Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU, suatu hari pada 1981, dua pesawat Israel terbang secepat kilat di langit Irak. Pada hari yang cerah itu, reaktor nuklir Osiraq di Irak diratakan dengan tanah. Semua bernapas lega, status quo bisa dipertahankan, perimbangan kekuatan nuklir Timur Tengah yang unipolar tak berubah. Ya, ketenangan—harus dibedakan dengan perdamaian—berarti kondisi yang ditentukan oleh satu hal: Israel sebagai satu-satunya negara yang memiliki kekuatan mahadahsyat di kawasan panas itu. Dan semua orang pun belajar dari kejadian itu.
Kini, seperempat abad berselang, Iran membuktikan betapa ia menyimak dengan baik. Iran menebar jaringan fasilitas nuklir di atas hamparan negerinya yang luas, kemudian menyembunyikan di kedalaman 25 meter di bawah tanah. Diperkirakan, tidak ada pesawat tempur Israel yang menembus wilayah udara Iran, menghancurkan instalasi di Natanz dan Bushehr. Skenario lainnya, menghabisi ilmuwan nuklir Iran atau menyuntikkan virus ke dalam sistem komputer Iran, tidak akan banyak membawa hasil. Di lain pihak, menyerbu dan menaklukkan Iran berarti mengirim ratusan serangan udara—kemampuan yang saat ini hanya dimiliki Amerika Serikat.
Dan itu juga berarti Amerika terlibat perang di tiga titik sekaligus: Afganistan, Irak, dan Iran—keadaan yang secara militer tak mudah diwujudkan, secara moral susah dipertanggungjawabkan. Apalagi Iran negeri yang sanggup melancarkan sejumlah alternatif menyakitkan sebelum takluk. Mulai dari menutup lalu lintas minyak di Selat Hormuz, hingga mengirim rudal ke Israel.
Ada skenario perang, ada skenario diplomasi. Akhir- pe-kan- lalu, kita dapat menyimak laporan IAEA, badan PBB yang bertugas mengamankan dunia dari ancaman senjata nuklir, kepada Dewan Keamanan. Iran, katanya, tidak mematuhi seruan Dewan Keamanan agar menghentikan prog-ram pengayaan uraniumnya. Tiga hari kemudian, Amerika, Inggris, Rusia, Cina, Prancis (anggota tetap Dewan) ditambah Jerman akan memutuskan resolusi yang akan di-ambil. Ada dua macam sanksi yang bisa menjadi bagian dari resolusi yang efektif di bawah naungan Piagam PBB Pasal 7: ayat 41 menyodorkan sanksi ekonomi, sedangkan ayat 42 menyebut jalan militer.
Diam-diam mungkin kita bisa meraba bahwa konfrontasi- ini, selain bisa berujung krisis, bisa juga membawa keuntung-an politik. Bagi Mahmud Ahmadinejad, Presiden Iran yang berhaluan konservatif, inilah momen yang tepat untuk menyatukan aneka elemen kekuatan di negerinya. Dan kini, warga, baik radikal maupun moderat, konservatif maupun progresif, dapat melupakan perbedaan untuk menghadapi musuh bersama: Amerika Serikat dan kawan-kawannya.
Sebaliknya, rencana menjepit Iran. Ada jalan panjang yang mesti ditempuh, sebelum Cina dan Rusia menyetujui sanksi-sanksi yang membuat Iran sekarat. Masing-masing negara menempatkan kepentingan nasional di atas kepen-tingan bersama. Bagi kedua negara besar itu, dalam bebe-rapa aspek, kerja sama dengan Iran lebih menguntungkan daripada konfrontasi. Tahun ini Rusia telah menandata-ngani kontrak senjata US$ 1 miliar dengan Iran. Sedangkan Cina tidak mau mengambil risiko yang bisa mencederai ker-ja sama pembelian minyak dan gasnya dengan Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo