DEWA saudagar itu uang. Tapi justru di Hong Kong, yang beken bagai surganya saudagar atawa pengusaha, ada yang teguh mengindahkan etika kemanusiaan. Yakni George Rose dan Peter Liu, dua dokter yang mendirikan klinik The Gender Choice Centre atau Pusat Pilihan Kelamin. Sejak diresmikan November tahun silam, 600 pasien antre, dan 48 pasangan sudah diladeni. "Sebagian besar merindukan bayi lelaki," kata Dr. George Rose. Menurut dia, bisnisnya ini anggap saja usaha keluarga berencana. Ini klinik mereka yang kedua, setelah tahun lampau klinik serupa beroperasi di London. Di London peminatnya 3.000, dan 150 pasangan sudah mendapat pelayanan. Dan 60% etnik Eropa mengidamkan bayi wanita. "Tapi 2/3 pasien yang terdiri dari orang Asia sebagian besar ingin anak lelaki," kata Dr. Rose, seperti disiarkan kantor berita Reuters, dua pekan lalu. Sama seperti di London, klinik di Hong Kong ini, diakuinya, menimbulkan debat sengit ihwal idaman dan moralitas memilih kelamin. Tapi, menurut Rose, pilihannya adalah hidup atau mati. "Kami ingin mencegah pembunuhan bayi," ujarnya, seraya menunjuk laporan santer dari Cina Daratan yang gencar melakukan pengguguran janin berkelamin wanita, dan membantai bayi yang lahir dengan kelamin cewek. Di Hong Kong, bayi wanita memang tak terlalu hina, apalagi dibunuh, meski banyak orang tua merindukan dapat sedikitnya satu anak lelaki sebagai penerus nama dinasti keluarga. Memang, dalam tradisi tua Cina, bayi lelaki diibaratkan permata giok, sedangkan untuk bayi cewek julukannya tak lebih dari sekadar tanah lempung. Perbandingan anak pria-wanita di Hong Kong dewasa ini 108:100, yang dianggap masih tergolong alamiah. Tapi di Cina Daratan, dengan 114 lelaki 100 wanita, kasus aborsi dan pembunuhan bayi karena alasan bukan kelamin lelaki pada dasarnya akibat menghindari ketatnya aturan yang mengharuskan tiap keluarga cuma boleh punya satu anak. "Ketimpangan itu akan berakibat pada angkatan bersenjata, yakni akhir abad ini serdadunya bakal terdiri dari 70 juta lajang," tulis koran Cina Farmer's Daily. Meski klinik di Hong Kong juga banyak menerima pasien dari Cina Daratan, toh Rose dan Liu belum berminat membuka klinik serupa di negeri berpenduduk 1,1 miliar jiwa itu. Mereka bilang tak ingin menyalahgunakan pelayanan, misalnya, sampai mengikuti kemauan para orang tua menggugurkan dengan alasan kelamin si janin tak cocok dengan idaman. Mereka menerapkan sistem pembuahan buatan. Hasilnya, 75 hingga 80 persen bayi lelaki, dan sekitar 70% bayi wanita. Tarifnya, HK$ 15.800 atau sekitar Rp 4 juta untuk konsultasi dan perawatan awal. Selain itu, mereka punya kode etik yang wajib disetujui pasien. Yakni, pasangan itu harus dalam status nikah, dan sudah punya anak minimal satu. Tak ada cerita pengguguran meski hasilnya kemudian bukan bayi dengan kelamin yang diingini. Pasien boleh saja tak setuju dengan kode etik klinik itu, seperti kejadian di London. Hasilnya? "Lebih dari dua lusin pasangan kami tolak," kata George Rose. Dengan pendiriannya yang kukuh itu, apa mungkin kliniknya di Hong Kong bakal awet? Terutama setelah Inggris mengembalikan Hong Kong ke tangan Cina, Juli 1997, mau tak mau Rose dan Liu harus tunduk pada aturan Cina. Seraya tak mengabaikan mustahilnya menentang aturan satu-keluarga-satu-anak itu, mereka juga merasa tak mungkin mengkhianati kode etiknya sendiri. Akibatnya, ya, boleh jadi klinik ini ditutup. "Tapi kini mumpung masih masa transisi, kita jalan saja," kata mereka. Taat asas pada etika kemanusiaan di tengah belantara bisnis ini tampaknya boleh juga disimak para saudagar rumah sakit di Indonesia -- yang kian beken menambah parah pasien, karena uang pasienlah yang diburu lebih dulu.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini