Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEDAGANG jagung di dekat Stasiun Balapan terkejut saat mahasiswa memborong 25 jagungnya. Itu untuk bekal demonstrasi aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Solo Raya menolak dinasti politik di Balai Kota Surakarta pada Desember 2023. Pedagang malah memberi bonus 20 jagung untuk mendukung aksi tersebut (Tempo, 1-7 Januari 2024).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak banyak mahasiswa Indonesia yang makan jagung. Nyaris tidak ada warung makan yang menyediakan sebakul nasi jagung di sekitar kampus. Namun mahasiswa memerlukan simbol yang merakyat dan melawan. Itulah jagung dan tukang jagung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukarno juga menggunakan metafora pangan untuk mengkritik rasa inferior bangsa Indonesia. Kelemahan bangsa itu dia analogikan dengan tempe dan dodol di hadapan penjajah. “Negeri tempe berarti negeri jang lemah. Itulah kami djadinja. Kami terus menerus dikatakan sebagai bangsa jang mempunjai otak seperti kapas. Kami mendjadi pengetjut; takut duduk, takut berdiri, karena apa pun jang kami lakukan selalu salah. Kami mendjadi rakjat seperti dodol dengan hati jang ketjil,” kata Sukarno (Cindy Adams, 1966). Sukarno mungkin melihat proses pembuatan tempe yang diinjak-injak itu sebagai negeri yang dijajah.
Karena begitu dekat dan menjadi kebutuhan dasar masyarakat, pangan pun dimanfaatkan oleh para calon penguasa. Hal itu tampak dalam jargon mereka, seperti pangan murah, bantuan sosial, pupuk dan benih gratis untuk petani, makan siang gratis, susu gratis, ataupun harga bahan kebutuhan pokok terjangkau. Mereka tahu betapa payahnya emak-emak jika harga minyak naik, para petani gagal panen, atau tempe langka di pasar karena harga kedelai meroket.
Sementara itu, khalayak menggunakan analogi pangan untuk melawannya. Hal ini menegaskan kenapa istilah “makan uang rakyat” menjadi ungkapan yang mapan alih-alih frasa normatif seperti mencuri, menggelapkan, atau mengorupsi. Tentu secara harfiah pejabat tidak benar-benar mengunyah uang seperti makan sate kambing. Namun justru dari kemustahilan itulah keserakahan dan kerakusan makin terlihat. Uang saja dimakan, apalagi lainnya?
Tidak ada makanan yang mampu meredakan nafsu kekuasaan mereka sehingga muncul istilah “haus kekuasaan”. Berliter-liter air tidak akan mampu meredakan jenis haus ini. Dari diksi dan peristiwa primordial tubuh ini—makan, minum, atau haus—kebutuhan akan materi yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari telah menjelma menjadi ambisi untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya, apa pun caranya.
Selama kita masih lapar yang wajar, ayam goreng, sambal, atau gorengan bisa mencukupinya. Tubuh tidak lagi lapar, tapi juga tidak mengalami kekenyangan. George Orwell, melalui esai “Politik Kelaparan” dalam Buku Buruk yang Baik (2022), mengatakan bahwa kelaparan bisa membuahkan kejahatan. Jika kelaparan sudah melampaui apa yang sanggup ditanggung oleh perut, dampaknya seperti yang muncul belakangan ini: korupsi, alih fungsi bantuan sosial untuk kampanye, makan siang akbar dengan anggaran negara, bagi-bagi kekuasaan kepada sanak-famili, atau kendaraan mewah diborong dengan uang pajak.
Anda mungkin ingat pernyataan Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk menepis kemungkinan Kaesang Pangarep, putranya, maju sebagai calon Wali Kota Depok, Jawa Barat. “Kaesang mau jualan pisang, jadi enggak bener dia mau jadi wali kota,” kata Jokowi kala itu. Retorika politik memang tidak boleh jauh-jauh dari bahasa pangan. Frasa “jualan pisang” tidak sesederhana makna harfiahnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahasa Pangan"