Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Eliminasi Kemampuan Rohani Calon Presiden

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irmansyah *) Pengajar di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Politik dagang sapi dalam penyusunan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden telah membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kebagian pekerjaan tambahan. Pasal 6 huruf d undang-undang itu menyebut, calon presiden dan calon wakil presiden harus "mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden". Untuk memenuhi ketentuan pasal itulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian meminta IDI menerjemahkan prasyarat tersebut agar menjadi operasional. Pemilihan kata "mampu" bertujuan meloloskan calon presiden yang mengidap penyakit jasmani, tapi dianggap mampu. Ini ada benarnya. Contohnya, Franklin D. Roosevelt lebih sering berada di kursi roda dalam memimpin Amerika keluar dari masa-masa sulit. Seorang tunanetra, dengan bantuan teknologi dan penyesuaian lingkungan kerja, dapat tetap menjalankan tugas kepemimpinan. Dengan kata lain, handicap jasmani tidak langsung berakibat pada ketidakmampuan menjalankan tugas sebagai presiden dan wakil presiden.

Bagaimana dengan pengidap penyakit rohani?

Rohani jelas berhubungan langsung dengan kemampuan menjadi presiden dan wakil presiden. Makna "mampu secara rohani", yang diterjemahkan dengan sehat jiwa, jelas berbeda dengan "mampu secara jasmani". Seseorang yang menderita gangguan jiwa (sakit secara rohani) jelas tidak mampu berfungsi optimal, dan seseorang yang sehat jiwa saja tidak otomatis bisa dikatakan mampu. Untuk dapat dikatakan mampu secara rohani menjalankan tugas sebagai presiden dan wakil presiden, seseorang harus lebih dari sekadar sehat. Jadi, idealnya, prasyarat mampu secara rohani harus lebih ketat.

Sayangnya, keinginan memperketat prasyarat mampu rohani tidak dapat dijalankan. Pengertian mampu secara rohani dan jasmani dianggap satu paket, sehingga IDI memberlakukan kriteria yang sama, yaitu keadaan disabilitas sebagai kriteria eksklusi. Calon presiden dan calon wakil presiden yang mengalami gangguan psikiatri berat, seperti psikosis, neurosis berat, retardasi mental, gangguan kepribadian, dan penyalahgunaan narkoba, dapat dinyatakan mengalami disabilitas psikiatri sehingga dianggap tidak mampu secara rohani, dan tereliminasi. Juga mereka yang mengalami penurunan daya ingat, seperti pada minimal cognitive impairment, dianggap tidak mampu karena gangguan ini cenderung menjadi progresif akibat proses penuaan. Sedangkan bagi mereka yang lolos, tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menilai tingkat kemampuan rohani pada level yang pantas.

Dengan tenggat sangat terbatas dari KPU, tim pemeriksa, yang terdiri dari psikiater, psikolog, dan ahli neuropsikiatri, akan melakukan pemeriksaan secara tertulis menggunakan instrumen self-assessment dan MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory), pemeriksaan kognitif dan wawancara klinis langsung. Dengan waktu yang relatif sempit ini, tidak mengherankan jika pemeriksaan hanya bertujuan menemukan keberadaan gangguan psikiatri pada para calon presiden dan calon wakil presiden dan menilai disabilitas rohani calon.

Dalam situasi ideal, penentuan kriteria eksklusi saja kurang bermanfaat. Bila proses pencalonan berjalan ideal, tidak akan ada penderita disabilitas psikiatri sampai ke KPU. Para penderita gangguan psikiatri berat seperti disebut di atas adalah individu biasa yang sehari-hari bisa hidup normal dan produktif. Tapi, karena penyakitnya, mereka rentan sekali terhadap tekanan kehidupan (stres). Karenanya, dalam program penanganan penyakit psikiatri, penderita selalu dibekali latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan stres, serta dianjurkan sejauh mungkin menghindar dari tekanan kehidupan yang berat.

Kita tahu persis bahwa menjadi presiden bukanlah pekerjaan yang jauh dari stres. Jadi, tanpa peraturan KPU pun, demi kebaikan penderita sendiri, psikiater otomatis akan menganjurkan penderita gangguan psikiatri berat supaya tidak melamar pekerjaan sebagai presiden dan wakil presiden. Selain itu, secara alami, penderita sendiri sangat mungkin tidak memiliki keinginan yang sangat tinggi seperti mencapai posisi presiden atau wakil presiden.

Seleksi alam lain adalah pencalonan dari parpol, yang tentunya telah melakukan seleksi ketat. Secara ideal, kemampuan rohani calon presiden dan wakil presiden telah teruji sejak jenjang politik paling bawah. Hanya mereka yang punya kemampuan rohani tinggi yang akan berhasil menampakkan diri di jenjang tertinggi sehingga layak dicalonkan. Bagi partai, mengajukan calon yang berkemampuan rohani jelek sama saja dengan bunuh diri politik.

Sayangnya, pola rekrutmen pemimpin politik selama puluhan tahun di Indonesia berjalan tidak ideal dan dikuasai oleh hanya segelintir elite partai. Karenanya, sangat mungkin seseorang yang tidak punya kemampuan tiba-tiba dimunculkan oleh elite partai.

Ini juga sejalan dengan sikap sebagian besar rakyat kita, yang masih sering mengkultus-individukan seseorang. Karena itu, pada pemilu masa transisi ini, intervensi profesional untuk membantu mengeliminasi calon presiden dan wakil presiden yang tidak mampu masih bisa diterima. Jika proses demokrasi telah berjalan dengan baik, urusan kesehatan mental wakil partai adalah urusan partai masing-masing.

Hingga kini, masih belum jelas apakah seluruh hasil pemeriksaan lengkap nanti akan langsung diumumkan ke publik, atau?atas dasar kerahasiaan medis?yang dibuka hanya kesimpulan akhir. Yang ideal adalah, publik bisa melihat laporan lengkap hasil pemeriksaan karena status kesehatan para calon presiden adalah milik publik.

Jika publik dapat melihat hasil pemeriksaan lengkap berikut argumen-argumen yang dibangun, publik dapat menilai dan membandingkan keadaan kesehatan para calon dan menjadi lebih mantap dalam menjatuhkan pilihan. Layaknya proses eliminasi Akademi Fantasi Indosiar (AFI), para juri menyampaikan hasil ulasan profesional mereka secara terbuka, dan terserah publik mau setuju atau tidak pada ulasan itu. Memang akan ada kekhawatiran bahwa masyarakat tidak menghormati hasil pemeriksaan para juri. Tetapi, melihat hasil pemilu legislatif yang lalu, tampak bahwa apresiasi publik terhadap politik sudah lebih baik.

Idealnya lagi, prasyarat mampu rohani untuk menjadi presiden dan wakil presiden memenuhi standar kemampuan rohani para pemimpin besar. Kemampuan jiwa serta kemampuan rohani yang lain, seperti kemampuan moral dan spiritual para calon, harus berada jauh di atas rata-rata masyarakat yang dipimpinnya. Untuk level seorang presiden, kemampuan itu seharusnya sudah diperlihatkan sepanjang perjalanan hidup seseorang melalui karya-karya pemikirannya, bukan melalui tes-tes psikiatri yang hanya berlangsung beberapa jam.

Di masa yang ideal nanti, partai harus dapat menemukan atau menciptakan lahirnya orang-orang yang berkemampuan rohani tinggi untuk kemudian mencalonkannya. Calon pemimpin ini harusnya selalu berada di tengah masyarakat sehingga masyarakat bisa terus-menerus menilai kemampuan rohani sang calon. Dengan demikian, pengurus IDI, khususnya para psikiater, tidak perlu lagi disibukkan dengan pekerjaan mengeliminasi mereka, dan bisa lebih berkonsentrasi mengerjakan pekerjaan profesional lain.

Meski terbebani dengan pelaksanaan pemeriksaan kemampuan rohani ini, para psikiater merasakan satu manfaat positif, yaitu adanya kesadaran para pembuat kebijakan akan pentingnya kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan bernegara. Semoga presiden mendatang dan para anggota legislatif terpilih yang telah lolos dari proses eliminasi rohani/kejiwaan dapat memberi perhatian yang memadai terhadap masalah kesehatan jiwa di Tanah Air, yang sangat jauh tertinggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus