Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa lalu sedang berjalan mendahului Jenderal Purnawirawan Wiranto. Serious Crimes Unit (SCU) Kejaksaan Agung Timor Timur (kini Timor Leste) mengajukan mosi hukum bagi penangkapan mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI serta Panglima TNI itu. Wiranto, yang baru saja terpilih menjadi calon presiden dari Partai Golkar, bisa menuduh semua ini hasil rekayasa rival politiknya di dalam negeri. Kalau langkah itu ia lakukan, jelas itu tidak cukup untuk mencegah kuasa masa lalu mengambil terlalu banyak dari hidupnya di masa depan. Satu-satunya cara adalah dengan menghadapinya sekarang juga.
Lagi pula, mosi hukum SCU tidak bermula pada hari ketika Wiranto resmi menjadi salah satu kandidat calon presiden dari Partai Golkar. Surat penangkapan sebenarnya sudah diupayakan sejak Februari tahun lalu. Tepatnya setelah SCU, di bawah kepemimpinan Siri Frigaard, memasukkan Wiranto ke dalam daftar tersangka pelaku kejahatan luar biasa di Timor Timur bersama enam perwira tinggi militer Indonesia lainnya. Menurut media asing, setelah kemenangan Timor Timur dalam referendum 1999, hampir 2000 orang tewas akibat operasi "bumi hangus" yang diduga dilakukan milisi dengan rencana dan persetujuan Jakarta.
Upaya Frigaard kini diteruskan oleh Nicholas Koumjian, Ketua SCU yang baru. Ia optimistis bahwa bukti-bukti di tangannya akan membuat Pengadilan Distrik Dili menyetujui surat perintah penangkapan bagi Wiranto.
Jika Koumjian benar, ini bukan berita baik bagi Wiranto. Ia harus sungguh-sungguh berhitung sebelum memutuskan untuk berniat bepergian ke luar negeri. Soalnya, seperti dirinci dalam The Princeton Principles on Universal Jurisdiction, setiap negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk menangkap dan mengekstradisi setiap tersangka pelaku kejahatan luar biasa, antara lain kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kewajiban ini mengikat semua negara penanda tangan perjanjian-perjanjian multilateral setelah Perang Dunia Kedua, khususnya Konvensi Jenewa 1949. Dengan kata lain, sekali surat perintah penangkapan bagi Wiranto keluar, akibatnya tak akan bisa diatasi oleh dinamika hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Timur.
Dari semula Jakarta sudah gagal menekan Dili membatalkan proses hukum terhadap Wiranto. Tapi SCU memang tidak bisa tunduk begitu saja pada kehendak Dili, karena ia adalah kepanjangan tangan PBB. Awalnya, SCU dibentuk oleh United Nations Transitional Authority in East Timor (UNTAET), berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1272 tanggal 25 Oktober 1999. Setelah Timor Timur merdeka, UNTAET dibubarkan. Namun keberadaan SCU justru dipertahankan oleh Dewan Keamanan PBB melalui resolusinya nomor 1410 tanggal 17 Mei 2002 tentang pembentukan United Nations Mission of Support in East Timor (Unmiset). Sejak itulah SCU ditempatkan oleh PBB di Kejaksaan Agung Timor Timur. Ketua SCU adalah juga Wakil Jaksa Agung Timor Timur.
Selain membentuk SCU, PBB juga membentuk Special Panel for Serious Crimes, yang terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim nasional. Kepada panel hakim yang ditempatkan di Pengadilan Distrik Dili inilah Koumjian memintakan persetujuan bagi penangkapan Wiranto.
Yang harus dicatat, dengan pembentukan SCU dan Special Panel, PBB sebenarnya sedang mengoperasikan hybrid court di Timor Timur?serupa dengan apa yang dicoba di Kamboja. Internationalized national court ini dinilai mampu menghasilkan peradilan yang adil, independen, dan impartial justice, namun dengan biaya yang lebih murah daripada international ad-hoc tribunal yang dibentuk PBB di Rwanda dan eks Yugoslavia.
Apa artinya itu bagi Indonesia? Jangan lupa, PBB sempat mengancam akan membentuk international ad-hoc tribunal serupa bagi Indonesia. Namun ancaman itu reda setelah Jakarta membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur dan mendirikan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kini kecil sekali kemungkinan PBB akan mempertimbangkan ulang pembentukan mahkamah internasional itu bagi Indonesia, antara lain karena realisme hubungan internasional dan ongkos yang sangat mahal. Namun PBB rupanya juga tak bisa hanya diam ketika terbukti lingkaran impunitas dalam kasus Timor Timur tak dapat dipenggal putus oleh pengadilan di Indonesia. Itulah yang lalu membuat misi hybrid court PBB di Timor Timur menjadi satu-satunya alternatif setelah pembentukan mahkamah internasional gagal.
Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima TNI pada masa bergejolak di Timor Timur tahun 1999, nama Wiranto justru tak ada dalam daftar terdakwa di pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Itulah pokok masalahnya sekarang: tak berlangsungnya exhaustive domestic remedies terhadap Wiranto justru membuat ia kini paling exposed pada misi hybrid court PBB itu. Prinsip double jeopardy atau ne bis in idem tak bisa membuatnya bebas ancaman peradilan PBB itu, sebab tak pernah ada pengadilan di Indonesia yang memutus ia bersih atau bersalah.
Dari Timor Timur, keadilan internasional sedang menggeliat dengan cara yang tak mengundang perhatian. Kita bisa menentangnya namun tak bisa menghalanginya. Satu-satunya cara untuk membebaskan Indonesia dari masalah Timor Timur adalah dengan membiarkan keadilan menemukan jalannya. Kewajiban pemerintah Indonesia adalah memastikan semua hak hukumnya dilindungi dan dipenuhi dalam proses peradilan agar ia bisa maksimal membuktikan dirinya tak bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo