Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SLTPN 56 yang diributkan akhir-akhir ini bukan sekolah pertama di Jakarta yang digusur. Sebelumnya,sekolah di tempat lain, misalnya di Jalan Gajah Mada dan Jalan Cikini Raya, telah lama lenyap. Semuanya dinyatakan sesuai dengan fatwa tata ruang yang berlaku. Semua alasannya adalah "pasar": lahan itu terlalu tinggi nilainya hanya untuk sebuah sekolah. Dengan kesesatan berpikir yang sama, beberapa sekolah lain di lokasi mahal juga terancam, misalnya yang masih tersisa di Jalan Kebon Sirih dan Jalan Cokroaminoto. Kesesatan berpikir inilah yang sebenarnya harus diwaspadai oleh para aktivis dan seluruh warga.
Sekolah juga bukan satu-satunya jenis sarana yang mengalami penggusuran (yang dalam istilah teknis perencanaan kota disebut alih fungsi, perubahan guna lahan, atau land-use change) oleh fungsi komersial. Ingat kasus Gedung Candra Naya yang lalu. Penggusuran juga sering menimpa perumahan. Bukan hanya yang kumuh, tetapi juga perumahan kelas menengah sampai atas. Sudirman Central Business District (SCBD) di jantung segi tiga emas, misalnya, pada awal tahun 1990-an telah menggusur ribuan rumah kelompok menengah atas.
Yang kita hadapi adalah alih fungsi yang disokong pemerintah dengan mengikuti logika ekonomi yang sempit, yang sebenarnya hanya pantas dianut oleh pihak komersial swasta, bukan oleh pengelola kota, pembuat kebijakan publik. Dengan menganut cara berpikir seperti itu, justru tampak oleh kita sebuah pemerintahan yang sebenarnya dikendalikan pasar, mengabdi pada kepentingan kelompok tertentu saja, bukannya mengendalikan pasar untuk mengabdi kepentingan umum.
Dalam sejarah Jakarta, dan banyak kota lain di dunia, peristiwa ini sudah kerap terjadi. Di semua tempat itu pun, sanggahannya sama.
Meskipun sah, kita tahu tata ruang Jakarta banyak yang tidak "absah" (legitimate), tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan tidak "sahih" (benar memenuhi kaidah akal dan keilmuan), tidak sesuai dengan kaidah kota yang baik, karena prosesnya yang tidak transparan dan tidak sungguh ada dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perubahan guna lahan memang kompleks dan bukannya tidak boleh. Sebuah kota memang harus tanggap terhadap perubahan ekonomi, termasuk globalisasi, dan menampung perluasan berbagai fungsi. Tapi setiap perubahan hendaknya mengacu pada visi jangka panjang dan didasarkan pada perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa kita memerlukan pusat belanja sebanyak itu (saat ini Jakarta telah memiliki 3,5 juta meter persegi pusat belanja) sementara sekolah dikurangi? Alih-alih sekolah, mengapa bukan pusat belanja yang digeser ke pinggir, ke tempat yang lebih "sulit", karena orang mau membayar untuk itu? Bukankah sekolah justru harus berada di tempat yang mudah dijangkau, supaya biaya menjadi rendah? Mana perhitungannya yang terang? Siapa yang menentukan?
Semakin Jakarta dijejali pusat belanja, sementara hunian dan sekolah digusur, semakin ia menimbulkan kemacetan lalu lintas yang sistemik. Hilangnya sekolah, ruang terbuka, dan rumah, menyebabkan kota kehilangan fungsi dasarnya sebagai "ruang hidup", dan menjadi sekadar "ruang kerja" dan "ruang konsumsi" yang tidak efisien, bahkan mencemari lingkungan dengan polusi dan sampah. Ketidakseimbangan antara "ruang hidup" dan "ruang kerja"/"ruang konsumtif" menihilkan rasa memiliki. Kota diperlakukan sebagai tempat mencari uang semata, dan tidak dirawat sebagai ruang bersama.
Pemahaman yang sesat akan pasar menjadi sebab dibiarkannya fungsi-fungsi bersaing sebagai best use untuk tiap keping lahan kota. Sudah jelas bahwa dalam pasar yang sedang berkembang gragas, fungsi-fungsi perumahan kelompok berpenghasilan rendah, sekolah, dan semua yang berkaitan dengan "ruang hidup", tidak akan bertahan bila tidak dengan sengaja dilindungi. Nilainya tidak dapat dihitung secara sempit hanya atas dasar nilai lahan tempat berdirinya. Meskipun bukan best use dari segi penciptaan keuntungan per keping lahan, fungsi-fungsi ini mahapenting bagi kualitas kehidupan kota yang pada gilirannya menentukan produktivitas keseluruhan kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo