Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gerakan Pelestarian dan Isu Sentralnya

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohammad Danisworo *)Pengamat dan praktisi rancang kota

Profesor Eko Budihardjo, Rektor Universitas Diponegoro, sering berseloroh: kota tanpa aset peninggalan sejarah seperti orang tanpa ingatan, alias sama dengan orang gila. Ya, sebuah kota harus mampu melestarikan aset budaya dan sejarahnya, agar ikatannya dengan masa lalu dapat tetap terpelihara, dan menjadikan kota itu berbudaya, kota yang "waras".

Namun upaya kegiatan pelestarian aset peninggalan sejarah di Indonesia selalu merupakan proses yang melelahkan. Salah satu alasannya, kurangnya kesatuan pemahaman di antara para pelaku yang terlibat?pihak instansi terkait, profesional, akademisi, pemilik bangunan?mengenai arti/cakupan "kegiatan pelestarian" itu sendiri. Perdebatan umumnya berkisar pada pilihan pola penanganan seperti apa yang paling tepat, apakah pola penanganan yang bersifat "konservasi murni" (conservation), atau "pengembangan" (development), atau gabungan dari keduanya. Kenyataan lain yang tidak dapat dimungkiri: isu pelestarian masih merupakan suatu fenomena baru, baik pada tataran praktek maupun pada tataran pemahaman serta pengakuannya dalam lingkungan sosial-budaya ataupun politik kita. Hal ini menyebabkan isu kegiatan pelestarian menjadi lebih rumit dan membingungkan.

Kegiatan pelestarian saat ini tampaknya secara perlahan mulai mendapat dukungan/tanggapan positif dari publik. Namun kenyataannya, ia lebih banyak merupakan kegiatan yang lahir dari proses coba-coba (trial and error) ketimbang didasarkan pada rumusan matang akan kebijakan publik tentang pemugaran. Untuk itu, penjabaran berbagai isu sentral seputar kegiatan itu?kejelasan definisi, aturan main/kepranataan, atau kerangka institusi pendukungnya?selayaknya harus diformulasikan secara tepat dan cermat.

Meningkatnya kekhawatiran mengenai hilangnya identitas kota, ataupun kegagalan bangunan penggantinya untuk melebur diri ke dalam lingkungan yang ada, telah semakin mendorong lahirnya gerakan pelestarian. Namun, di sisi lain, upaya untuk mempertahankan identitas dan karakter lokal sering berubah menjadi isu sensitif. Sejumlah keraguan dan kritik timbul seputar kepentingan untuk mempertahankan dan melestarikan bangunan peninggalan sejarah. Pertama, ide konservasi bukan merupakan ide lokal, melainkan berasal dari tradisi Barat. Akibatnya, gerakan pelestarian di Indonesia sering dituding sebagai gerakan yang bersifat elitis, eksklusif, dan kebarat-baratan. Kedua, kontribusi nyata dari gerakan ini, terutama pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya, masih dipertanyakan dan diperdebatkan. Ketiga, gerakan ini lebih sering dikonotasikan terlalu bersifat "sentimental", "tidak relevan" dengan tuntutan kemajuan, atau bahkan dituduh sebagai "anti-perubahan", sehingga dapat mematikan kemajuan pengembangan kota. Terkadang gerakan pelestarian budaya menjadi sangat sensitif secara sosial maupun politis, yaitu ketika dijumpai bahwa obyek pelestariannya terkait secara politis dengan "masa penjajahan", ataupun secara sosial-budaya terkait dengan etnik tertentu yang bukan pribumi. Contoh nyata adalah upaya pelestarian Gedung Chandranaya yang pada era Orde Baru harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena saat itu meng-"ekspos" budaya non-pri dianggap tabu.

Bersamaan dengan berlalunya waktu, berbagai pemahaman lain tentang konsepsi gerakan konservasi muncul, bahkan meluas melebihi lingkup kepentingannya. Semenjak ditetapkannya Venice Charter pada 1964, terdapat perkembangan mendasar konsepsi "pelestarian". Dalam charter tersebut ditekankan bahwa tidak ada satu pun bangunan yang dapat bertahan dalam kondisi yang sama di dunia yang sedang berkembang pesat. Untuk itu timbul kepentingan untuk meninjau kembali nilai-nilai yang telah ada dan mengadaptasikannya dengan perubahan tersebut (Cantacuzino, 2002). Pemahaman ini tentu saja telah memperluas konsepsi gerakan pelestarian ini: dari yang semula bersifat eksklusif dan hanya terbatas pada pelestarian obyek situs/monumen budaya, yang melibatkan pelestarian obyek tradisional/vernakuler, hingga pelestarian kawasan industri, bahkan pelestarian sebagian atau seluruh bagian kota tradisional. Lebih lanjut pemahaman baru ini juga tidak lagi membatasi lingkup pelestarian hanya pada obyek yang berumur di atas 50 tahun. Ia dapat berlaku pula bagi produk budaya dari kurun waktu abad ke-20 yang masih berumur di bawah 50 tahun.

Di Indonesia, mulai pula berkembang gerakan pemahaman baru mengenai pelestarian bangunan peninggalan era Sukarno yang dibangun pada kurun waktu sekitar tahun 1960-an yang dianggap memiliki signifikansi sosial-politik pada masa itu. Argumentasinya: bangunan yang dihasilkan oleh keputusan sosial-politik yang penting setelah era kolonial itu dalam kurun empat dekade ini keberadaannya telah memberikan sumbangan sosial, budaya, dan politik yang berarti kepada bangsa dan negara. Bangunan dan kawasan itu antara lain Kompleks Gelora Bung Karno, Kompleks MPR/DPR, Hotel Indonesia dengan Bundaran HI-nya, Monumen Nasional, termasuk di dalamnya Tugu Nasional dan Masjid Istiqlal. Bundaran HI, misalnya, sudah menjadi tempat tujuan bagi berlangsungnya berbagai bentuk kegiatan sosial-budaya maupun sosial-politik.

Sekarang tiba-tiba muncul berita tentang akan segera dimulainya pembangunan kembali kompleks Hotel Indonesia oleh investor, bahkan muncul desas-desus dalam proses ini akan terjadi pembongkaran gedung. Kalau desas-desus ini benar, upaya pembongkaran bangunan Hotel Indonesia ini, apa pun alasannya, harus dicegah. Hotel yang dirancang oleh arsitek Denmark Abel Sorenson ini menyandang banyak atribut penting, seperti sebagai bangunan tinggi pertama di Jakarta, bahkan di Indonesia, mewakili gaya arsitektur pada zamannya, yaitu Arsitektur Gerakan Modern, hotel dengan standar internasional yang pertama di Indonesia, ikon-nya kota Jakarta, dan seabrek atribut lainnya. Karena itu bangunan ini dinyatakan dilindungi sebagai benda cagar budaya.

Namun kenyataan pembangunan kembali Hotel Indonesia ini harus dihadapi dengan kepala dingin tanpa emosi berlebihan. Kejadian ini mengingatkan kita kepada pembongkaran bangunan Imperial Hotel di Tokyo, Jepang, pada akhir tahun 1960-an. Bangunan bersejarah karya arsitek terkemuka Amerika Frank Lloyd Wright, yang selama puluhan tahun menjadi bagian hidup dari masyarakat Kota Tokyo, dinyatakan tidak lagi dapat beroperasi secara kompetitif menghadapi dunia yang sudah berbeda. Setelah melalui berbagai polemik pro-kontra dan perdebatan yang panjang serta melelahkan, akhirnya Imperial Hotel lama harus "pergi" untuk memberikan tempat kepada Imperial Hotel yang baru dan secara operasional lebih tanggap menghadapi dunia baru. Kepergian Imperial Hotel diiringi air mata di Jepang, juga di Amerika?secara arsitektural Imperial Hotel juga merupakan manifestasi budaya Amerika di Jepang.

Sekarang, apabila kita memasuki Hotel Indonesia yang menempati lokasi paling bergengsi di koridor Thamrin_Sudirman, kita?terutama yang pernah mengalami kejayaan hotel ini?akan merasa trenyuh karena kondisinya sudah sangat memprihatinkan: kumuh, seakan tidak terpelihara, tidak pantas berada di lokasi yang paling "mulia" di Ibu Kota, apalagi menyandang nama legendaris Hotel Indonesia. Dengan kondisi fisik seperti ini serta absennya kemampuan manajemen dan finansial yang memadai, tidak mungkinlah hotel yang telah berusia 42 tahun dan sakit-sakitan ini mampu bertahan hidup, apalagi bersaing dengan hotel berbintang lainnya yang jauh lebih muda dan vital. Maka tidak mengherankan jika nasib hotel ini harus diserahkan ke pengelola baru untuk dapat melanjutkan riwayatnya. Tapi apakah ini berarti Hotel Indonesia harus mengalami nasib yang sama dengan Imperial Hotel di Tokyo, yaitu dirobohkan untuk memberikan tempat bagi yang baru? Jawabnya adalah "tidak", hanya orang-orang yang akalnya kurang sehat dan a-nasionalis barangkali yang akan menjawab dengan "ya".

Program revitalisasi dengan pendekatan konservasi mungkin bisa menjadi opsi jalan keluar terbaik untuk dapat menolong bangunan Hotel Indonesia dari kehancuran. Konservasi obyek peninggalan sejarah saat ini sudah dipandang sebagai komponen yang fundamental dari kebijakan tentang "lingkungan yang berkelanjutan". Terminologi konservasi oleh karena itu harus dimengerti sebagai upaya untuk menjadikan tempat itu tetap hidup dan vital, dan bukan hanya untuk melestarikan makna arsitektural dan arti historisnya. Kata "konservasi" itu sendiri memiliki konotasi sosial-eko-nomi yang kuat, artinya bangunan yang dikonservasi harus dapat tetap berfungsi dan mampu membiayai dirinya sendiri dan tidak menjadi sebuah "museum kota" yang hidup dari "belas kasihan" negara. Dalam konteks inilah revitalisasi Hotel Indonesia harus dilakukan, di mana strategi tentang restorasi, rehabilitasi, renovasi, serta pengembangan barunya yang mungkin timbul harus dilakukan dengan cermat agar makna dan arti dari tempat itu tetap dapat dipertahankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus