Dalam tulisan ''Neo-Modernisme Cak Nur'' (TEMPO, 3 April 1993, Kolom), Azyumardi Azra, dosen Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta, menulis, ''Diperlukan 'lapisan kedua' kaum neo- modernis yang berfungsi menerjemahkan gagasan-gagasan Cak Nur ke tingkat yang lebih praktis.'' Saran Azyumardi itu, di samping jelas berhasrat untuk lebih memasarkan gagasan-gagasan Cak Nur, juga memberikan ''kesempatan kerja'' kepada para sarjana. Itu suatu taktik tawaran yang cukup menarik. Hanya saja, dilihat dari realitas, pendapat-pendapat Cak Nur yang kini mendapatkan reaksi dan tanggapan dari berbagai kalangan itu perlu agak dicermati. Mengapa? Masalahnya, kalau memang nantinya bisa diciptakan ''lapisan kedua'' sebagai penerjemah gagasan-gagasan Cak Nur, saya khawatir, itu akan mematikan gagasan-gagasan Cak Nur. Sebab, sebagai penerjemah yang baik, mereka tentu akan memberikan catatan-catatan kaki pada gagasan-gagasan Cak Nur yang bertentangan dengan nash (teks Alquran dan hadis). Umpamanya, terhadap lontaran Cak Nur bahwa Islam bukan nama suatu agama. Ini perlu diberi catatan kaki, karena bertentangan dengan QS Al-Maidah Ayat 3. Ayat itu menyebutkan, ''... dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.'' Juga pendapat Cak Nur bahwa musyrikat itu hanya wanita musyrik Arab. Ini bertentangan dengan ayat yang berbunyi, ''Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya ....'' (QS Saba'/34: 28). Jelas hal itu bertentangan dengan hadis Nabi SAW tentang tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab ataupun bangsa Ajam (selain Arab) kecuali takwanya. Di samping itu, penerjemah yang baik tentu akan membantah pernyataan-pernyataan yang mengibaratkan pendebat Cak Nur sebagai kafir Quraisy yang menghujat Nabi Muhammad SAW, termasuk membantah pula penyejajaran Cak Nur dengan Ibnu Taymiyyah dengan cara mengklaim bahwa Ibnu Taymiyyah itu neo- sufisme seperti juga Cak Nur. Meskipun demikian, bila yang dimaksud Azyumardi Azra adalah penerjemah yang lihai menyembunyikan sumber-sumber kelompoknya dan pandai menyangkal ayat, itu bisa dimaklumi. Tapi, bila kita merujuk pada kisah yang disampaikan mubalig Zainuddin Mz., tentang orang yang mudah mengikuti kemauan bosnya padahal bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya, orang semacam itu lebih berbahaya. Sebab, tidak ada amanah pada dirinya. Jadi, saran Azyumardi Azra itu tetap merugikan Cak Nur. DRS. HARTONO Rawajati 001/02 No. 23 Jakarta 12750
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini