Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang baru? Berubahkah manusia? Selama ribuan tahun, kita mendengar petuah para nabi, pemimpin berbagai agama, dan para aulia yang mengecam keserakahan. Hari-hari ini, di Amerika Serikat, debat politik berkecamuk tentang orang-orang kaya yang cuma sedikit membayar pajak, seperti di Indonesia. Tak hanya itu: di negeri ini (tapi juga di negeri lain) tiap hari orang bercerita tentang politikus dan pejabat yang tak puas-puasnya melakukan korupsi.
Dengan kata lain: keserakahan, sebuah tema universal, adalah kisah lama, variasi baru.
Dan kita pun terusik: jangan-jangan rakus memang amat dekat dengan sifat manusia. Jangan-jangan Milton Friedman benar. Ekonom pembela kapitalisme itu meminta kita berpikir kembali: "Adakah sebuah masyarakat yang bisa berlangsung tanpa berdasarkan keserakahan?"
"You think China doesn't run on greed?" ia bertanya.
Cina memang sebuah contoh yang baik. Dalam sejarahnya yang panjang, ia pernah beberapa kali cemas mengalami akibat buruk sifat tamak: akumulasi kekayaan di tangan sejumlah kecil orang yang mengakibatkan penindasan, rasa cemburu, dan konflik sosial yang tajam.
Di abad ke-11, di bawah Dinasti Sung, dengan kecemasan itu Perdana Menteri Wang Anshi menjadikan Cina sebuah negeri "sosialis" sebelum kata itu ditemukan. "Negara," kata Wang, "harus mengambil alih seluruh pengelolaan niaga, industri, dan pertanian, menjaga agar pekerja yang jelata tertolong dari kesulitan dan tak diluluh-lantakkan oleh mereka yang kaya."
Di abad ke-20, Mao Zedong melakukan yang serupa. Bentuknya yang ekstrem tampak waktu ia melancarkan Revolusi Kebudayaan. Sebagaimana dikisahkan Liang Heng dalam Tragedi Anak Revolusi, pada 1969 para kader Partai Komunis dikirim ke pedesaan. Mereka harus "memotong ekor kapitalisme" di pedalaman. Artinya, penduduk dusun harus melenyapkan peternakan itik, babi, dan bebek milik mereka. Seorang petani akhirnya membunuh semua bebek di kandangnya.
Di abad ke-11, eksperimen Wang Anshi gagal. Untuk mengelola pelbagai sendi kehidupan, ia membutuhkan biaya besar dan birokrasi yang berlipat-lipat. Korupsi merebak. Akhirnya, seperti ditulis Will Durant dalam The Story of Civilization, Cina, seperti banyak negeri sejak itu, "Harus menghadapi pilihan yang tua dan pahit, antara kerakusan swasta dan korupsi negara."
Di abad ke-20, pilihannya berbeda: antara kekuasaan negara yang menjaga semangat kolektif dan kebutuhan warga yang tak bisa dipenuhi oleh kolektivitas itu. Yang sama adalah bahwa, seperti Wang Anshi, ide Mao juga gagal.
Pada 1979, dua tahun setelah ia wafat, di Dusun Xiaogang sejumlah petani membuat sebuah kesepakatan rahasia. Idenya dibisikkan oleh Yen Jinchang, seorang pemuda berumur 19 tahun: mereka hendak mengecoh sistem pertanian kolektif.
Waktu itu, seperti di seluruh pedusunan Cina, di Xiaogang para petani mengolah tanah yang tak bisa jadi miliknya pribadi. "Bahkan sebatang galah pun milik kelompok," kata Yen. Ada satu anekdot: dalam sebuah rapat umum desa, seorang petani bertanya kepada kader Partai Komunis yang memimpin: "Apakah gigi di mulutku juga bukan milikku?" Jawabnya: tidak.
Tanpa memiliki apa-apa, seorang warga dianggap sebagai penyumbang bagi kebersamaan. Ada yang mulia dalam ide ini—tapi ia telah membuat para petani tak bergairah. Kepentingannya sendiri tak dianggap ada.
Sadar bahwa produktivitas turun—dan dengan demikian imbalan yang didapat pun turun—para petani menyetujui usul Yen. Secara rahasia mereka membagi-bagi tanah kolektif itu. Tiap keluarga akan mendapat sepetak, dan hasil tanam mereka sebagian diserahkan ke pemerintah dan ke lumbung kolektif—tapi sebagian mereka makan sendiri.
Perbuatan seperti itu berbahaya; ia melanggar garis Partai. Takut akan yang mungkin terjadi, dalam perjanjian itu disebutkan: jika ada di antara mereka yang dipenjarakan atau dihukum mati, anggota kelompok lain akan memelihara anak yang ditinggalkan sampai umur 18. Setelah mereka tandatangani, naskah itu pun disimpan dalam sepotong bambu yang disembunyikan di atap rumah Yen.
Hasilnya: secara tersembunyi pula para petani Xiaogang itu merasa memiliki—dan sebab itu mereka bekerja lebih bersemangat, karena hasilnya akan mereka nikmati sendiri. Produksi naik drastis. Dan semua berakhir baik. Mereka tak dihukum. Bahkan di bawah pemerintahan Deng Xiaoping, sistem yang disarankan Yen akhirnya diadopsi sebagai sistem yang tepat: dengan empunya, dari milik, ada antusiasme.
Tapi kapan "milik" tetap menjadi "milik", tak tumbuh jadi sesuatu yang lain?
Di Cina, pertanyaan itu tak sempat ditanyakan—apalagi dicoba dijawab. Dengan pesat, milik dan kerakusan berbaur. Yen yang sekadar mencoba hidup dari sepetak tanah dengan segera jadi tokoh kuno. Kisah Cina sekarang kisah Liu Yikian.
Liu, lahir 1963, mula-mula berjualan tas di tepi jalan Shanghai. Hasil kerjanya bertambah sejak kapitalisme merasuk ke kehidupan Cina pada 1980. Hartanya membubung ke langit. Oktober 2010, Liu mampu membayar sekitar US$ 11 juta untuk sebuah mahkota antik dari zaman Dinasti Qing. Kini ia termasuk dari sebuah kelas yang bisa membeli kue pengantin seharga US$ 314 ribu dari toko roti Angsa Hitam di Beijing.
Orang akan mengatakan, Liu tak berdosa karena kemewahan itu; uang itu hasil jerih payahnya sendiri. Tapi saya termasuk mereka yang ingin menjawab: sejauh mana "milik" bisa jeda dan tak jadi "kemewahan", dan "kemewahan" jeda dan tak jadi "keserakahan"?
Tema lama, tentu. Variasi baru. Tapi bila itu seperti berulang mungkin karena manusia tak kunjung sepenuhnya mengerti sifatnya sendiri.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo