OOM Pasikom muncul kembali dengan ucapan: "Selamat pagi . . . "
Tokoh karikatur itu, tak seperti biasa, kali ini dipasang besar
di halaman pertama harian Kompas 6 Pebruari, setelah koran yang
beroplah di atas 250 ribu itu terputus dari pembacanya selama 13
hari. Hari itu Kompas turun dengan tajuk: lawas liri--dengan
iklan yang lumayan banyaknya.
Di hari yang sama, koran Merdeka punya BM Diah juga beredar
lagi, dengan tulisan panjang untuk pembacanya oleh Pemimpin
Redaksi Tribuana Said. Beberapa hari sebelumnya, Pemimpin Umum
B.M. Diah seakan merasa putus asa, hingga sempat membagikan
edaran kepada para wartawan dan karyawan Merdeka, menasehatkan
agar mereka mencoba mengadu nasib di tempat lain.
Tapi syukurlah hal yang menyedihkan itu tak sampai perlu
terjadi. Secara bergiliran, dua-dua, Panglima Kopkamtib dengan
surat keputusan yang ditandatangani Kas Kopkamtib Laksamana
Sudomo telah mengizinkan terbitnya kembali 6 koran yang dilarang
terbit sementara. Mula-mula Pelita dan Pos Sore, lalu Sinar
Harapan dan The Indonesian Times, terakhir Merdeka dan Kompas.
Dengan begitu, dari 7 koran itu, hanya Sinar Pagi yang belum
kelihatan. Apa sebabnya?
"Kita memang mengharapkan agar tidak ada suratkabar yang
'nyangkut'", kata Direktur Bina Wartawan Deppen, Oemar Khatab.
Tapi kepada TEMPO pekan lalu, Direktur Khatab menjelaskan,
andaikata sampai ada yang 'nyangkut', itu pun karena
pertimbangan lain yang tidak ada hubungannya dengan politik.
Seperti apa misalnya? "Mungkin seperti pornografi, administratif
ataupun pemerasan," jawabnya.
Lebih jelas lagi keterangan dari Ka Puspen Hankam Brigjen
Daryono. "Siar Pagi masih belum bisa diijinkan terbit kembali,"
katanya. Ketika ditanya apa yang menjadi pengganjel, Daryono
balik bertanya: "Apa kita menginginkan koran seperti itu
terbit?"
Dilarang terbitnya Sinar Pagi, bersama dengan 6 harian itu,
seperti dinyatakan Kas Kopkamtib Sudomo "dilakukan untuk
memelihara ketenteraman umum dan menghindarkan tersebarnya
berita-berita yang menyesatkan masyarakat" (TEMPO, 28 Januari).
Tapi agaknya ada "pertimbangan lain" seperti dikatakan Khatab,
mengapa koran itu belum juga boleh terbit.
Tapi perkembangan memang bisa berjalan lebih cepat diari dugaan
orang.
Senin siang kemarin, Charly T. Siahaan pemimpin umum dan
pemimpin redaksi harian itu, rupanya dipanggil menghadap
Kopkamtib. Keluar dari kantornya Sudomo, Charly yang beraillbut
gondrong dan berkumis lebat tak lagi merasa dag-dig-dug.
Suaranya pun mulai nyaring lagi ketika TEMPO meneleponnya.
"Koran saya boleh terbit lagi, larangan dicabut sejak hari ini,"
katanya. Dia rupanya mendapat pesan khusus dari Kas Kopkamtib
Sudomo, "agar menjaga nama baik dunia pers kita," kata Brigjen
Daryono. Charly, yang mungkin masih capek ikut gerak jalan PWI
ternyata tak segera menerbitkan korannya. "Kami rencanakan
terbit Rabu saja," katanya.
Alhasil, kepada 7 koran yang sudah kembali beredar itu juga
disertai semacam janji tertulis. Itu rupanya merupakan hasil
negosiasi antara Kopkamtib dengan pimpinan koran bersangkutan,
yang diwakili oleh Ketua Umum PWI Pusat Harmoko. Dalam suratnya
yang dibuat oleh masing-masing koran itu antara lain disebutkan:
sanggup bertanggungjawab memelihara stabilitas nasional,
keamanan dan ketertiban, kepentingan umum dan ikut meredakan
ketegangan dalam masyarakat.
Selain hal-hal yang bersifat umum itu, juga disetujui untuk
"menjaga nama baik dan kewibawaan pemerintah serta Pimpinan
Nasional, dan tidak melakukan fitnah dan lain-lain bentuk
penghinaan yang ditujukan kepada Pimpinan Nasional serta anggota
keluarganya." Mereka juga menyatakan sanggup melakukan
"introspeksi, koreksi dan perbaikan-perbaikan ke dalam." Selain
itu, juga dianjurkan oleh Kopkamtib untuk tidak mengutip berita
yang disiarkan oleh radio luar negeri.
Bagi Harmoko, yang juga memimpin Pos Sore yang di akhir pekan
lalu terbit tanpa tajuk dan pojok--perbaikan ke dalam itu juga
berarti "menggeser wartawan-wartawan yang saya anggap tak bisa
menulis, ke pos lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini