KONON, ditahun 2.000 kelak, penyediaan pangan nasional kita
harus dapat memenuhi kebutuhan 232 juta mulut. Saat itu diduga
kebutuhan diversifikasi pangan adalah: 27,8 juta ton beras, 7,78
juta ton jagung, 3.89 juta ton ubi kayu, dan 4.45 juta ton
kacang-kacangan. Padahal, areal pertanian yang ada sekarang
diduga hanya akan menghasilkan 20 juta ton beras. Walhasil
terdapat kekurangan beras sebesar 7,8 juta ton. Melakukan impor
yang berkepanjangan dikhawatirkan akan menimbulkan cemoohan. Ini
benar-benar merisaukan.
Karena itulah agaknya kaum agronomi keluar dengan angka 400.000
hektar per tahun. Maksudnya, kekurangan beras sebesar 7,8 juta
ton di tahun 2.000 kelak harus ditutup dari hasil perluasan
areal pertanian. Diperkirakan perluasan areal pasang surut akan
menghasilkan tambahan 3,3 juta ton, areal sawah tadah hujan 3,5
juta ton dan areal tanah kering 1 juta ton. Di samping itu menu
kita disarankan agar dibuat lebih beragam. Misalnya selain nasi,
perut kita harus dijejali pula dengan sejenis ketela. Jadi,
makan secara confounded diubah menjadi makan secara factorial.
Terakhir, Saudara Singarimbun yang ahli di bidang kependudukan
muncul dengan saran sagunya. Dia menganjurkan agar kita mulai
melirik pohon sagu yang konon di tanah air kita jumlahnya mampu
secara terus-menerus memenuhi kebutuhan karbohidrat 400 juta
manusla.
Jadi jelas, telah terlihat adanya tanda-tanda kebiasaan kita
makan nasi sudah sampai pada taraf "sedang akan dibatasi".
Artinya: ada kemungkinan anak cucu kita kelak akan bertukar
menu. Kasihan.
Andaikata nanti -- andaikata, lho-ada semacam program nasional
yang menganjurkan kita makan ketela atau sagu, apa tidak ada
pengaruhnya terhadap martabat bangsa? Soalnya kita akan
membangun "manusia seutuhnya". Lha, melalui umbi-umbian begitu,
apa mungkin? Lain hal kalau sudah kebiasaan.
Lalu bagaimana? Mumpung masih ada waktu, sebaiknya kita pikirkan
kembali soal beras buatan tempo hari. Konon melalui
tabung-tabung gelas yang aneh bentuknya, para ahli di
laboratorium sudah dapat membuat sejenis beras yang bukan main
khasiatnya.
Beras buatan itu bernama Beras Tekad. Berasal dari sekian persen
ketela sekian persen kacang, sekian persen jagung. Memang dulu
pernah ada kekhawatiran: jangan-jangan beras ini rasanya seperti
pil. Terasa kenyang tapi lapar gizi, membuat kepala pusing,
rambut rontok dan sebagainya. Tapi untung tidak. Malahan lebih
banyak vitamin ketimbang beras alam, dan lebih enak.
Singkatnya, di tahun 1967 Bulog meneken kontrak dengan pihak PT
Mantrust yang mendadak populer karena beras buatan tersebut.
Bulog akan menerima 150 ribu ton per tahun untuk jangka waktu 5
tahun. Sayangnya kontrak itu dibatalkan dengan alasan "beras
alam sudah cukup". Belakangan ketahuan bahwa alasan tersebut
ternyata keliru. Buktinya, jutaan ton beras harus kita datangkan
dari negeri tetangga dan malah kita sempat mengalami "zaman
enceng gondok" yang menebalkan muka itu.
Lalu bagaimana usaha selanjutnya? Berhubung pembatalan kontrak
di atas dengan alasan yang keliru, sebaiknya kontrak itu kita
realisir kembali. Jadi kita dirikan pabrik beras buatan. Supaya
efisien, tempatkan di sekitar gudang-gudang Dolog yang telah
bertebaran itu dan jumlahnya harus sesuai dengan kebutuhan.
Nanti kita akan dapat melihat gudang-gudang Dolog penuh sesak
sampai ke atapnya dan swasembada pangan yang kita idamkan tidak
lagi hal yang mustahil. Lagi pula, anak cucu kita tidak bakalan
merasakan makan siang bersama ketela atau sampai menelan
tempulur pohon sagu.
A. KADIR RAHMAN
Jl. Ario Kemuning 4292 E
Palembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini