Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Prof. William Liddle, saya ingin menanggapi tulisan tentang ''RMS'' pada TEMPO, 10 April 1993. Pertama, tentang isi Kabinet Pembangunan VI yang dihadapkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya. Saya kurang srek bila dimensi ''primordial keagamaan'' dikatakan hampir lepas dari liputan pers asing. Itu lebih tepat dikatakan: adanya pengendalian diri media massa internasional agar tak terjebak subjektifisme dalam menimbang. Sebab, substansi persoalannya tak terlalu mudah dipaketkan begitu saja oleh pers. Time edisi 29 Maret, bahkan FEER terbitan 1 April, misalnya, memberikan indikasi kesadaran yang kuat, tapi kupasannya cuma selintas. Hemat saya, amat mudah bagi reporter media massa asing untuk menangkap info-info yang paling nasty sekalipun, apalagi dari negeri yang sedang menganyam landasan untuk terbang, seperti Indonesia. Kedua, alangkah supel dan pusingnya Prof. Liddle karena di antara teman-temannya yang cendekiawan itu ada juga yang menyanyikan, di hadapannya, irama ''penguasaan minoritas terhadap mayoritas, atau sebaliknya''. Bila tepat bahwa itu nyanyian tanpa dasar, ''ponten''-nya: cendekiawan kawan Pak Bill itu kebetulan saja keceplosan omong. Jadi, kurang tepat dijadikan patokan suatu kolom. Atau, maaf, agaknya kurang kuat mikir (yang ingredient-nya, antara lain, emosionalisme dan otoriterisme). Bahayanya, bila jalur seperti ini jadi penuntun umum, dilihat dari sisi mana pun, itu bakal membawa kerugian besar. Adalah muskil, dan tidak sesuai dengan kodrat, bila kebanyakan cendekiawan diharapkan seperti Cak Dur atau Cak Nur, misalnya, yang menurut dugaan saya kerap ''tak punya waktu'' merenungkan sejauh mana pendapat mereka menggetarkan dada orang banyak yang serba-pinggiran. Kita tahu, bila orang yang sudah serba-pinggiran lantas dijepit oleh angka-angka politik ekonomi, ya, bludrek atau jantungan akibatnya. Saya sependapat dengan Pak Bill bahwa kerja sama banyak bakat seperti yang dicontohkan di LP3ES bisa menjadi jiwa sebagian besar cendekiawan Indonesia. Tapi semoga pula produknya tidak berhenti hanya pada intellectual exercises di koran-koran yang tak bersentuhan dengan realita faktual yang digeluti banyak orang. Ini tantangan yang tak enteng, bukan cuma bagi tim Kabinet Pembangunan VI. QURAISY S. Arun LNG Site Lhokseumawe, Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini