Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH orang nomor satu di Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditangkap dalam kasus suap, debat ihwal kedaruratan mahkamah tinggi itu harus dibuang jauh-jauh. Hilangnya kepercayaan masyarakat kepada penguji konstitusi serta pemutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum itu terlihat jelas. Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi dengan bukti miliaran rupiah, lalu siapa masih percaya putusan lain mahkamah itu tidak berbau sogok? Amblasnya kepercayaan rakyat ini merupakan keadaan genting dan mendesak untuk dipulihkan.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menuntut prasyarat terjadinya keadaan genting dan memaksa, tepat menjawab kebutuhan "penyembuhan" Mahkamah. "Superbodi" dengan putusan final dan mengikat itu mesti direhabilitasi selekasnya. Soalnya, setiap putusan Mahkamah mempunyai dampak strategis dan sangat luas. Tidak terbayangkan bila, misalnya, pengujian undang-undang terhadap konstitusi terbukti diperjualbelikan demi uang suap. Bagaimana pula legitimasi seorang kepala daerah andaikan terungkap putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkannya ternyata bergelimang rasuah.
Perpu Nomor 1 Tahun 2013—yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi—mencoba mengatasi keadaan buruk itu. Yang terpenting, perpu itu mengembalikan fungsi pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi. Semula diatur Komisi Yudisial dapat mengawasi Mahkamah Konstitusi. Tapi pada 2006 Mahkamah menolak pengawasan Komisi Yudisial. Putusan Mahkamah atas dirinya sendiri itu sesungguhnya bisa dipersoalkan karena jelas mengandung benturan kepentingan. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi bekerja tanpa pengawasan pihak mana pun.
Dalam perpu terbaru, pengawasan akan dijalankan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Majelis yang sifatnya permanen itu dibentuk Mahkamah Konstitusi bersama Komisi Yudisial. Sejumlah pihak bisa dilibatkan dalam Majelis Kehormatan, tidak terkecuali kalangan independen. Kembalinya fungsi pengawasan atas Mahkamah Konstitusi merupakan kemajuan cukup berarti.
Dewan Perwakilan Rakyat semestinya segera mengesahkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu. Demi mengembalikan kredibilitas Mahkamah Konstitusi, Dewan selayaknya mengesampingkan kepentingannya, misalnya, dalam seleksi hakim konstitusi. Selama ini, calon hakim konstitusi diusulkan DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung. Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013, ada syarat tambahan bagi calon dari DPR: bukan lagi anggota partai politik paling tidak tujuh tahun sebelum diseleksi sebagai calon. Syarat ini tentu bermaksud membatasi kemungkinan hakim konstitusi berkomplot dengan "mantan kolega atau anak buah"-nya untuk memenangkan kepentingan partai politik tertentu.
Pembatasan waktu bagi calon hakim konstitusi dari partai politik yang terkesan melanggar hak politik warga negara itu bisa dibenarkan untuk menghindari kemudaratan lebih besar. Analogi yang bisa diambil adalah larangan bagi anggota aktif Tentara Nasional Indonesia untuk menggunakan hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Larangan itu diterapkan untuk mencegah angkatan bersenjata bertindak tidak netral, yang berpeluang merusak kebebasan rakyat dalam memilih partai.
Dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2013, pemerintah sudah memulai satu langkah untuk perubahan Mahkamah Konstitusi. Akan sangat elok jika DPR ikut andil dalam perbaikan Mahkamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo