Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENTETAN aksi teror di Nanggroe Aceh Darussalam boleh jadi berkaitan dengan sengkarut politik menjelang pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan berlangsung pada 16 Februari mendatang. Insiden penembakan terjadi di tengah gonjang-ganjing politik lokal yang berlangsung selama enam bulan terakhir. Teror sejak akhir Desember lalu itu menewaskan 10 orang dan mengakibatkan 13 penduduk luka-luka.
Pergesekan bermula ketika Gubernur Irwandi Yusuf mencalonkan diri sebagai kandidat untuk kedua kalinya. Berbeda dengan enam tahun lalu, pencalonannya kali ini tidak didukung Partai Aceh, partai lokal yang didirikan bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Ia maju sebagai calon independen. Langkah politik itu sebenarnya sah dilakukan oleh siapa pun saat ini. Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 63/2010 membolehkan seseorang maju dalam pilkada melalui jalur independen.
Pencalonan Irwandi dipersoalkan Partai Aceh, yang dalam pemilihan kali ini menjagokan Zaini Abdullah, bekas Menteri Kesehatan Gerakan Aceh Merdeka. Dalih mereka, calon independen hanya boleh maju satu kali, yakni dalam Pilkada 2006. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Tapi beleid itu dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU/2010. Walhasil, Irwandi berhak maju sebagai calon independen. Namun Partai Aceh berkeras mendesak pemilu kembali ditunda dan gubernur saat ini digantikan pejabat sementara.
Melalui para kadernya yang menguasai Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, partai ini membidani lahirnya qanun baru, tanpa memasukkan pasal soal calon independen. Mereka juga menolak mendaftarkan calonnya, meski kesempatan itu datang tiga kali. Akibatnya, pemilihan kepala daerah tertunda empat kali. Langkah ini tentu saja menyandera proses demokrasi yang tengah dirintis di sana. Partai yang diketuai Muzakir Manaf, bekas Panglima GAM, ini akhirnya mau menerima kehadiran calon perseorangan dan bersedia mengikuti pilkada. Tapi Komite Independen Pemilihan Aceh telah menutup pintu bagi Partai Aceh untuk mendaftarkan calonnya.
Proses pemilihan ini tidak perlu berlarut-larut bila Partai Aceh sejak awal berbesar hati menerima calon independen. Penolakan yang ditunjukkan elite Partai Aceh justru menunjukkan sikap kerdil dalam berdemokrasi. Publik setempat bisa saja menilai Partai Aceh belum siap menerima kenyataan bahwa figur Irwandi lebih populer dibandingkan dengan kandidat lain—termasuk Zaini. Padahal menang atau kalah adalah hal lumrah dalam berdemokrasi.
Sebagai representasi politik terbesar di Serambi Mekah—menguasai 33 dari 69 kursi di DPR Aceh dan 216 kursi di semua kabupaten/kota Aceh—Partai Aceh semestinya memanfaatkan momen pemilihan kepala daerah untuk memperbaiki diri bila ingin tetap dilirik pada Pemilu 2014. Bukan saatnya lagi mereka memelihara konflik dengan sesama eks GAM. Apalagi peran partai lokal ini dalam memperjuangkan kepentingan warga Aceh belum banyak dirasakan.
Bola kini di tangan Mahkamah Konstitusi. Putusan lembaga ini nantinya akan menjadi landasan hukum bagi Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen Pemilihan Aceh untuk menunda tahapan pemilihan atau sebaliknya. Tapi yang perlu diingat oleh elite politik Aceh, merawat perdamaian dan demokrasi jauh lebih penting dari sekadar memenangi pemilihan kepala daerah. Jangan sampai perdamaian dan demokrasi yang tengah dirintis berantakan hanya gara-gara kepentingan sesaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo