"Aku merasa mati pada umur tiga puluh empat."
SEORANG pemuda radikal terkemuka menuliskan kata-kata itu di
Amerika. Rambutnya tak lagi gondrong. Kumis dan cambangnya
bersih. Bukunya berjudul Grouing (Up) At 37.
Ia Jerry Rubin, tokoh gerakan anti perang Vietnam di tahun
1960-an. Ia lahir di tahun 1938. Ayahnya seorang sopir truk yang
agak tersia-sia oleh para ipar. Lelaki yang tak lulus sekolah
menengah atas itu mengawini gadis terpelajar dari keluarga yang
lebih kaya. Dari perkawinan itu lahir Jerry -- yang merasakan
perbedaan kelas dengan rasa iri diam-diam.
Namun yang pertama-tama menggerakkan protesnya ialah Pepsi. Babu
Negro ini dijuluki demikian saking gemarnya minum Pepsi-Cola. Si
Pepsi datang tiap hari merawat Jerry dan adiknya Gil, ketika ibu
mereka menderita kanker. Bayarannya kecil. Tapi Pepsi selalu
senyum, mencintai anak-anak itu, dan akhirnya menyadarkan Jerry
akan sesuatu. Yakni bahwa ada yang tak beres dengan masyarakat
tempat ia hidup - masyarakat yang mengajar anak-anak berkulit
hitam jadi babu.
Di tahun 1964 Jerry berangkat ke Kuba. Di negeri revolusioner
itu dia ketemu Che Guevara. Pejuang revolusi Amerika Latin itu
memikat hatinya. Jerry pulang ke Amerika dengan tekad seorang
aktivis. Ia pun meninggalkan kuliah. Ia mencurahkan seluruh
waktunya untuk "pergerakan". Ia menjenguk Partai Pemuda
Internasional, Youth International Party yang lebih dikenal
sebagai yippie.
Klimaks gerakan protes mereka terjadi dalam demonstrasi besar
yang termashur di Chicago tahun 1968. Namanya kian harum justru
ketika ia diadili bersama enam mahasiswa dan pemuda lain yang
dijuluki sebagai "Chicago 7".
Ia dihukum, tapi proses keadilan yang panjang akhirnya
menyebabkan ia cuma harus menjalani tinggal di kurungan beberapa
bulan. Ketika ia menulis buku Do It! sebuah petunjuk kaum
anarkis, dan laku keras, ternyatalah: Jerry Rubin memang
terkenal.
Tapi kemashuran itu adalah juga pembeku. "Masalah yang timbul
dengan kemashuran ialah kita jadi beku di dalam satu kerangka,"
tulis Rubin. "Seorang yang termashur harus mau menukar kehidupan
pribadinya dengan terpeliharanya gambaran dirinya menurut
publik. Ia menghabiskan waktunya berjam-jam mencemaskan
image-nya sendiri."
Image Jerry Rubin adalah seorang pemberontak, seorang radikal,
mercusuar pergerakan anak-anak muda, seorang pahlawan. Tapi
keluhnya: "Kian sukar jadi seorang hero. Orang mengharapkan saya
lebih dari manusia biasa. Saya telah jadi lambang bagi beribu
anak-anak muda, satu hal yang menyenangkan saya, tapi juga makin
lama makin meresahkan." Apalagi Jerry makin tua: di tahun 1972
umurnya 34.
Ia toh masih datang ke kota Miani, tempat diselenggarakannya
Konvensi Partai Republik dan juga Partai Demokrat. Di tahun
1968, selama Konvensi Partai Demokrat di Chicago, Jerry berhasil
bikin kegaduhan besar. Di tahun 1972 itu ia agaknya masih ingin
menggertak lagi dan jadi pusat perhatian.
Tapi di Miami dia tinggal di hotel, bukan tidur di petamanan
kota bersama para "pejoang". Maka pada ulangtahunnya yang ke-34
persis, anak-anak radikal yang lebih muda pun datang ke hotelnya
-- bersenjatakan kue yang akan mereka lemparkan ke muka Jerry.
Itulah tanda pensiunnya dari pergerakan. Bukankah ia sendiri
pernah menyerukan doktrin "Jangan percaya kepada siapapun yang
berumur di atas 30!"?
"Aku merasa mati pada umur tigapuluh empat," tulis Jerry Rubin.
Ia kemudian menempuh jalannya sendiri. Jerry teringat pengakuan
seorang kawan seperjuangannya "Akhirnya aku menerima kenyataan
bahwa aku tak akan pernah jadi Che." Tapi tidakkah ia
berkhianat?
Tak semua memang orang bisa jadi pahlawan. Juga tak semua
pahlawan di maksudkan untuk jadi pahlawan terus menerus.
Untunglah: sejarah terdiri dari pelbagai estafet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini