Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR tahun 1960-an, di pasar Blok A lama, belakang markas polisi Kebayoran Baru, pernah saya temui seorang anak muda Minang. Duduk bersimpuh di atas secarik tikar. Berbagai macam barang tergeletak peniti, jarum, kancing baju, dan perhiasan imitasi untuk anak-anak perempuan. Mungkin ia tidak perlu kenal dengan slogan efisiensi -- seperti acap terdengar dewasa ini. Tapi hidupnya telah hemat dan bersahaja. Kira-kira tiga bulan kemudian, saya melihat dia telah berjualan dengan gerobak, sebesar kios rokok. Tikar telah dicampakkan. Dan entah beberapa bulan kemudian, ia telah mempunyai kios yang sebenarnya. Sang Uda Minang ini mungkin tidak perlu suntikan achievement motivation, sebagaimana yang digalakkan oleh David McCleyland, seorang psikolog sosial Amerika terkenal, yang melakukan eksperimen kewiraswastaan di Kakinada, India. Tanpa Achievement Motivation Training (AMT) sekalipun, sang Uda cukup berhasil. Bagaimana nasibnya kemudian, setelah pasar lama dipindah ke pasar berbeton dan bertingkat, tidaklah saya ketahui lagi. Yang jelas, proses pemupukan modalnya hampir-hampir tidak berhubungan dengan pemerintah Orde Baru yang sedang giat-giatnya membangun. Ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam jaringan relasi birokrasi, yang mereproduksikan sebagian besar kaum menengah ekonomi. Jutaan orang yang senasib dengan Uda ini, tampaknya, sedang dan akan terus bergulat dalam jaringan yang peripheral (pinggiran) sifatnya. Tapi apa ada swasta tiruan? Mungkin ada, mungkin juga tidak. Saya jadi ingat ceramah Johan Roepke di tahun 1978 tentang sebagian dari golongan ini yang disebutnya political entrepreneurs. Pasang-surutnya pengusaha, demikianlah sejauh yang saya ingat dari ucapan Roepke, sebagian sangat ditentukan oleh politik. Ketika Soekarno berkuasa, ujar sosiolog -- kalau tidak salah -- dari Jerman ini, muncul segolongan pengusaha tertentu. Tapi kemudian lenyap bersama dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno. Gejala yang sama juga terlihat di masa Orde Baru. Setidak-tidaknya, dalam ceramah itu, Roepke berhasil membuktikan betapa kuatnya hubungan perkembangan dunia swasta dengan politik. Bagaimana, sih, gejala itu bisa muncul? Bacalah Kriminalitas TEMPO (15 Februari 1986). Tapi bukan aspek kriminalnya yang menarik melainkan proses kebangkitan modal swasta. Modal awal CV Nusa Putra yang didirikan H. Mahmud mungkin tidak terlalu besar. Tapi kemudian, terlepas dari curang atau tidak, omsetnya bisa mencapai Rp 1,1 milyar. Satu angka yang mungkin relatif besar bagi sebuah CV di Pontianak. Apalagi dibandingkan dengan sang Uda atau orang sejenisnya. Pasalnya, ia punya akses untuk masuk ke dalam jaringan relasi birokrasi. Maka, dia ditunjuk sebagai stock houder untuk mengurus, menyimpan, dan menyelenggarakan beras Pemda Kal-Bar. Demikian kuatnya jaringan ini, sehingga ia lebih dimenangkan oleh PT Akcaya Dharma, perusahaan milik Pemda sendiri yang dikelola oleh para pensiunan -- sekalipun direktur utamanya bekas wali kota Pontianak. Sesungguhnyalah, seperti acap dikemukakan oleh hasil studi tentang ini di banyak negara berkembang, kebangkitan kaum swasta lebih merupakan perluasan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh negara. Negara pascakolonial, ujar Hamza Alavi yang melakukan studi terhadap Pakistan dan Bangladesh, mengalami over developed. Sementara potensi dan sistem masyarakat dirusakkan oleh kolonialisasi, institusi negara (kolonial) telah lebih dahulu berkembang. Ketika merdeka, para elite politisi hanya melanjutkan struktur negara yang telah tersedia. Maka, institusi negara mendahului perkembangan potensi kekuatan ekonomi masyarakat. Dan dalam masa pembangunan, negaralah yang meminta dana atas nama rakyat -- kepada pihak luar. Maka, negara telah menjadi financier, badan yang membiayai proyek-proyek pembangunan. Lewat proyek-proyek inilah, kaum swasta dibentuk. Proses pemupukan modal bisa berlangsung terus, sejauh seseorang tetap bisa memelihara akses masuk dalam jaringan relasi birokrasi. Dari sinilah kita menyaksikan bangkitnya swasta nasional. Toh dalam masa pembangunan ini, situasinya tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang lebih rumit, yang oleh Peter Evan dikembangkan menjadi teori "tiga serangkai": suatu jalinan kerja sama antara negara, swasta nasional, dan swasta asing. Ketiganya saling membutuhkan. Negara di satu pihak membutuhkan modal asing untuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, modal dalam negeri tidak memadai. Modal asing membutuhkan negara, untuk memberikan keabsahan politik operasi modalnya di dalam negara yang bersangkutan. Sementara itu, swasta nasional membutuhkan negara, sebagai sumber modal utama dan negara membutuhkan ketenangan swasta nasional, untuk tidak menggerakkan kaum nasionalis, mengusir swasta asing. Dan karena itu, swasta nasional harus mendapatkan bagian yang proporsional. Tapi, ketika modal asing, kini, lebih senang menanamkan modalnya di Mesir, atau Malaysia dan Filipina -- prapergolakan ketika pendapatan negara kita -- akibat resesi dunia -- sudah relatif menurun, toh swasta mungkin tidak terlalu bisa digenjot. BUMN mungkin bisa dijual kepada pihak swasta -- walau dengan sikap pemerintah yang maju-mundur. Namun, bila itu dilakukan sambil menciutkan dana APBN -- sumber dana terbesar bagi swasta nasional -- dan rephasing proyek-proyek pembangunan tertentu, maka . . . swasta perlu injeksi modal dari negara, yang sedang mengap-mengap. Podo wae. Melingkar-lingkar memang. Tapi siapa, sih, yang bisa memupuk modal secara konstan? Kaum pedagang di tingkat Uda Minang mungkin hanya merupakan subsistensi kota. Sebab, dari sepuluh orang sopir taksi Minang yang saya wawancarai, dua orang bekas guru PGA di kampuang. Dua orang lainnya tidak jelas jawabannya. Dan enam orang, ternyata, bekas pedagang di Tanah Abang. Lho, veteran dagang juo awak ko ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo