Dalam tulisan "Banteng Masa Depan" (TEMPO, 19 Januari 1991, Nasional), Ketua Umum PDI Soerjadi memberikan koreksi terhadap kekuasaan presiden yang terlampau besar bila dibandingkan dengan lembaga tinggi negara lainnya, khususnya DPR. Saya kurang sependapat. Menurut saya, realitas obyektif Indonesia pada empat dasawarsa terakhir ini menuntut seorang figur sentral yang berfungsi sebagai consensus maker, moderator, dan stabilisator. Dalam sistem pemerintah Indonesia, figur sentral tersebut adalah presiden. Realitas menunjukkan bahwa secara kolektif lembaga tertinggi/tinggi negara tak mampu mengemban semua fungsi tersebut. Hal ini disebabkan oleh banyak hal. Pertama, kurang adanya kesadaran politik pada sebagian rakyat. Artinya, banyak rakyat yang mudah terhasut, responsif, emosional, impulsif, dan sulit menerima perbedaan pendapat. Ini bisa dilihat pada kasus isu penyebar racun berjilbab, roti beracun, lemak babi, dan banyak lagi. Seperti yang kita ketahui, kesadaran politik rakyat berkaitan erat dengan tingkat pendidikan, informasi, dan ekonomi. Kedua, kesadaran hukum sebagian rakyat masih kurang baik. Ini terlihat pada banyaknya pelanggaran hukum. Ketiga, perkembangan perangkat hukum dan birokrasi belum mampu mengakomodasi tuntutan perkembangan zaman sehingga di sana-sini sering terjadi manipulasi, kompetisi dengan cara mudah, pungli, korupsi, dan seterusnya. Dari ketiga sebab di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi figur sentral (presiden) sangat dibutuhkan dalam semua aspek pemerintahan. Keberadaan figur sentral ini sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi gejolak-gejolak sosial dan politik tersebut. Maka, sangatlah wajar bila presiden mempunyai kekuasaan yang cukup besar (tapi terbatas). Namun, saya yakin, dengan tumbuhnya institusi pendidikan, institusi informasi, reformasi hukum dan birokrasi, dan meningkatnya kemampuan ekonomi, dalam dasawarsa yang akan datang sistem politik Indonesia akan berjalan sebagaimana mestinya. Ingat, tak ada kesempurnaan di dunia ini. Yang penting adalah adanya institusi kontrol yang arif dan konstitusional sehingga tak menimbulkan gejolak sosial dan politik. MUCHAMAD WIDODO Fakultas Filsafat 1556 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini