Bulan yang lalu Saudara Soetjipto mengakhiri tugasnya sebagai
Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI
Jakarta setelah lebih dari lima tahun memegangjabatan tersebut.
Berikut ini ia tuliskan catatan lepas tugasnya secara ringkas,
tetapi mencakup permasalahan pokok Jakarta.
Teori I
MENGUNGKAPKAN masalah Jakarta, dapat juga beranjak dari
analogi. Ambillah hukum Boyle sebagai pembanding. DKI Jakarta,
ibarat suatu ruang yang sudah tertentu volumenya. Bila isi ruang
itu terus ditambah, tekanan pada ruang itu akan bertambah besar
pula, sebanding dengan tambahnya isi.
Tetapi Jakarta bukan hanya ruang (space) dengan satu, dua atau
tiga dimensi saja. Jakarta sungguh suatu ruang yang berdimensi
banyak. Dari satu sudut, ia bisa dilihat sebagai ruang yang
terdiri dari dimensi fisik, kependudukan, lingkungan hidup,
pemerintahan, kekuasaan, politik, sosial, ekonomi dan
sebagainya. Dari kacamata pengelolaannya, ia terdiri dari
dimensi unsur-unsur manajemen kota.
Sebagai analogi turunan, juga dalam ruang yang berdimensi banyak
itu, tambahnya dan berkembangnya isi pada tiap dimensi akan
diikuti dengan tambah dan tumbuhnya tekanan pada masing-masing
dimensi itu.
Secara teori "volume" tiap dimensi itu dapat dianggap sudah
tertentu besarnya. Misalnya, dirnensi fisik ditentukan oleh batas
administrasinya yang cuma 600 KmÿFD itu. Dimensi administrasi
pemerintahan, sudah ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan
yang telah ada dan seterusnya.
Namun isi pada tiap dimensi itu dapat bertambah dan berkembang
terus. Penduduk dan permukiman bertambah terus, mengisi ruang
fisik yang terbatas tersebut.
Dari analogi di atas, dapatlah diturunkan salah satu teori
pertama pengelolaan Jakarta, yang berbunyi sebagai berikut:
"Mengelola Jakarta adalah ilmu dan seni mengendalikan, menguasai
dan mengatur berbagai tekanan pada segala dimensi pengelolaan."
(The management of Jakarta is the management of pressures).
Teori II
Tekanan itu -- beranalogi dengan ilmu alam lagi -- akan
dipancarkan ke segala arah dengan kekuatan yang sama. Sebagai
akibatnya, daya tahan (ruang, atau space) DKI Jakarta ditentukan
oleh sisi yang paling lemah. Bak kekuatan rantai, ia ditentukan
oleh mata rantai yang paling lemah.
Maka sampailah kita kepada Teori kedua, yaitu bahwa "Daya tahan
Pemerintahan DKI Jakarta sesungguhnya satna dengan daya tahan
dimensi terlemah dari pengelolaannya."
Teori ini mempertegas, bahwa doktrin pemerintahan yang
menitik-beratkan hanya pada satu atau beberapa aspek pengelolaan
saja bisa terkecoh. Sebab justru aspek yang terlemah, yang
kurang memperoleh perhatian atau diabaikan itulah yang akan
menentukan ketangguhan pengelolaan Jakarta.
Lemahnya dimensi tertentu dari pengelolaan dapat disebabkan
karena sikap "mengabaikan" terhadap aspek itu atau memang telah
terbawa oleh iklim pemerintahan serta gaya kepemimpinan pemegang
kendali pemerintahan kota.
Cobalah kita merenung sejenak, manakah dimensi pengelolaan yang
kita nilai lemah di Jakarta: perencanaannyakah? Atau pemilihan,
penempatan dan penugasan stafnya? Kokohkah pengarahan
(directing) dari pimpinannya?
Bila anda menemukan sisi yang terlemah dari rentetan pertanyaan
itu, maka di situlah kekuatan tekanan atau pressure dapat
merobek administrasi pemerintahan DKI Jakarta. Bila ada di
antara dimensi itu yang diabaikan atau kurang mencerminkan
ketahanan, di situlah akan terkuak ketangguhan pengelolaan
Jakarta.
Teori III
Jakarta dapat pula dilihat sebagai ruang yang memuat dua sistim.
Sistim nilai modern dan sistim nilai tradisional. Sistim ekonomi
formal, dan sistim ekonomi informal.
Bila dua sistim yang berbeda intensitas dan kompleksitasnya itu
berjalan berdampingan dan harus berkaitan satu sama lain, apa
yang terjadi? Untuk ini dipakai analogi dengan hukum thermo
dinamika kedua. Meminjam penjabaran dari Prof. Otto Sumarwoto,
dapat dirumuskan bahwa: bila dua sistim yang tidak sebanding
dikaitkan, sistim yang lemah akan dieksploitir oleh sistim yang
lebih kuat.
Bila ukuran baku yang digunakan ialah nilai kwantitatif rupiah
dan kompleksitas sistimnya, tentulah sektor formal selalu lebih
unggul dari sektor informal. Bila kedua sistim ini berdampingan
dan berkaitan, sektor informallah yang dieksploitir oleh sektor
formal.
Contoh: Bila sektor formal membuat bangunan besar, upah kuli
bangunan amat rendah dibanding dengan struktur ongkos secara
keseluruhan -- itupun tanpa jaminan dan ikatan kerja yang
semestinya. Karena itu si kuli bangunan hanya mampu beli makanan
di kaki lima dengan kemampuan yang amat rendah. Untung si tukang
nasi di pinggir jalan itu pun amat marginal dan seterusnya.
Karena itu, teori ketiga berbunyi: "Di Jakarta, selama sektor
informal berdampingan dan berkaitan dengan sektor Jormal, sektor
modern berdampingan dan berkaitan dengan sektor tradisional,
maka akan selalu terdapat kecenderungan bahwa yang tersebut
pertama tereksploitir oleh yang tersebut kedua. "
Renungan
Teori-teori di atas hanyalah merupakan penyederhanaan dari
kerangka berfikir mantis, tentang masalah yang dihadapi Jakarta.
Sesungguhnya, kehidupan dan pengelolaan Jakarta merupakan
sistinl yang amat kompIeks dan bersifat serba mungkin
(probabilistik). Tidaklah pantas untuk berharap dapat
ditunjukkan teori atau cara yang bisa menerangkan secara tuntas
semua aspek dari suatu sistim semacam itu.
Itulah sebabnya saya sering terpukau oleh perjuangan teman-teman
perencana kota. Variabel atau besaran yang mereka kuasai begitu
terbatas, namun toh bergulat ingin menaklukkan perilaku
perkembangan Jakarta yang amat kompleks itu dengan secercah peta
rencana.
Jakarta, sebagai sistim yang amat kompleks dan serba mungkin
itu, toh akan tumbuh sesuai dengan kekuatan obyektif yang
menggerakkannya. Tidak semua kekuatan itu dikenali dan dikuasai
perencana. Karena itu, secara pragmatis dapat saja pertumbuhan
itu tidak sesuai dengan peta rencana atau kerangka fikir
seseorang atau sekelompok perencana.
Bila demikian halnya, tidaklah usaha berarti itu merupakan
kesalahan siapa-siapa. Melainkan rnerupakan kegagalan kita untuk
merangkum (comprehend) semua kekuatan obyektif itu, dalarn
mengartikulir rencana-rencana.
Barangkali memang tetap ada gunanya setiap kali semua unsur
pengelola kota berbincang tentang duduk persoalan setiap aspek
pembangunan dan perkembangan kota Jakarta. Untuk itulah dibentuk
Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini