TAHUN depan satu lagi televisi swasta muncul di Indonesia. Hadirnya PT Indosiar Visual Mandiri, disingkat IVM, menunjukkan semakin dinamis dan ber kembangnya pertelevisian di Indonesia. Itu patut dihargai, mengingat begitu besarnya peranan televisi dalam menyampaikan informasi. Kecepatan yang tinggi dan jarak jangkau yang luas dalam menyampaikan informasi ini tentulah sangat pas dengan kondisi negeri kita yang terdiri dari beribu pulau. Artinya, dengan adanya perkembangan ini, jarak antar pulau atau daerah semakin dekat, seakan akan tidak ada batas lagi. Namun, di balik hal yang positif ini, kita juga perlu prihatin pada efek-efek negatif yang mungkin akan timbul. Itu sangat mungkin karena masyarakat kita sangat majemuk, baik dari sisi sosial, ekonomi, budaya, maupun tingkat intelektualitasnya. Nah, efek negatif yang utama dan sangat mungkin terjadi adalah terkontaminasinya moral bangsa. Ini sangat mungkin terjadi jika pihak pengelola televisi mengimpor atau memproduksi sendiri lalu menyiarkan film atau acara tersebut tanpa memperhatikan tata nilai susila atau etika yang ada dalam masyarakat. Di Australia, misalnya, umumnya acara-acara yang disiarkan (dari iklan, program khusus sampai acara film seri) selalu dibumbui dengan adegan-adegan romantis dan merangsang. Siaran-siaran semacam ini, bagi masyarakat Australia, bukan sesuatu yang aneh dan perlu dipermasalahkan. Sebab, itu selaras dengan nilai-nilai yang mereka pegang. Kontaminasi moral juga bisa ditimbulkan oleh semangat konsumerisme yang dibangkitkan oleh iklan. Lebih berbahaya lagi kalau virus ini terjangkit pada masyarakat golongan ekonomi lemah. Secara kuantitas, masyarakat ini adalah golongan terbesar dari masyarakat kita, sehingga dampak yang mungkin dapat disebarkan akan begitu besar. Kekhawatiran bukan hanya diarahkan pada mereka, tapi juga harus memperhatikan golongan masyarakat yang lain, yakni golongan menengah ke atas. Sedapat mungkin virus konsumerisme ini bisa diredam, sehingga kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, dan dampak negatif lainnya bisa dihindari. Dari kemungkinan-kemungkinan di atas, tampaknya kehadiran lembaga kontrol yang cukup independen dan aktif sangat diperlukan untuk memonitor program-program yang disiarkan televisi. Ini bukan berarti lembaga tersebut akan mengurangi ruang gerak televisi dalam melakukan kegiatannya. Tapi televisi tetap diberi kebebasan penuh sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai etika yang telah tertanam dalam masyarakat. Unsur-unsur lembaga ini bisa diambil dari masyarakat yang terdiri dari pemuka agama, sosilog, psikolog, budayawan, atau unsur lainnya yang dianggap relevan. Eksistensi lembaga ini hanya akan ada dan sangat berarti sepanjang ia dapat memegang teguh sifat independennya. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah proporsi dan komposisi acara televisi (pendidikan, ilmu pengetahuan, informasi/berita, iklan, dan hiburan) yang disiarkan. Keserasian dan keseimbangan acara tersebut sangat menentukan seberapa besar akibat, baik positif maupun negatif, yang mungkin bisa ditimbulkannya. Proporsi hiburan yang terlalu besar hanya akan meninabobokan rakyat, membuat mereka lupa bahwa masih ada pekerjaan lain yang perlu dikerjakan. Proporsi iklan yang berlebihan hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu, sedangkan pada sisi lain ia dengan mudah menyebarkan virus konsumerisme. Dan tayangan berbau pornografi hanya akan semakin merusak moral dan kepribadian rakyat. IWAN TRIYUWONO280 Gipps Road, Keiraville New South Wales 2500 Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini