Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua demo besar-besaran pecah di Bekasi, Jawa Barat, pada 19 dan 27 Januari lalu. Puluhan ribu buruh turun, memblokade jalan tol. Kemacetan mengular sampai ke Jakarta Timur. Kerugian ditaksir sekitar Rp 20 miliar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat darurat dan memanggil tiga menteri yang terkait dengan masalah ini.
Demonstrasi itu disulut oleh kabar bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetap menjalankan proses persidangan gugatan terhadap upah minimum kota/kabupaten (UMK). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menggugat keputusan Gubernur Jawa Barat tentang UMK sebesar Rp 1.491.866-1.849.913 per bulan. Kenaikan upah ini dianggap lebih tinggi dari kesepakatan pengusaha-buruh dalam pertemuan bipartit.
Apindo akhirnya mencabut gugatan itu. Tapi masalah belum selesai. Di Tangerang, Banten, para buruh mengancam akan menggelar demo serupa. Saling tuding pun tak terhindarkan. Pengusaha menuduh ada campur tangan politik di balik kenaikan upah minimum menjelang pemilihan kepala daerah. Menaikkan upah minimum dipandang sebagai cara politikus mengambil hati buruh. Masalahnya, tak semua perusahaan, terutama kelas kecil dan menengah, mampu membayar kenaikan tersebut. Sebaliknya, buruh punya dalih tersendiri yang tak kalah kuat.
Untuk memetakan masalah kedua belah pihak, wartawan Tempo Andari Karina Anom, Istiqomatul Hayati, Purwani Diyah Prabandari, dan Hermien Y. Kleden melakukan wawancara secara terpisah dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal. Perbincangan berlangsung di Jakarta, disusul pemotretan oleh fotografer Dwianto Wibowo dan Aditya Noviansyah.
Sofjan Wanandi:
Gerakan Buruh Dipolitisasi
Anda dianggap berada di balik kemarahan buruh.
Banyak yang bilang, (gugatan Apindo ke PTUN) ini maunya Sofjan Wanandi. Saya tahu risiko ini. Tapi saya hanya ingin agar hukum jangan sampai kalah dengan politik. Kalau tidak ada politik, kenapa reaksi (buruh) bisa begini? Ada yang bilang gantung Sofjan Wanandi dan membawa-bawa Cina. Saya sudah kenyang menghadapi yang seperti ini sejak 1965. I don’t mind.
Apa tanggapan Anda mengenai demo buruh di Bekasi yang menutup jalan tol?
Kami kaget karena selama ini hubungan yang terjalin antara pengusaha dan buruh baik sekali. Saya melihat sudah mulai ada politisasi urusan buruh. Ini bahaya, dan ini sebabnya saya kemarin ke PTUN.
Kenapa?
Karena saya tahu Dewan Pengupahan tidak dianggap, dan upah buruh malah ditentukan oleh demonstrasi.
Bagaimana seharusnya pengusaha merespons tuntutan kenaikan upah buruh?
Saya sepenuhnya setuju buruh harus kita perbaiki hidupnya. Tapi saya tahu betul banyak perusahaan besar membayar di atas upah minimum. Yang menjadi masalah bukan soal upah minimum, tapi efek sundulannya. Orang yang sudah digaji di atas Rp 10 juta juga minta naik 30 persen. Ini efek sundulan, yang tak diketahui semua orang.
Gerakan buruh kali ini termasuk yang paling sulit dihadapi pengusaha?
Tidak, tapi bisa menjadi lebih buruk kalau tidak segera diselesaikan. Buruh adalah manusia, yang bisa diajak bicara. Tapi, kalau sudah ada yang memprovokasi, ya susah.
Provokasi seperti apa?
Kami tidak tahu siapa yang main di belakang ini. Mungkin karena akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah, orang partai berkampanye mencari isu populis. Masalah buruh sudah lama dipakai sebagai senjata ampuh, sejak zaman PKI, Soeharto, juga di negara lain. Yang penting, jangan sampai mereka dipolitisasi.
Bagaimana peran pemerintah sejauh ini?
Makin lama kita tahu (negara kita) out of competence dibanding luar negeri. Misalnya soal infrastruktur, ekonomi, dan biaya macam-macam, yang makin lama makin tinggi. Ini menyebabkan dalam sepuluh tahun terakhir tak banyak (investor) masuk ke labor intensive industry, sesuatu yang amat kita butuhkan.
Kenapa begitu?
Karena lebih dari 50 persen buruh kita adalah (tenaga) unskilled.
Apa dasar Anda mengatakan banyak investor asing bisa hengkang karena demo buruh?
Pada hari pertama demo (di Bekasi, 19 Januari), ada 50 perusahaan Korea yang hendak menemui saya. Mereka minta garansi saya supaya tak diganggu. Saya bilang, bicaralah baik-baik dengan buruh masing-masing, lalu sampaikan kemampuan kalian, baru bicara ke gubernur. Jadi, selesaikan urusan di dalam dulu. Kalau soal garansi, jangankan saya, pemerintah saja tak bisa memberi garansi.
Apakah pindah negara menguntungkan mereka?
Di Cina, upah buruh lebih tinggi sedikit, tapi produktivitasnya dua kali lipat daripada kita. Di Kamboja, buruh digaji tak lebih dari US$ 50 (Rp 450 ribu) per bulan, gaji tidak boleh berubah selama empat tahun, disesuaikan dengan inflasi, tapi mereka tak boleh mogok. Makanya pengusaha-pengusaha asing bilang ke saya: ”How can I survive here, because it’s easy to move (to other country)?” Kadang buruh lupa, kalau investor itu pergi, di mana lagi mereka bekerja?
Apa solusinya?
Kita ingin meningkatkan labor intensive. Sebagai contoh, di Thailand, Korea, Taiwan, semua labor intensive. Kalau upah buruhnya sudah di atas US$ 5-6 (sekitar Rp 50 ribu) per hari, mereka akan pindah ke industri lain. Thailand, misalnya, pindah ke industri elektronik dan mobil. Di sini terlalu banyak tenaga kerja unskilled, sehingga banyak yang butuh pekerjaan.
Apa keberatan pengusaha menaikkan upah buruh?
Bagaimanapun, pengusaha harus bertahan hidup. Apalagi biaya listrik dan bahan bakar akan naik. Mereka harus mengembalikan modal ke bank, dan sebagainya. Perusahaan yang memeras buruh harus kita tertibkan. Tapi jangan mengorbankan perusahaan yang baik. Saya tidak keberatan pada tuntutan gaji lebih tinggi. Tapi tolong lihat apa yang sudah kita lakukan untuk kepentingan mereka juga.
Bukankah ada pilihan menekan biaya, misalnya invisible cost, selain upah buruh?
Di sini, high cost economy-nya gila-gilaan. Buruh hanya 30 persen dari total biaya. Logistik—mencakup transportasi, infrastruktur, dan sebagainya—bisa sampai 15 persen. Padahal, di luar negeri, logistik hanya memakan 5-6 persen dari total biaya. Kami mencoba menekan biaya lain juga, meskipun tarif listrik dan harga BBM akan dinaikkan.
Ada pendapat upah buruh yang dikorbankan….
Saya sayangkan buruh tidak tahu bahwa saya lakukan ini untuk mereka juga, bukan untuk pengusaha yang sudah kaya. Saya mencoba mencari jalan tengah.
Jalan tengah seperti apa?
Yang penting ada pembedaan level: perusahaan kecil bayar kecil, sesuai dengan kemampuan. Yang gede bayar gede. Jadi sesuaikan dengan size perusahaan, jangan belum-belum sudah diserahkan ke bupati. Kalau terjadi dispute baru (kita) lari ke pemerintah. Jangan menganggap pengusaha itu pasti kaya. Mereka juga menanggung banyak masalah.
Seberapa berat beban perusahaan kecil atas kenaikan upah ini?
Semua usaha kecil dan menengah berteriak. Hari ini (Rabu, 8 Februari 2012) mereka mengadakan press conference dan meminta saya ikut bersuara. Saya bilang, silakan bela diri sendiri, karena kalau saya yang bicara, malah disalahkan oleh semua orang. Jumlah pengusaha kecil dan menengah ini besar, mencapai 80 persen.
Peran pemerintah seperti apa yang Anda usulkan?
Pemerintah harus menjadi wasit yang baik. Kalau soal kebutuhan minimal dan hidup layak, itu sudah dijamin 100 persen dan sudah disetujui Dewan Pengupahan. Tiap bulan kami duduk bersama dan bernegosiasi, dan kami setuju pada satu angka. Kami ajukan ke bupati. Ternyata ada kelompok buruh lain yang tak menerima.
Siapa misalnya yang tidak setuju?
Serikat buruh itu banyak. Tidak tahu apakah benar atau tidak: ada yang cuma semacam LSM dan tak bekerja sebagai buruh (tapi namanya tercatat sebagai buruh). Ada juga tokoh serikat buruh berteriak anti-outsourcing, tapi mereka sendiri punya perusahaan outsourcing. Tapi, ya sudahlah, karena apa yang mereka perjuangkan— soal naik gaji—itu wajar. Kalau saya buruh, saya juga akan menuntut hal yang sama.
Sofjan Wanandi Tempat dan tanggal lahir: Sawahlunto, Sumatera Barat, 3 Maret 1939 Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bisnis dan Organisasi: Wakil Presiden Direktur PT Dharma Kencana Sakti l CEO PT Pakarti Yoga l CEO Grup Gemala l Dewan Penasihat Capital Group dan Carlyle Group l Anggota Dewan Penasihat Deutsche Bank AG untuk Asia Pasifik l Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (2003-2013) |
Said Iqbal Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 5 Juli 1968 Pendidikan: Fakultas Teknik Mesin Universitas Jayabaya (S-1) l Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Master) Pekerjaan: Asisten Manajer PT Panasonic Shikoku, Cibitung, Bekasi (1991-sekarang) Organisasi: l Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia l Anggota Dewan Pengupahan Nasional (2007 - sekarang) l Anggota Tripartit Nasional (2007-sekarang) |