Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Si Oom Muncul Lagi

7 koran ibukota yang dilarang terbit, telah terbit kembali. para pimpinan koran, membuat janji tertulis pada kopkamtib, sanggup bertanggung jawab memelihara stabilitas, keamanan & ketertiban nasional.(nas)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OOM Pasikom muncul kembali dengan ucapan: "Selamat pagi . . . " Tokoh karikatur itu, tak seperti biasa, kali ini dipasang besar di halaman pertama harian Kompas 6 Pebruari, setelah koran yang beroplah di atas 250 ribu itu terputus dari pembacanya selama 13 hari. Hari itu Kompas turun dengan tajuk: lawas liri--dengan iklan yang lumayan banyaknya. Di hari yang sama, koran Merdeka punya BM Diah juga beredar lagi, dengan tulisan panjang untuk pembacanya oleh Pemimpin Redaksi Tribuana Said. Beberapa hari sebelumnya, Pemimpin Umum B.M. Diah seakan merasa putus asa, hingga sempat membagikan edaran kepada para wartawan dan karyawan Merdeka, menasehatkan agar mereka mencoba mengadu nasib di tempat lain. Tapi syukurlah hal yang menyedihkan itu tak sampai perlu terjadi. Secara bergiliran, dua-dua, Panglima Kopkamtib dengan surat keputusan yang ditandatangani Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo telah mengizinkan terbitnya kembali 6 koran yang dilarang terbit sementara. Mula-mula Pelita dan Pos Sore, lalu Sinar Harapan dan The Indonesian Times, terakhir Merdeka dan Kompas. Dengan begitu, dari 7 koran itu, hanya Sinar Pagi yang belum kelihatan. Apa sebabnya? "Kita memang mengharapkan agar tidak ada suratkabar yang 'nyangkut'", kata Direktur Bina Wartawan Deppen, Oemar Khatab. Tapi kepada TEMPO pekan lalu, Direktur Khatab menjelaskan, andaikata sampai ada yang 'nyangkut', itu pun karena pertimbangan lain yang tidak ada hubungannya dengan politik. Seperti apa misalnya? "Mungkin seperti pornografi, administratif ataupun pemerasan," jawabnya. Lebih jelas lagi keterangan dari Ka Puspen Hankam Brigjen Daryono. "Siar Pagi masih belum bisa diijinkan terbit kembali," katanya. Ketika ditanya apa yang menjadi pengganjel, Daryono balik bertanya: "Apa kita menginginkan koran seperti itu terbit?" Dilarang terbitnya Sinar Pagi, bersama dengan 6 harian itu, seperti dinyatakan Kas Kopkamtib Sudomo "dilakukan untuk memelihara ketenteraman umum dan menghindarkan tersebarnya berita-berita yang menyesatkan masyarakat" (TEMPO, 28 Januari). Tapi agaknya ada "pertimbangan lain" seperti dikatakan Khatab, mengapa koran itu belum juga boleh terbit. Tapi perkembangan memang bisa berjalan lebih cepat diari dugaan orang. Senin siang kemarin, Charly T. Siahaan pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian itu, rupanya dipanggil menghadap Kopkamtib. Keluar dari kantornya Sudomo, Charly yang beraillbut gondrong dan berkumis lebat tak lagi merasa dag-dig-dug. Suaranya pun mulai nyaring lagi ketika TEMPO meneleponnya. "Koran saya boleh terbit lagi, larangan dicabut sejak hari ini," katanya. Dia rupanya mendapat pesan khusus dari Kas Kopkamtib Sudomo, "agar menjaga nama baik dunia pers kita," kata Brigjen Daryono. Charly, yang mungkin masih capek ikut gerak jalan PWI ternyata tak segera menerbitkan korannya. "Kami rencanakan terbit Rabu saja," katanya. Alhasil, kepada 7 koran yang sudah kembali beredar itu juga disertai semacam janji tertulis. Itu rupanya merupakan hasil negosiasi antara Kopkamtib dengan pimpinan koran bersangkutan, yang diwakili oleh Ketua Umum PWI Pusat Harmoko. Dalam suratnya yang dibuat oleh masing-masing koran itu antara lain disebutkan: sanggup bertanggungjawab memelihara stabilitas nasional, keamanan dan ketertiban, kepentingan umum dan ikut meredakan ketegangan dalam masyarakat. Selain hal-hal yang bersifat umum itu, juga disetujui untuk "menjaga nama baik dan kewibawaan pemerintah serta Pimpinan Nasional, dan tidak melakukan fitnah dan lain-lain bentuk penghinaan yang ditujukan kepada Pimpinan Nasional serta anggota keluarganya." Mereka juga menyatakan sanggup melakukan "introspeksi, koreksi dan perbaikan-perbaikan ke dalam." Selain itu, juga dianjurkan oleh Kopkamtib untuk tidak mengutip berita yang disiarkan oleh radio luar negeri. Bagi Harmoko, yang juga memimpin Pos Sore yang di akhir pekan lalu terbit tanpa tajuk dan pojok--perbaikan ke dalam itu juga berarti "menggeser wartawan-wartawan yang saya anggap tak bisa menulis, ke pos lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus