SEORANG presiden yang salih kagum akan karya seorang penyair
pemabuk.Presiden itu adalah Jimmy Carter. Penyair itu adalah
Dylan Thomas.
Kekaguman itu dimulai di atas sebuah karung pupuk. Di tahun
1954, di bengkel di belakang pabriknya, pengusaha di kota kecil
Plains yang bernama Carter itu duduk di atas karung itu dengan
penuh perhatian.
Sebetulnya ia agak iseng. Tak banyak pembeli datang, dan ia
sendirian, maka ia membaca sebuah kumpulan karya penyair modern.
Tiba-tiba ia tertarik oleh sebuah nama yang sebelumnya tak
pernah ia kenal: Dylan Thomas, 1914-1953.
Carter tak begitu memahami puisinya, tapi sebuah baris memukau
dia: "After the first death there is no other." Setelah kematian
pertama, tak ada lagi yang lain ....
Mulai saat itu, ia ketagihan membaca Dylan Thomas, menelaahnya,
mendiskusikannya. Di tahun 1974, ketika ia sudah jadi Gubernur
di Georgia, ia malah menyelenggarakan beberapa pertemuan di
Gedung Legislatif: sekitar 12 orang Senator ikut mendengarkan
rekaman suara sang penyair yang membacakan puisinya sendiri.
Aneh, memang. Dylan Thomas, penyair Welsh yang sakit-sakitan,
yang dirundung hutang dan alkohol, dan kemudian mati di New York
dalam umur 39 tahun, bukanlah penyair untuk para Senator.
Puisinya bukan puisi politik. Tak juga ada protes sosial. Pada
dasarnya puisinya memukau karena kata-katanya secara simultan
menggetarkan bunyi dan melontarkan kekayaan gambaran, ke dalam
hati--tentang hujan, siput, ombak, lumut dan kebun masa
kecilnya, perasaannya tentang mati, ceritanya tentang anak tanpa
nama dan entah apa lagi. Tak seluruhnya jelas, tak ada yang
tersusun dalam kisah.
"Sukar menghubungkan sajak-sajak Dylan Thomas dengan
pemerintahan praktis," kata Presiden Carter kepada penyair
Harvey Shapiro, editor dari The New York Times Book Review yang
menemuinya di Gedung Putih, 15 Mei 1977 jam 9.15 pagi.
Tentu saja. Dan Carter duduk santai di kursi malasnya. Kardigan
abu-abunya tak terkancing, di belakangnya jendela yang terbuka
ke arah Kebun Mawar. Ia nampaknya senang akan nada suara yang
terpantul di ruang itu, terutama ketika ia membaca kembali, dari
ingatannya, satu baris Dylan Thomas yang lain: Handshave no
tears to flow.... Tangan tak punya airmata yang akan mengalir
....
Apa arti baris itu baginya? Apa pula arti kata-kata sang penyair
yang dikutipnya di kata pengantar otobiografinya?
Great is the hand that holds dominion over Man by a scribled
name "Bagi saya, itu berarti bahwa seorang kuat dengan daya
terobos yang kokoh terhadap sebuah bangsa .... dapat bersifat
tak sensitif (kepada perasaan orang lain)," kata Carter.
"Terpisahnya kekuasaan dari rakyat," katanya pula, "kadang tak
diketahui oleh para pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka,
yang memang sudah terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya
merupakan peringatan bagi kita .... " Handshave no tears to
flow.
Dylan Thomas tentu saja tidak mengajari Carter tentang moral dan
bahayanya kekuasaan. Puisi yang terbagus tidak memberi petunjuk.
Puisi yang terbagus hanya menghidupkan potensi yang baik dalam
diri seseorang, pada saat ia tersintuh membacanya: potensi untuk
bisa merasakan keindahan belibis terbang dan kata-kata berdesis,
potensi untuk bisa merasakan kesuraman sel yang pengap, atau
sunyinya malam setelah seorang anak menghilan tiba-tiba.
Mungkin salah satu potensi baik dalam Carter adalah
kecenderungannya bertanya tentang keadilan. Bukankah ia juga
mengutip ahli theologi Kristen Reinhold Niebuhr, bahwa "tugas
sedih politik ialah harus membangun keadilan di dunia yang penuh
dosa"? Setelah ia jadi orang berkuasa ia pun tetap berani
berkata: "Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan
demokrasi mungkin kapasitas manusia untuk sewenang-wenang
menyebabkan demokrasi perlu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini