Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANTE Lien meninggal. Media massa di Indonesia ikut memberitakannya. Ia bukan aktris sinetron ataupun seleb TikTok, tapi dengan cara sendiri ia ada di hati banyak orang di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya suka mengintip rekaman penampilannya di YouTube. Dengan latar panggung yang mengingatkan kita pada pentas lenong, Tante Lien memakai kebaya dan wig, bercerita tentang ini-itu, terutama nostalgia kehidupan keluarga Indo-Belanda. Lagunya, “Geef Mij Maar Nasi Goreng” (“Beri Saya Nasi Goreng”), mungkin yang paling banyak menggelitik hati orang Indonesia. Lagu yang lain, “Hallo Bandoeng”—agak sendu, sama sekali tidak gempita—juga cukup sering dipakai warganet untuk latar video Instagram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tante Lien adalah nama panggung. Namanya Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort. Ia lahir di Surabaya di masa pendudukan Jepang. Masa yang sulit. Orang-orang Indo-Belanda dijebloskan ke kamp internir. Ketika ia berumur 2 tahun, ayahnya, seorang insinyur, mati ditembak dalam perang kemerdekaan Indonesia. Menurut saksi mata, ayahnya tewas di tangan seorang pemuda bernama Sabarudin. Ketika Tante Lien remaja dan sedang berlibur di Belanda, Sukarno menasionalisasi semua perusahaan Belanda. Ia tak bisa kembali ke kampung halamannya.
Seorang Indo-Belanda lain yang juga lahir di kota dan tahun yang sama—Surabaya, 1943—adalah Xaviera Hollander, yang mengalami masa kecil di kamp internir. Berbeda dengan Tante Lien, sosok ini mungkin akan dikenang oleh beberapa laki-laki paruh baya Indonesia dengan senyum malu-malu. Terutama mereka yang akil balig di tahun 1970-an dan mendapatkan bacaan seks pertama darinya.
Xaviera menulis memoar yang meledak di pasar dunia, The Happy Hooker, Pelacur Bahagia, terbit tahun 1971. Buku ini diangkat menjadi film drama komedi di Amerika Serikat (1975). Sukses. Film ini pun diteruskan dengan beberapa sekuel. Saya pernah bertemu dengan Xaviera de Vries—demikian nama lahirnya—di Den Haag. Begitu tahu saya dari Indonesia, ia menekankan, “Saya lahir di Surabaya.” Itu malah mengingatkan saya pada “Surabaya Johnny”, lagu dari Bertolt Brecht dan Kurt Weill, tentang seorang gadis yang ditipu kelasi.
Berbeda dengan Tante Lien, Xaviera tidak banyak bernostalgia dengan tempo doeloe. Ada secuplik kisah tentang Indonesia dalam memoarnya, Child No More. Sisanya, namanya memancar sebagai pelacur dan muncikari sukses di New York—ia menyebut profesinya tanpa eufemisme. Ia ditangkap polisi (prostitusi dilarang di kota apel besar itu), toh insiden itu justru membuat ia berjaya sebagai penulis.
Dua citra yang sangat berbeda, Tante Lien dan Xaviera Hollander adalah generasi pertama orang-orang Indo-Belanda yang terusir dari tanah kelahiran mereka, Hindia Belanda. Dari generasi kedua, saya mengenal novelis Marion Bloem, yang di tahun 1983 menerbitkan Geen Gewoon Indisch Meisje (Bukan Gadis Indo Biasa—bolehkah saya terjemahkan sebagai Bukan Noni Indo Biasa?), yang membuka mata pembaca Belanda tentang paradoks dan ambiguitas yang dialami gadis Indo di negeri kincir pembangkit listrik itu.
Marion terus menggarap tema identitas Indo ini dalam karya-karya selanjutnya. Salah satu novelnya, Moemie: Gadis Berusia Seratus Tahun, telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Novel ini juga menarik karena menunjukkan gejala persebaran keturunan Indo-Belanda ke penjuru-penjuru dunia. Bukan hanya Xaviera Hollander di New York, tentu saja.
Kini pada umumnya komunitas Indo-Belanda menganggap generasi ketiga telah terbentuk. Mereka yang kini di usia 30-an atau awal 40-an. Armando Ello, seorang fotografer yang punya darah Timor, menggarap dengan crowdfunding suatu proyek serial potret dari keturunan Indo-Belanda yang kini tersebar ke pelosok-pelosok dunia. Ini merupakan tahap yang menarik dari perjalanan komunitas Indo-Belanda. Suatu kesadaran bahwa mereka telah menyebar ke ujung-ujung dunia.
Saya terharu juga. Sebelum bertemu dengan mereka, saya tak membayangkan ada isu identitas, juga kerinduan aneh, seperti yang mereka alami. Kenapa mereka tidak terserap begitu saja ke dalam masyarakat Belanda? Apa itu identitas Indo-Belanda yang mereka telusuri, tak hanya ke akar di Nusantara, tapi juga ke penjuru-penjuru dunia lain?
Tante Lien meninggal pada 15 Juli 2024 lalu. Peneliti seni Maria Lamslag dan penyair-pemusik Robin Block, dua seniman Indo-Belanda yang pernah saya undang ke Literature & Ideas Festival di Jakarta, menghormatinya. Tapi generasi mereka telah berjalan jauh dari nostalgia dan stereotipe yang ditampilkan Tante Lien. Barangkali Tante Lien adalah nostalgia terakhir. Bersama kepergiannya, pergi juga suatu kenangan manis-pahit kolonialisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo