DEVALUASI rupiah tampaknya makin jauh. Beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah sudah lebih besar daripada penerimaan minyak dan gas bumi, dan cadangan devisa Indonesia masih kuat. Tapi proyeksi neraca pembayaran 1994-1995 yang diajukan Pemerintah ke DPR bersama RAPBN 1994-1995 masih memungkinkan munculnya beberapa skenario yang cukup menegangkan, terutama bagi mereka yang punya hobi melakukan spekulasi terjadinya devaluasi. Apa yang terjadi pada neraca pembayaran tahun anggaran sekarang, yang akan berakhir Maret 1994 nanti, memperkuat rasa waswas ini. Setahun lalu, Pemerintah mengharapkan cadangan devisa bertambah US$ 1,1 miliar. Kenyataannya, cadangan devisa hanya akan bertambah US$ 506 juta, seperti yang terlihat pada perkiraan angka realisasi APBN 1993-1994 baru-baru ini. Defisit transaksi berjalan memang lebih rendah karena ekspor ternyata lebih tinggi. Tapi pembayaran cicilan utang luar negeri akan mencapai US$ 5,2 miliar, US$ 300 juta lebih banyak dari perkiraan semula. Ini jelas merupakan pengaruh kenaikan kurs yen terhadap dolar tempo hari, karena sekitar 40% utang luar negeri Indonesia masih didenominasikan dalam mata uang yen. Dalam pos "selisih yang belum diperhitungkan" ternyata US$ 1,7 miliar devisa mengalir keluar hal yang tak diduga sebelumnya. Larinya devisa tersebut dise-babkan oleh pertimbangan spekulatif akan adanya devaluasi. Hal yang sama dengan sebab yang sama juga terjadi pada tahun anggaran sebelumnya: US$ 1,2 miliar devisa lari keluar. Padahal, ketika itu Pemerintah sudah menegaskan berkali-kali bahwa tidak akan ada devaluasi. Pernyataan ini didukung oleh beberapa indikator makroekonomi. Ini berarti, sekelompok masyarakat tak percaya pada pernyataan Pemerintah tentang tak akan terjadinya devaluasi itu. Salah satu mutasi penting pada neraca pembayaran 1993-1994 adalah penggalakan pinjaman Pemerintah dari luar negeri. Pemasukan utang luar negeri diperkirakan mencapai US$ 6 miliar, atau US$ 1,1 miliar lebih besar dari perkiraan semula. Bila realisasi pemasukan utang luar negeri tetap US$ 4,9 miliar seperti yang diproyeksikan pada APBN 1993-1994 itu, neraca pembayaran akan mengalami defisit US$ 600 juta. Itu berarti, cadangan devisa kita akan berkurang sebesar itu pula. Dalam neraca pembayaran 1994-1995, sekurangnya ada dua skenario yang cukup menegangkan. Skenario pertama, harga minyak tidak naik menjadi US$ 16 per barel seperti yang diharapkan. Bila harga minyak bertahan antara US$ 13 dan US$ 14, defisit transaksi berjalan akan lebih besar, yakni antara US$ 600 juta dan US$ 900 juta. Skenario kedua, impor melonjak sebesar US$ 4,1 miliar. Padahal, tahun ini impor diperkirakan hanya naik US$ 2,6 miliar. Peningkatan impor yang cukup besar ini merupakan konsekuensi dari makin ramainya kegiatan investasi akibat turunnya suku bunga, dan pengaruh paket deregulasi tahun lalu. Bila kegiatan investasi lebih ramai dan impor meningkat lebih besar dari yang diperkirakan, sedangkan harga minyak tidak naik, akan timbul situasi yang bisa membuat panik Pemerintah. Ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan Pemerintah dalam situasi seperti itu: mengetatkan kebijaksanaan moneter dengan mendadak, atau melakukan depresiasi rupiah lebih cepat. Tapi tindakan yang bersifat prematur ini bisa mengganggu kegiatan investasi dan momentum pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan yang mendadak bisa dihindari bila dari awal Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang lebih merangsang masuknya modal asing. Rekening modal dalam neraca pembayaran akan memegang peran kunci karena defisit transaksi berjalan akan tetap hadir untuk beberapa tahun mendatang. Dalam rekening modal pun, peran aliran modal Pemerintah makin terseret oleh beban pembayaran utang luar negeri. Karena itu, satu-satunya harapan bagi sehatnya neraca pembayaran saat ini adalah aliran modal swasta dari luar negeri. Ada dua jenis modal swasta luar negeri di sini. Pertama, modal yang merupakan investasi langsung, yang merupakan realisasi PMA. Kedua, modal berupa pinjaman swasta dari luar negeri, yang bisa berupa modal portfolio untuk membeli saham di pasar modal, atau modal luar negeri yang sekadar diparkir di Indonesia karena tertarik suku bunga deposito yang tinggi. Untuk jenis pertama, Pemerintah masih yakin jumlahnya akan terus naik. Untuk jenis kedua, jumlahnya turun tajam dari US$ 4,4 miliar pada tahun 1990-1991 menjadi hanya US$ 1,3 miliar tahun 1994-1995. Apa yang terjadi? Karena perbedaan antara suku bunga di Indonesia dan di luar negeri selama ini terus mengecil. Bagi swasta Indonesia, mencari kredit luar negeri sudah kurang menguntungkan. Dan bagi modal luar negeri yang hendak parkir di sini, suku bunga deposito yang terus turun belakangan ini menyebabkan Jakarta menjadi tempat yang kurang menggairahkan untuk parkir uang. Ekspor diharapkan akan meningkat US$ 4,7 miliar dalam tahun anggaran 1994-1995. Dari mana kenaikan ini berasal? Kalau angka ekspor dua tahun terakhir dapat dijadikan petunjuk, kenaikan ekspor terbesar ternyata berasal dari kategori "barang-barang lain", yakni kumpulan ekspor puluhan komoditi yang jenisnya sangat luas, yang sulit dimasukkan dalam golongan komoditi yang sudah ada. Jenis ini meliputi sapu lidi, sumpit, sadel sepeda, ikan hias, mainan anak, peralatan bayi, dan puluhan jenis lainnya. Komoditi ini diproduksi oleh ribuan eksportir kecil dan menengah, yang bekerja dengan sis-tem padat karya, dan tak banyak menggunakan bahan impor. Secara bersama, kelompok ini meningkatkan ekspornya dari US$ 2,4 miliar menjadi US$ 5,1 miliar antara tahun 1991-1992 dan 1992-1993 kenaikan terbesar dibandingkan dengan komoditi lainnya. Angka ini menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia akan makin bergantung pada eksportir kecil dan menengah, dan bukan pada konglomerat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini