Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Terlambat Itu Baik, Kadang-kadang

Dengan sejenak menjadi penonton, kita lebih arif karena punya jarak dengan pertandingan. Pelan-pelan membuat manusia jadi lebih baik.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Edi RM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Revolusi teknologi membuat dunia bergerak begitu cepat.

  • Perkembangan yang cepat membuat kebenaran juga berubah dengan segera karena informasi diperbarui dari waktu-ke-waktu.

  • Menyingkir sejenak, eksit dari pertandingan, pelan-pelan malah bisa melihat dunia lebih jernih.

TERLAMBAT itu baik, terutama ketika hal-ihwal di sekeliling kita bergerak sangat cepat. Revolusi teknologi membuat hidup manusia jadi ringkas, efektif, dan efisien. Problem sampah, juga mungkin kelak kemiskinan dan kebahagiaan, bisa diselesaikan dengan sebuah aplikasi semacam ChatGPT.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya ingat cerita Thomas L. Friedman, kolumnis The New York Times, ketika menunggu temannya di sebuah kafe. Teman itu terlambat karena lalu lintas jalan macet. Dalam masa menunggu itu, Friedman memikirkan apa yang terjadi seandainya mesin memprogram janji jumpa mereka. Apakah teman itu akan terlambat juga? Apakah lalu lintas bisa dirapikan dengan bantuan teknologi canggih?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Friedman meriset sejarah perkembangan teknologi, mewawancarai ratusan konsultan, para penemu, hingga CEO perusahaan-perusahaan besar yang menginvasi pasar berkat kecanggihan teknologi. Hasilnya, buku setebal 640 halaman yang diberi judul Thank You for Being Late.

Seandainya si teman tepat waktu, karena mesin dan robot memudahkan perjalanannya, Friedman tak akan punya waktu memikirkan kedigdayaan superkomputer. Jika teman itu tepat waktu, tentu ia tak akan bisa menulis buku yang merangkum sejarah kompleks pencapaian manusia dan teknologi dalam waktu singkat dan perubahan-perubahan yang ditimbulkannya.

Terlambat itu jadi baik, dalam hal Thomas Friedman. Ia jadi punya waktu merenungkan hal-ihwal yang terjadi di sekelilingnya. Maka ia menganjurkan kita agar berani terlambat, eksit dari pertarungan, agar kita bisa menata kembali ladang-ladang yang terpengaruh oleh percepatan teknologi itu: politik, komunitas, cara kerja manusia, hingga urusan geopolitik. Biasanya, dengan sejenak menjadi penonton, kita bisa lebih arif karena kita punya jarak dengan pertandingan.

Friedman menulis satu bab besar tentang Akselerasi hidup manusia akibat teknologi yang berkembang pesat, dimulai dari penemuan cip mikro yang mendasari lahirnya superkomputer. Friedman menyebutnya mesin “supernova” yang mengacu pada perkembangan teknologi yang dipengaruhi Hukum Moore (dari Gordon Moore, pendiri Intel). Pada 1965, Moore meramal kecepatan kinerja cip akan bertambah dua kali lipat tiap 18 bulan.

Ramalan itu terbukti kini, dengan kehadiran peranti lunak, komputer yang mengecil, teknologi sensor, penyimpanan digital, hingga interaksi manusia lewat jejaring Internet. Sejak itu hidup manusia tak lagi sama. Alam semesta berubah, juga interaksi dalam “pasar” karena teknologi algoritma dan big data. Apa-apa serba cepat dan presisi karena mesin mengetahui apa yang dipikirkan manusia lewat kecenderungan perilaku. Tapi, dari yang serba cepat itu, Friedman justru tertolong oleh hal-hal yang tak dikendalikan mesin, yakni keterbatasan manusia.

Manusia, makhluk yang rudin dan berdosa ini, menjadi antitesis mesin yang tak bisa keliru. Pikiran manusia pula, agaknya, yang bisa menyelamatkan kita dari terkubur tsunami informasi yang menginvasi dunia maya. Seorang teknokrat Google mengatakan informasi kredibel dan palsu bergerak sama cepatnya menemukan pembaca, dengan bantuan algoritma, mesin pencari, dan media sosial yang kini menjadi santapan utama pemakai Internet.

Mesin algoritma yang membaca informasi yang kita suka akan mengarahkan berita-berita tersebut ke halaman akun media sosial kita. Maka apa yang kita konsumsi, apa yang kita cerna dan percaya, bergantung pada apa yang kita suka belaka. Facebook dan Instagram menyaring berita karena kita pernah memberikan “like” pada sebuah tautan yang dilempar oleh teman di lini masa. Interaksi kita dengan orang lain menjadi modal robot algoritma membaca pikiran manusia di dunia maya.

Ketika media massa berlomba menjadi yang pertama tahu dan buru-buru menyajikannya kepada kita, informasi acap tersaji sepotong. Jika kita hanya percaya kepada berita pertama tentang sebuah perkara, kita sungguh celaka karena informasi yang kita dapat itu belum tentu benar adanya. Perkembangan yang cepat membuat kebenaran juga berubah dengan segera karena informasi diperbarui dari waktu-ke-waktu.

Maka terlambat dan pelan-pelan itu baik. Dengan menarik jarak pada peristiwa, para wartawan bisa kembali ke pisau verifikasi agar informasi yang mereka bangun tak sampai ke khalayak hanya satu versi. Pelan-pelan akan terbuka peluang bagi para wartawan menemukan dan melihat fakta dengan lebih jernih untuk mendekati kebenaran sesungguhnya. Namun tak gesit memverifikasi informasi yang berseliweran juga akan membuat berita menjadi liar.

Di India, seorang pemuda mati dikeroyok. Para pengeroyok termakan sebuah video yang diedit entah oleh siapa dari sebuah iklan yang mengkampanyekan agar masyarakat waspada terhadap maraknya penculikan anak. Jurnalisme gagal mendudukkan informasi yang berkembang di masyarakat akibat para wartawan tak cukup cepat memverifikasinya.

Dilema datang—meski hal itu agaknya telah jadi ciri abad modern. Kita menghadapi pertentangan-pertentangan etis yang tak mudah karena dunia makin abu-abu. Di tengah arus deras informasi, ketergesaan akibat waktu yang terasa memendek, terlambat dan pelan-pelan mungkin membuat manusia jadi lebih baik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Jakarta Jurnalis Award dan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita. Sejak 2023 menjabat wakil pemimpin redaksi

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus