Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tiga Teori Tentang Jakarta

Kehidupan dan pengelolaan Jakarta merupakan sistem yang kompleks dan serba mungkin. Dibentuklah pusat penelitian masalah perkotaan dan lingkungan DKI Jakarta, unsur pengelola kota.

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Tiga Teori Tentang Jakarta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Bulan yang lalu Saudara Soetjipto mengakhiri tugasnya sebagai Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta setelah lebih dari lima tahun memegangjabatan tersebut. Berikut ini ia tuliskan catatan lepas tugasnya secara ringkas, tetapi mencakup permasalahan pokok Jakarta. Teori I MENGUNGKAPKAN masalah Jakarta, dapat juga beranjak dari analogi. Ambillah hukum Boyle sebagai pembanding. DKI Jakarta, ibarat suatu ruang yang sudah tertentu volumenya. Bila isi ruang itu terus ditambah, tekanan pada ruang itu akan bertambah besar pula, sebanding dengan tambahnya isi. Tetapi Jakarta bukan hanya ruang (space) dengan satu, dua atau tiga dimensi saja. Jakarta sungguh suatu ruang yang berdimensi banyak. Dari satu sudut, ia bisa dilihat sebagai ruang yang terdiri dari dimensi fisik, kependudukan, lingkungan hidup, pemerintahan, kekuasaan, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Dari kacamata pengelolaannya, ia terdiri dari dimensi unsur-unsur manajemen kota. Sebagai analogi turunan, juga dalam ruang yang berdimensi banyak itu, tambahnya dan berkembangnya isi pada tiap dimensi akan diikuti dengan tambah dan tumbuhnya tekanan pada masing-masing dimensi itu. Secara teori "volume" tiap dimensi itu dapat dianggap sudah tertentu besarnya. Misalnya, dirnensi fisik ditentukan oleh batas administrasinya yang cuma 600 KmÿFD itu. Dimensi administrasi pemerintahan, sudah ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang telah ada dan seterusnya. Namun isi pada tiap dimensi itu dapat bertambah dan berkembang terus. Penduduk dan permukiman bertambah terus, mengisi ruang fisik yang terbatas tersebut. Dari analogi di atas, dapatlah diturunkan salah satu teori pertama pengelolaan Jakarta, yang berbunyi sebagai berikut: "Mengelola Jakarta adalah ilmu dan seni mengendalikan, menguasai dan mengatur berbagai tekanan pada segala dimensi pengelolaan." (The management of Jakarta is the management of pressures). Teori II Tekanan itu -- beranalogi dengan ilmu alam lagi -- akan dipancarkan ke segala arah dengan kekuatan yang sama. Sebagai akibatnya, daya tahan (ruang, atau space) DKI Jakarta ditentukan oleh sisi yang paling lemah. Bak kekuatan rantai, ia ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah. Maka sampailah kita kepada Teori kedua, yaitu bahwa "Daya tahan Pemerintahan DKI Jakarta sesungguhnya satna dengan daya tahan dimensi terlemah dari pengelolaannya." Teori ini mempertegas, bahwa doktrin pemerintahan yang menitik-beratkan hanya pada satu atau beberapa aspek pengelolaan saja bisa terkecoh. Sebab justru aspek yang terlemah, yang kurang memperoleh perhatian atau diabaikan itulah yang akan menentukan ketangguhan pengelolaan Jakarta. Lemahnya dimensi tertentu dari pengelolaan dapat disebabkan karena sikap "mengabaikan" terhadap aspek itu atau memang telah terbawa oleh iklim pemerintahan serta gaya kepemimpinan pemegang kendali pemerintahan kota. Cobalah kita merenung sejenak, manakah dimensi pengelolaan yang kita nilai lemah di Jakarta: perencanaannyakah? Atau pemilihan, penempatan dan penugasan stafnya? Kokohkah pengarahan (directing) dari pimpinannya? Bila anda menemukan sisi yang terlemah dari rentetan pertanyaan itu, maka di situlah kekuatan tekanan atau pressure dapat merobek administrasi pemerintahan DKI Jakarta. Bila ada di antara dimensi itu yang diabaikan atau kurang mencerminkan ketahanan, di situlah akan terkuak ketangguhan pengelolaan Jakarta. Teori III Jakarta dapat pula dilihat sebagai ruang yang memuat dua sistim. Sistim nilai modern dan sistim nilai tradisional. Sistim ekonomi formal, dan sistim ekonomi informal. Bila dua sistim yang berbeda intensitas dan kompleksitasnya itu berjalan berdampingan dan harus berkaitan satu sama lain, apa yang terjadi? Untuk ini dipakai analogi dengan hukum thermo dinamika kedua. Meminjam penjabaran dari Prof. Otto Sumarwoto, dapat dirumuskan bahwa: bila dua sistim yang tidak sebanding dikaitkan, sistim yang lemah akan dieksploitir oleh sistim yang lebih kuat. Bila ukuran baku yang digunakan ialah nilai kwantitatif rupiah dan kompleksitas sistimnya, tentulah sektor formal selalu lebih unggul dari sektor informal. Bila kedua sistim ini berdampingan dan berkaitan, sektor informallah yang dieksploitir oleh sektor formal. Contoh: Bila sektor formal membuat bangunan besar, upah kuli bangunan amat rendah dibanding dengan struktur ongkos secara keseluruhan -- itupun tanpa jaminan dan ikatan kerja yang semestinya. Karena itu si kuli bangunan hanya mampu beli makanan di kaki lima dengan kemampuan yang amat rendah. Untung si tukang nasi di pinggir jalan itu pun amat marginal dan seterusnya. Karena itu, teori ketiga berbunyi: "Di Jakarta, selama sektor informal berdampingan dan berkaitan dengan sektor Jormal, sektor modern berdampingan dan berkaitan dengan sektor tradisional, maka akan selalu terdapat kecenderungan bahwa yang tersebut pertama tereksploitir oleh yang tersebut kedua. " Renungan Teori-teori di atas hanyalah merupakan penyederhanaan dari kerangka berfikir mantis, tentang masalah yang dihadapi Jakarta. Sesungguhnya, kehidupan dan pengelolaan Jakarta merupakan sistinl yang amat kompIeks dan bersifat serba mungkin (probabilistik). Tidaklah pantas untuk berharap dapat ditunjukkan teori atau cara yang bisa menerangkan secara tuntas semua aspek dari suatu sistim semacam itu. Itulah sebabnya saya sering terpukau oleh perjuangan teman-teman perencana kota. Variabel atau besaran yang mereka kuasai begitu terbatas, namun toh bergulat ingin menaklukkan perilaku perkembangan Jakarta yang amat kompleks itu dengan secercah peta rencana. Jakarta, sebagai sistim yang amat kompleks dan serba mungkin itu, toh akan tumbuh sesuai dengan kekuatan obyektif yang menggerakkannya. Tidak semua kekuatan itu dikenali dan dikuasai perencana. Karena itu, secara pragmatis dapat saja pertumbuhan itu tidak sesuai dengan peta rencana atau kerangka fikir seseorang atau sekelompok perencana. Bila demikian halnya, tidaklah usaha berarti itu merupakan kesalahan siapa-siapa. Melainkan rnerupakan kegagalan kita untuk merangkum (comprehend) semua kekuatan obyektif itu, dalarn mengartikulir rencana-rencana. Barangkali memang tetap ada gunanya setiap kali semua unsur pengelola kota berbincang tentang duduk persoalan setiap aspek pembangunan dan perkembangan kota Jakarta. Untuk itulah dibentuk Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus