Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tersebut Kisah Tiga Konglomerat

Setelah tiga konglomerat ditunda proses hukumnya, lalu semua obligor ditangguhkan perkaranya. Upaya menyiasati kriminalitas yang teramat sia-sia.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI SELA-SELA inkonsistensinya, Presiden Abdurrahman Wahid tiba-tiba tampil konsisten ketika ia berusaha menyelamatkan tiga konglomerat: Marimutu Sinivasan, Prajogo Pangestu, dan Sjamsul Nursalim. Sikap ini diperlihatkan justru ketika para menteri berdaya-upaya agar konglomerat membayar utang BLBI—baik melalui negosiasi, amendemen MSAA, gertak keras, maupun hukuman penjara. Beruntunglah masyarakat Indonesia di Seoul, yang langsung menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Abdurrahman Wahid tampak begitu konsisten dalam menangguhkan proses penuntutan hukum terhadap Marimutu, Prajogo, dan Sjamsul Nursalim.

Setiba di Jakarta, Gus Dur mencoba meluruskan kebijakan itu dengan mengatakan bahwa usul penundaan tersebut dikemukakannya setelah mendengar nasihat para ekonom. Dalih ini sesungguhnya tak diperlukan karena sebelumnya Gus Dur toh sudah mewanti-wanti agar ketiga konglomerat itu jangan diusik. Jelaslah, ada kesinambungan antara kedua pernyataannya, ada konsistensi. Yang jadi soal adalah mengapa Presiden konsisten betul melindungi konglomerat—padahal data BPK membuktikan mereka semuanya melanggar hukum.

Masyarakat cenderung menduga bahwa Gus Dur menyimpan agenda yang walaupun kian bisa ditebak, tetap sulit diungkap. Bisa dipahami mengapa Jaksa Agung Marzuki Darusman lalu bertindak gegabah, dan agaknya berusaha menyamarkan agenda itu dengan menghadiahkan status tersangka kepada Sjamsul Nursalim. Pengusaha yang menerima kucuran BLBI sebanyak Rp 27 triliun itu bukannya cemas, sebaliknya kian percaya diri dan berlagak tak bersalah. Sandiwara getir ini semakin terasa pahit ketika dua hari kemudian Marzuki menetapkan bahwa penangguhan proses hukum tidak hanya berlaku pada tiga konglomerat, tapi juga pada 21 obligor kakap yang sudah menyepakati pembayaran utang kepada BPPN.

Kebijakan Marzuki itu tentu berdampak negatif bagi jalur hukum yang baru akan ditempuh dalam menyiasati obligor yang tidak kooperatif seperti Sjamsul Nursalim itu. Penundaan ala Marzuki telah pula mementahkan upaya Rizal Ramli, yang mencoba mengejar aset tambahan dari hampir semua obligor yang nilai asetnya tak sebanding dengan utangnya. Situasinya terkesan ironis karena di saat Rizal tampak berupaya menyukseskan sebuah terobosan—melalui aset tambahan, personal guarantee, dan terakhir menyerahkan obligor ke kejaksaan—di saat itu pula Jaksa Agung membebaskan mereka dari kewajiban melunasi utang. Dalam hal ini, Marzuki telah "mencuri" peran hakim dengan cara menegakkan hukum tapi mengabaikan keadilan.

Kali ini, sepak terjang Presiden dan Jaksa Agung telah menyiratkan watak kekuasaan yang serba menghalalkan cara. Dan masyarakat yang semakin cerdas tentu bisa menyimpulkan bahwa hambatan ke arah pengembalian uang negara dan pemulihan ekonomi justru terletak pada pengambil keputusan dan mekanisme pengambilan keputusan itu sendiri. Sedangkan dugaan tentang "sebuah agenda" dibantah oleh Marzuki. Ia menegaskan, tidak ada pertimbangan politik dalam penundaan proses hukum atas diri 21 obligor tersebut.

Kalau benar tidak ada pertimbangan politik, ya, bagus sekali. Tapi, di mana pertimbangan untuk memberdayakan hukum, di mana disurukkan etika, dan di mana disembunyikan tanggung jawab untuk memulihkan ekonomi? Bukankah semua obligor yang tidak kooperatif—termasuk tiga orang yang diproteksi Gus Dur—layak diproses secara hukum tanpa ditunda? Dalam kata lain, kasus pelanggaran hukum yang mereka lakukan harus ditangani terpisah dari pengoperasian perusahaannya—yang toh kini dikuasai BPPN. Memang kedengaran mudah kalau sekadar dikatakan. Tapi, bila saja Presiden bersedia, pemisahan person konglomerat dari pengoperasian bisnisnya sehari-hari juga tak terlalu repot untuk dilaksanakan. Yang pasti, upaya ini ditanggung bersih dan halal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus