Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIKSAAN di kantor polisi sudah terlalu sering terjadi. Itu pula alasan untuk menduga kematian Faisal Akbar, 14 tahun, dan Budri M. Zen, 17 tahun, di tahanan polisi Sijunjung, Sumatera Barat, akhir tahun lalu, sangat tidak wajar. Polisi menyatakan kakak-adik itu tewas gantung diri, sementara keluarga korban mempunyai sejumlah bukti untuk menyatakan keduanya merupakan korban aksi interogasi yang overdosis.
Teori bunuh diri di lokasi dan waktu sama, yang menurut polisi karena keduanya merasa malu, justru membuka kesalahan fatal polisi. Seandainya Faisal Akbar, yang ditangkap massa karena mencuri kotak masjid, babak-belur dihajar orang ramai, polisi seharusnya segera mengirim anak di bawah umur itu ke rumah sakit. Tapi Faisal sempat berada di kantor polisi selama lima hari sebelum diumumkan tewas.
Budri, yang ditangkap karena dianggap terlibat pencurian kendaraan bermotor, juga menginap dua hari di ruang tahanan. Sulit diterima akal sehat bahwa polisi membiarkan keduanya bersama-sama masuk kamar mandi, dan kemudian berbarengan gantung diri. Paling tidak, polisi Sijunjung sudah gagal mengawasi dua tahanan yang sedang diperiksa itu.
Keterangan polisi tentang penghakiman oleh massa juga sangat lemah. Penduduk setempat membantah telah menganiaya Faisal. Anak itu memang ditangkap, tapi segera diserahkan ke wali nagari. Selang dua jam, wali nagari sudah menyerahkan Faisal ke polisi. Bahkan kakaknya, Budri, langsung ditangkap oleh polisi, sehingga polisilah yang sepenuhnya bertanggung jawab tentang memar di sekujur tubuh Budri, giginya yang copot, dan lehernya yang patah.
Polisi jugalah yang mesti menjelaskan jasad Faisal yang masih mengucurkan darah dari hidung, bahkan ketika sosok tanpa nyawa itu sampai di rumah. Juga soal bekas irisan pada kaki Budri, punggung Budri yang lebam, dan rahangnya yang tidak menutup sempurna. Keadaan mayat yang mengenaskan itu menguatkan dugaan bahwa teori gantung diri terasa dipaksakan. Warna wajah korban bunuh diri biasanya lebih biru ketimbang bagian tubuh lain. Itu tidak terlihat pada mayat kakak-adik tadi. Tak juga kelihatan ciri-ciri orang bunuh diri seperti mata membelalak atau setidaknya tidak terpejam penuh dan ujung lidah terjulur sedikit atau tergigit.
Hasil temuan tim dokter independen di Sumatera Barat memperkuat dugaan terjadinya kekerasan dalam pemeriksaan. Bekas luka dan lebam itu merupakan akibat benturan benda tumpul. Maka lebih baik polisi tidak ngotot dengan teori bunuh diri sampai hasil investigasi tim Markas Besar Kepolisian RI selesai. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga diharapkan secepatnya mengumumkan hasil penyelidikannya.
Kepolisian perlu melakukan tindakan koreksi. Paling tidak mesti ada perbaikan dalam prosedur standar penanganan tahanan. Polisi perlu mengembangkan teknik interogasi yang efektif, tanpa melanggar hak asasi manusia. Dalam soal penghormatan terhadap hak asasi manusia itu, polisi memiliki rapor merah. Kesimpulan hasil investigasi pelapor khusus PBB urusan penyiksaan, Manfred Nowak, yang diungkapkan di Jakarta, akhir tahun lalu, menunjukkan hal itu. Nowak, yang mengunjungi lebih dari 25 tempat penahanan di lima provinsi Indonesia pada 2007, menyimpulkan bahwa tahanan lebih rentan mendapat penganiayaan dalam ruang tahanan polisi ketimbang di penjara.
Dengan kinerja belepotan itu, semakin berat beban polisi untuk membuktikan bahwa kakak-adik di Sijunjung itu tewas akibat gantung diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo