Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAI serial tak berkesudahan, demikian pula kisah perjalanan korupsi dan selingkuh jabatan di negeri karut-marut ini. Alih-alih jeli dan gigih membangkitkan usaha menyejahterakan rakyat, para pemegang kuasa dan amanah ternyata jauh lebih langkas mengintip peluang memakmurkan diri—paling jauh mencogah kaum dan kelompoknya masing-masing. Seperti tak ada celah yang lolos, tak ada kesempatan yang terlewatkan. Untuk kesekian kalinya, cerita someng ini melibatkan politikus Senayan, tempat para "wakil rakyat" bertakhta.
Ceritanya dimulai dari proyek pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya berupa solar home system (SHS). Proyek ini diluncurkan pemerintah untuk mengantisipasi defisit pasokan listrik yang sudah menjadi kenyataan dan menimbulkan kekhawatiran di masa depan. Bukan lagi cerita fiktif, setelah lebih dari enam dasawarsa "menikmati" kemerdekaan, banyak daerah di republik ini yang masih mengalami pemadaman bergilir pasokan listrik.
Jika segalanya berjalan beres, proyek ini akan menerangi ratusan ribu rumah yang belum terjangkau listrik—secara gratis. Sungguh maslahat jika diingat, sekitar 35 persen masyarakat Indonesia belum menikmati listrik. Pada mulanya, pengadaan SHS diperuntukkan semua provinsi di Indonesia, kecuali Jakarta. Belakangan, pengadaan itu dibagi ke dalam 28 wilayah dengan catatan: beberapa provinsi bergabung dalam satu paket pengadaan.
Pada 2007, pengadaan itu meliputi 33 ribu unit dengan nilai proyek Rp 253 miliar. Pada tahun berikutnya meningkat menjadi 40 ribu unit dengan nilai yang—sayangnya—belum terlacak. Pada 2009, pengadaan itu meliputi 77 ribu unit dengan nilai Rp 526 miliar. Tahun itu pula permainan patgulipat mulai tercium, dan ternyata melibatkan banyak pelaku. Pada Juni 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Jacobus Purwono, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, sebagai tersangka. Bersama dia, ditersangkakan juga Kosasih, pejabat pembuat komitmen proyek untuk tahun anggaran 2007-2008.
Bak cerita silat, proses tender proyek setrum ini ternyata dijadikan "bancakan" oleh para "pendekar" dari berbagai "perguruan". Sutan Bhatoegana, Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, ditengarai meminta dua perusahaan dimenangkan dalam tender. Dia juga diduga meminta US$ 50 ribu dari panitia tender melalui Jacobus, untuk biaya perjalanan ke luar negeri. Belakangan, ketika satu di antara dua perusahaan unggulannya dikalahkan, dia dikabarkan marah besar—sesuatu yang dengan keras dibantahnya.
Sutan tak sendirian. Menurut pengakuan Ridwan Sanjaya, pejabat pembuat komitmen, sejumlah orang juga kebagian uang yang dikumpulkan dari setoran peserta tender. Penerima meliputi Panitia Kerja Sektor Listrik di Komisi Energi DPR, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan semua anggota Komisi Energi DPR periode 2004-2009. Penelusuran majalah ini menemukan, penentuan pemenang untuk 28 paket tidak berdasarkan kriteria yang ditentukan, tapi lebih ke faktor titipan dari para pejabat.
Pelaku kongkalikong itu ditengarai dari ketua panitia tender sampai pejabat setingkat direktur jenderal, bahkan menteri. Ada pula titipan proyek dari (Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen) Wisnu Subroto dan petinggi "Gedung Bundar" lainnya. Wisnu dan para sejawatnya mendapat jatah proyek sebagai tanda terima kasih karena menghentikan penyidikan korupsi proyek SHS tahun 2007-2008. Masih ada nama para anggota DPR periode 2004-2009, seperti Sonny Keraf, Muhammad Zubair, dan Juslin Nasution.
Bahkan ditengarai pula titipan dari (Komisaris Jenderal) Gories Mere, Kepala Badan Narkotika Nasional. Gories dinilai berjasa karena ketika menjabat Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal pernah menghentikan penyelidikan kasus korupsi audit pembangkit listrik. Proses tender ini bermasalah sejak awal karena ada ketentuan setoran ilegal sepuluh persen dari perusahaan peserta. Berdasarkan catatan yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi, panitia lelang menerima lebih dari Rp 15 miliar dari sekitar 20 perusahaan. Dari periode 2007-2009, total kerugian negara diperkirakan Rp 269 miliar.
Melihat luasnya komposisi pelaku, Komisi Pemberantasan Korupsi dituntut bekerja ekstrakeras membongkar perkara ini. Nilai destruktif persekongkolan ini tidak hanya terletak pada jumlah kerugian material, tapi juga pada kecacatan moral para pelaku. Kalau proyek listrik, kebutuhan dasar yang didambakan rakyat jelata, bisa seenaknya dijarah ramai-ramai, apa lagi yang bisa diharapkan aman dari permainan korupsi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo