Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Calonarang dari Bulan

Ketika dua estetika diberlakukan serentak, penonton mau tak mau ikut membuka diri. Tradisi tak harus mengikuti arus, jatidiri kekuatan raksasa bersaing dalam dunia global.

1 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Hari Kartini, Jumat 21 April yang lalu, 18 penari per-em-puan beterbangan di panggung Graha Bhakti Budaya, mem-ba-wakan lakon Calon-arang. Se-akan sembilan kupu-kupu dan sembi-lan kuskus bergulat dalam cahaya lam-pu yang suram. Amarah janda dari Di-rah (Bulantrisna Djelantik) yang beringas karena Ratna Menggali, anak pe-rawannya (Arita Sofia), ditipu oleh Ba-hula (Rury Nostalgia) atas suruhan Em-pu Barada (Retno Maruti), ber-akhir da-lam pertempuran yang tak berke-sudah-an.

”Peperangan antara Empu Barada dan pasukannya melawan kekuatan Ca-lonarang dengan pengikut-pengikutnya seakan mengungkapkan peperang-an antara hitam dan putih, kejahatan dan kebaikan, hidup dan mati…, yang menyadarkan kita akan dua hal yang ber-lawanan yang selalu hadir berdam-pingan untuk menyeimbangkan tata-nan kehidupan,” demikian tertulis di buku acara mengantar pergelaran peringatan 30 tahun kelompok tari Pane-cwara itu.

Dalam mitologi Bali, pertempuran Calonarang dan Mpu Barada, yang dilambangkan dengan barong dan rangda, menjadi bayang-bayang kehidupan yang menorehkan pernyataan: hidup adalah sebuah pergulatan yang ta-npa kepastian. Kalah-menang silih berganti. Akhir riwayat sangat bergantung pada desa-kala-patra (tempat-waktu-ke-adaan). Manusia harus memilih nasibnya sendiri, karena takdir bukanlah hukuman, melainkan penjumlahan dari ikhtiar. Dalam pemahaman itu, kehidupan menjadi terbuka sebagai r-uang untuk berjuang.

Pemilihan lakon Calonarang, serta upaya kolaborasi yang menjadi sangat digandrungi belakangan ini, seperti bu-kan tanpa perhitungan untuk memperingati ulang tahun ke-30 Panecwara. Di tengah euforia kebebasan yang nyaris membenarkan adanya penjegalan kebebasan orang lain, kebhinekaan yang dipujikan sebagai ”tunggal ika” sudah mulai terkikis. RUU APP sebagai contoh, yang samar-samar mengandung citra pembunuhan pluralitas, menyebabkan peristiwa kolaborasi kini menjadi semakin penting. Tetapi, apakah usaha Retno dan Bulan berhasil?

Di mana letak kolaborasi Bulan-trisna Djelantik dan Retno Maruti, dua sahabat yang mewakili dua kutub tradisi tari yang merupakan ”sebagian” dari khazanah terpenting tari Indonesia? Seorang kritikus seni rupa sempat mengeluh usai menonton Calonarang Bulan dan Retno. Ia mengaku sudah dipaksa menyantap dua jenis hidangan berbeda secara bergiliran sehingga repot menikmati. Akibat-nya, ia merasa cita-rasanya menjadi k-acau. Hal yang serupa pernah disampaikan oleh seorang kritikus lain ket-ika me-ngomentari garapan musik Tony Pra-bowo, yang berkolaborasi dengan penyair Goenawan Mohamad. Ia pun me-rasa tertipu karena tak menem-ukan ada kolaborasi dalam pergelaran, se-perti yang digembar-gemborkan dalam publikasi. Sajak Goenawan dan kompo-sisi Tony, baginya, berdiri sendiri-sen-diri, tak saling menyapa.

Tapi, nanti dulu, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan sebuah kolaborasi? Apakah itu harus merupakan peluruhan, sehingga unsur-unsur bersenyawa dan membangun sesuatu yang baru? Atau sebuah racikan gado-gado seba-gaimana yang sering dilakukan oleh Bagong Kussudiardjo? Bagaimana bila unsur-unsur itu menolak dilebur? Bila masing-masing memutuskan berjalan di jatidirinya sendiri, menapak de-ngan entakan berbeda dalam sebuah kesejajaran dengan yang lain. Apa-kah mendua, berjalan bersama-sama de-ngan identitas sendiri-sendiri, sebuah cela? Apakah tetap berbeda tak ingin menyatu tak mungkin ada dalam kesatu-an, bila tertata sebagai perimbangan?

Calonarang dari Bulan dan Retno, dengan direktur artistik Sentot S. dan penata musik Lukas Danaswara (Jawa) - I Gusti Kompyang Raka (Bali), dimulai dengan sembilan penari Jawa yang dikendalikan ketat oleh Retno Maruti. Dalam usia yang tergolong tidak muda lagi, Retno, yang tahun lalu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta, tetap menunjukkan kelenturan dan pesonanya. Gerakannya ketat dan berisi. Nuansa Jawanya yang kental tak terseret oleh kegelisahan Ibu Kota yang sudah puluhan tahun menjadi huniannya. Bahkan ia terasa lebih unggul dari penari-penari lain, kematangannya memancarkan daya magnetik.

Suasana yang mengendap dan kon-templatif itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran Calonarang de-ngan para sisiannya (muridnya). Ade-gan berganti dengan sembilan pe-nari Bali dengan kostum yang su-dah dimodifikasi penata kostum He-driyana Werdaningsih. Gemerlap, warna emas yang belakangan se-makin dimarakkan oleh rangsangan pariwisata Bali, disisihkan oleh Bulan. Dengan dasar baju putih se-perti penari legong, pernik-per-nik hiasan di sekujur penari se-der-hana dan kemudian menjadi eks-pre-sif. Suara lantang Wa-yan Diya, pe-nari Bali yang lama di Santini-ketan, India, meliuk menga-gumkan penuh pesona, membuat Bu-lan, yang tetap memiliki taksu, berhasil mengubah suasana kontemplatif menjadi -magis.

Demikianlah bergantian cerita yang dipenggal dalam lima adegan itu diusung oleh Retno dan Bulan. Nuansa Jawa dan Bali silih berganti, tetapi ketika berpapasan menjadi luar biasa. Keriuhan bunyi dan visualisasi ke-dua tradisi bergumul, bergulung, bercakar-an, dan dibiarkan seperti saling ber-tabrakan. Tetapi yang kemudian terasa bukan kekacauan, melainkan sebuah dialog bebas. Ada benturan-benturan, tapi tak melahirkan pemenang atau korban. Kalah dan menang tak dipersoalkan lagi. Tak ada dominasi atau pihak yang tertindas. Yang ada adalah permainan. Yang satu kadang menyisih agar yang lain bisa berperan, untuk kemudian menyergap kembali nanti pada waktunya yang tepat.

Saat-saat kelompok penari yang di-pimpin sendiri oleh Retno (Jawa) bertemu dengan para penari Bali (Bulan dkk) menjadi begitu menarik. Ada pergulatan, tetapi dalam kesetaraan. Saling menjawab, mengimbangi, tet-api juga kadang hanya berpapasan tok, sehingga ruang imajinasi terus penuh, padat nuansa. Kolaborasi semacam ini tak hanya membuat kedua belah pihak sibuk, karena estetika Jawa dan Bali diberlakukan serentak, tetapi penonton pun mau tak mau ikut membuka diri.

Sebagai saksi peristiwa serang-menyerang tetapi tetap bisa dalam ke-seimbangan itu, penonton dihantar kepada pengertian harmoni yang lain. Harmoni yang lahir oleh dinamika per-benturan. Sesuatu yang menyiratkan adanya keterampilan akrobatik, yang membuat elemen-elemen berb-eda berhasil menyelamatkan diri dari tabrakan yang merusakkan. Ini kearifan lokal yang telah hidup di hati masyarakat, sejak puluhan tahun, tetapi meng-apa sekarang tiba-tiba menjadi sesuatu yang asing dan terpaksa dipelajari lewat referensi dalam ”tanda” kutip demo-krasi?

Barangkali itulah pencapaian yang penting dari persembahan Panecwara pada ulang tahunnya yang ke-30 ini. Retno memberikan ruang kehidupan kepada Bulan, sahabatnya yang berbeda tradisi. Tetapi Bulan sendiri pada gilirannya mengembalikan ruang itu kepada Retno, seperti ketika diterima-nya. Dalam saat-saat memberi dan menerimakan kembali itulah keluar pe-sona tontonan. Pentas tari pun tak lagi hanya menjadi rangkaian kelenturan dan keindahan gerak, tetapi sudah men-jadi peristiwa budaya. Peristiwa spiritual yang membangun pengertian. Bukan cerita, bukan penataan gerak tari lagi yang dipamerkan, melainkan sebuah pertemuan rasa. Sesuatu yang sangat relevan dengan situasi dewasa ini di Indonesia.

Penataan panggung oleh Sony Sumarsono, yang mengikuti estet-ika al-mar-hum Rujito, menarik. Ia mema-sang layar putih yang menggelembung di atas penonton di bagian depan panggung. Sayang, itu hanya menjadi dekorasi sebelum pertunjukan. Sebab, bila diberi cahaya dan menjadi bagian dari peristiwa, suasana akan jauh lebih merasuk. Apalagi lampu yang terlalu mau bertahan setia pada citra Rujito, yang cenderung suram, membuat para penari lebih banyak tertelan suasana. Gerak dan kelenturan tubuh masing-masing, juga blocking dan komposisi-komposisi yang dilakukan dengan sigap, berdisiplin, dan meruang, tidak terimbangi oleh tata lampu.

Memang tak ada sudut pandang istimewa terhadap Calonarang yang dipersembahkan Panecwara di Graha Bhakti Budaya TIM pada tanggal 22 dan 23 April lalu. Tetapi inilah suara lantang yang indah dua perempuan yang membuka hati penonton, karena membuktikan per-sahabatan tak terhalangi oleh per-bedaan. Bahwa tradisi tak ha-rus berdandan mengikuti arus, kar-en-a jatidiri adalah sebuah kekuatan rak-sasa untuk bersaing dalam dunia global yang konon mau menyapu ber-sih identitas lokal.

Putu Wijaya, Budayawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus