu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Setelah membaca tulisan mengenai keadaan di Filipina berjudul Komunis Harus Dihadapi Total (TEMPO, 30 Januari, Luar Negeri), saya ingin menyatakan bahwa di mana-mana memang bahaya komunis sama saja: akan menggunakan cara apa saja yang lebih menguntungkan baginya. Setelah dua kali gagal melakukan gerakan bersenjata (1948 dan 1965), agaknya komunis di Indonesia memilih cara yang tidak memakai kekerasan, misalnya subversi lewat perundang-undangan. Bagi yang tidak jeli, memang sama sekali tidak tampak. Tetapi bagi yang gemar membaca, langkah-langkah komunis itu akan terlihat. Pada 1979 ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Aneh: terbit dua peraturan pemerintah sebagai penjabarannya, tetapi hanya mengenai pengangkatan dan pemensiunan lurah/ kepala desa dan perangkatnya. Namun, yang paling hakiki, yaitu kesatuan masyarakat hukum mana yang menurut undang-undang itu disebut desa. Ternyata, cukup diatur dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1980. Artinya, penetapan ini tidak diumumkan dengan cara semestinya, yaitu dalam Lembaran Negara, sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 1950. Ketahuilah, Instruksi 6 Februari 1980 itu memuat ketentuan mengenai pelanggaran terhadap UUD 1945, yaitu hak pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dihapuskan. Padahal, dalam penjelasan pasal 18 UUD Proklamasi dengan tegas dinyatakan bahwa nak pemerintahan nagari harus dihormati. Bunyinya "Dalam territoir Negara Indonesia terdapat k.I. 250 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut." Lebih-lebih dengan penggantian jorong (dus bukan nagari lagi) sebagai persekutuan masyarakat hukum yang disebut desa, maka Seminar UU Pemerintahan Desa di Padang pada 31 Januari 1987, yang pernah saya ikuti, menyatakan bahwa tugas desa pertama-tama adalah melaksanakan land reform. Itu tercantum dalam makalah aparat Agraria setempat. Padahal, buku Pusat Penerangan Angkatan Darat penerbitan 1965 Nomor 1, 2, dan 3 berjudul fakta-fakta Persoalan Sekitar Gerakan 30 September, di halaman 429 mengenai aksi PKI antara lain mengungkapkan, ". . . dalam usaha untuk merebut sedikit demi sedikit kekuasaan di desa menghapuskan Inlandse Gemeente Ordonnanhe dan Inlandse Gemeente Ordonnantie Buitengewesten, usaha merealisir lancarnya Undang-Undang Pokok Agraria Undang-Undang Bagi Hasil dan pembentukan lurah komunis." Sedangkan di halaman 435 dan 443 diakui PKI bahwa kedua undang-undang itu adalah proyeknya. Maka, pasal ketiga UUPA juga jelas menentukan perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut undang-undang ini akan diatur tersendiri." Dari peristiwa itu, kita dapat menyimpulkan bahwa materi kedua undang-undang proyek PKI tersebut (termasuk land reform), yang dasarnya Tap MPRS Nomor I dan II/1960, dan menurut Tap MPRS Nomor XXXVIII/1968 serta Tap MPR Nomor V/1973 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, justru dengan UU tentang Pemeritahan Desa 1979 akan direalisasikan. Sehubungan dengan itu, saya ingin bertanya kepada para anggota MPR yang akan bersidang nanti hal-hal berikut. 1. Tidak perlukah kiranya dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan tap-tap MPR/ MPRS yang lalu? 2. Tidak adakah usaha untuk melakukan pengujian materiil terhadap undangundang dan pengawasan pelaksanaannya? Bangsa Indonesia pada 1959 telah memasuki babak "Kembali Kepada UUD 1945", sedangkan pada 1966 sampai pada babak "Orde Baru". Tetapi kalau begini terus akan tetap "babak belur". JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo, S.H. 52 Jakarta Selatan 12870

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus