Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Prabowo Subianto: Turunan Produk Gagal Reformasi

Prabowo Subianto merupakan salah satu turunan dari produk gagal reformasi.

28 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA banyak produk gagal reformasi. Di antaranya rezim pengganti Orde Baru yang tak pernah kunjung membawa Soeharto ke pengadilan hingga meninggal pada 2008. Padahal penguasa 32 tahun itu dituduh terlibat banyak perkara korupsi. Rezim baru juga tak pernah mengadili pembantu-pembantu Soeharto yang lancung atau pemimpin militernya yang banyak melanggar hak asasi manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prabowo Subianto merupakan salah satu turunan dari produk gagal reformasi itu. Dituduh bertanggung jawab atas penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini tak pernah disemati status terdakwa. Kejahatan kemanusiaan yang dia lakukan bersama timnya diselesaikan secara politis, yaitu melalui Dewan Kehormatan Perwira bentukan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan yang dipimpin Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, ketika itu Kepala Staf TNI Angkatan Darat tersebut, mengeluarkan rekomendasi pemecatan Prabowo. Berdasarkan rekomendasi ini, Panglima ABRI Jenderal Wiranto memberhentikan dengan tidak hormat jenderal bintang tiga itu. Prabowo lalu "lari" ke Yordania selama dua tahun. Ia tak pernah sekali pun diajukan ke pengadilan. Walhasil, ia sebenarnya baru menerima sanksi politis-administratif--bukan hukuman pidana.

Demokrasi kemudian "mencuci" noktah hitam masa lalu Prabowo. Tersungkur di militer, ia membangun kembali karier politiknya. Ia masuk Partai Golkar hingga mengikuti konvensi pada 2004, bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Akbar Tandjung, dan Wiranto. Walau akhirnya gagal melewati penjaringan calon presiden dari Partai Beringin itu, ia telah mengibarkan bendera politik lebih tinggi.

Kurang dari sepuluh tahun setelah dipecat, Prabowo semakin kencang berlayar di atas arus demokrasi: mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai ini--ia menempati posisi Ketua Dewan Pembina--ternyata bisa menarik minat pemilih. Dengan perolehan 26 kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Gerindra berhasil melewati electoral threshold Pemilihan Umum 2009. Gerindra berkoalisi dengan PDI Perjuangan memasangkan Megawati Soekarnoputri, ketua umum partai itu, sebagai calon presiden dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden. Mereka kalah satu putaran oleh duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Waktu terus mengaburkan kesalahan masa lalu Prabowo. Pemilih-pemilih pemula, yang semakin berjarak dengan kejadian kelam akhir kekuasaan Orde Baru, bisa jadi silau oleh orasi sang Jenderal tentang "nasionalisme". Sejumlah hasil jajak pendapat menempatkan dia pada posisi ter­atas calon presiden 2014. Halaman Facebook dan Twitter-nya diikuti ratusan ribu orang. Hanya Gubernur Jakarta Joko Widodo yang kemudian mampu menyaingi popularitas mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu.

Demokrasi pun menjadi pedang bersisi dua. Sistem ini memaksa siapa pun--preman, jagoan, akademikus, pedagang, penganggur--mengikuti mekanisme kontestasi jika ingin menempati jabatan politik. Seorang tentara jagoan tak bisa lagi memilih jalan kekerasan atau kudeta dalam sistem ini. Ia harus mendirikan atau masuk partai, mengikuti pemilihan umum, kemudian menjadi calon presiden untuk bisa berkuasa.

Sisi pedang lainnya mengharuskan masyarakat menghormati siapa pun yang terpilih. Politikus yang tak kompeten bisa saja dihasilkan melalui pemilihan umum. Seorang tentara bengis pun bisa berkuasa dengan mekanisme ini. Kita ingat, penguasa fasis Adolf Hitler pun ditunjuk menjadi kanselir yang memimpin kabinet Jerman oleh sistem demokrasi pada 1932.

Pada dua sisi pedang itulah kita menempatkan Prabowo Subianto. Jenderal yang dipecat ini perlu dihargai karena memilih jalan "beradab" demokrasi. Sebaliknya, masyarakat harus siap jika "produk gagal reformasi" ini ternyata dipilih mayoritas pemilik suara pada pemilihan presiden tahun depan.

Dalam konteks demokrasi--yang memberi hak hidup bagi kritik sekeras apa pun--itu pula kita harus membeberkan luar-dalam figur setiap calon presiden, termasuk Prabowo. Tujuannya, pemilik hak suara bisa menentukan pilihan secara rasional pada 2014. Kita bisa menimbang pelbagai konsep dan retorika Prabowo--selain masa lalunya. Ambil contoh, ia mengkritik kekayaan alam yang selama ini hanya dikuasai segelintir kelompok. Padahal kita tahu perusahaannya berada di antara segelintir kelompok itu. Ia juga mempersoalkan distribusi pendapatan nasional yang didominasi satu persen penduduk--dan, semua tahu, ia pun masuk bagian satu persen ini.

Masih ada waktu bagi 180 juta lebih calon pemilih untuk menimbang-nimbang setiap calon. Kita tentu ingin menghasilkan pemimpin yang terbaik, bukan salah satu produk gagal reformasi yang pintar beretorika.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Abu-Abu Prabowo"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus