Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tahun 2000: Kita Bikin Beras Campur

A. Kadir Rahman memperkirakan di tahun 2000 Indonesia akan kekurangan beras 7,8 ton dan harus segera ditutupi dengan hasil perluasan areal pertanian & memproduksi beras buatan.

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Tahun 2000: Kita Bikin Beras Campur
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KONON, ditahun 2.000 kelak, penyediaan pangan nasional kita harus dapat memenuhi kebutuhan 232 juta mulut. Saat itu diduga kebutuhan diversifikasi pangan adalah: 27,8 juta ton beras, 7,78 juta ton jagung, 3.89 juta ton ubi kayu, dan 4.45 juta ton kacang-kacangan. Padahal, areal pertanian yang ada sekarang diduga hanya akan menghasilkan 20 juta ton beras. Walhasil terdapat kekurangan beras sebesar 7,8 juta ton. Melakukan impor yang berkepanjangan dikhawatirkan akan menimbulkan cemoohan. Ini benar-benar merisaukan. Karena itulah agaknya kaum agronomi keluar dengan angka 400.000 hektar per tahun. Maksudnya, kekurangan beras sebesar 7,8 juta ton di tahun 2.000 kelak harus ditutup dari hasil perluasan areal pertanian. Diperkirakan perluasan areal pasang surut akan menghasilkan tambahan 3,3 juta ton, areal sawah tadah hujan 3,5 juta ton dan areal tanah kering 1 juta ton. Di samping itu menu kita disarankan agar dibuat lebih beragam. Misalnya selain nasi, perut kita harus dijejali pula dengan sejenis ketela. Jadi, makan secara confounded diubah menjadi makan secara factorial. Terakhir, Saudara Singarimbun yang ahli di bidang kependudukan muncul dengan saran sagunya. Dia menganjurkan agar kita mulai melirik pohon sagu yang konon di tanah air kita jumlahnya mampu secara terus-menerus memenuhi kebutuhan karbohidrat 400 juta manusla. Jadi jelas, telah terlihat adanya tanda-tanda kebiasaan kita makan nasi sudah sampai pada taraf "sedang akan dibatasi". Artinya: ada kemungkinan anak cucu kita kelak akan bertukar menu. Kasihan. Andaikata nanti -- andaikata, lho-ada semacam program nasional yang menganjurkan kita makan ketela atau sagu, apa tidak ada pengaruhnya terhadap martabat bangsa? Soalnya kita akan membangun "manusia seutuhnya". Lha, melalui umbi-umbian begitu, apa mungkin? Lain hal kalau sudah kebiasaan. Lalu bagaimana? Mumpung masih ada waktu, sebaiknya kita pikirkan kembali soal beras buatan tempo hari. Konon melalui tabung-tabung gelas yang aneh bentuknya, para ahli di laboratorium sudah dapat membuat sejenis beras yang bukan main khasiatnya. Beras buatan itu bernama Beras Tekad. Berasal dari sekian persen ketela sekian persen kacang, sekian persen jagung. Memang dulu pernah ada kekhawatiran: jangan-jangan beras ini rasanya seperti pil. Terasa kenyang tapi lapar gizi, membuat kepala pusing, rambut rontok dan sebagainya. Tapi untung tidak. Malahan lebih banyak vitamin ketimbang beras alam, dan lebih enak. Singkatnya, di tahun 1967 Bulog meneken kontrak dengan pihak PT Mantrust yang mendadak populer karena beras buatan tersebut. Bulog akan menerima 150 ribu ton per tahun untuk jangka waktu 5 tahun. Sayangnya kontrak itu dibatalkan dengan alasan "beras alam sudah cukup". Belakangan ketahuan bahwa alasan tersebut ternyata keliru. Buktinya, jutaan ton beras harus kita datangkan dari negeri tetangga dan malah kita sempat mengalami "zaman enceng gondok" yang menebalkan muka itu. Lalu bagaimana usaha selanjutnya? Berhubung pembatalan kontrak di atas dengan alasan yang keliru, sebaiknya kontrak itu kita realisir kembali. Jadi kita dirikan pabrik beras buatan. Supaya efisien, tempatkan di sekitar gudang-gudang Dolog yang telah bertebaran itu dan jumlahnya harus sesuai dengan kebutuhan. Nanti kita akan dapat melihat gudang-gudang Dolog penuh sesak sampai ke atapnya dan swasembada pangan yang kita idamkan tidak lagi hal yang mustahil. Lagi pula, anak cucu kita tidak bakalan merasakan makan siang bersama ketela atau sampai menelan tempulur pohon sagu. A. KADIR RAHMAN Jl. Ario Kemuning 4292 E Palembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus