ADANYA usul dialog nasional dari pimpinan NU Abdurrahman Wahid, yang ditujukan kepada para konglomerat dan kalangan lainnya bersama pengusaha kecil, tentunya usul yang simpatik. Sementara ini, sudah ada konglomerat yang bersikap mulia, seperti William Soeryadjaya (Astra Group) yang mau menghibahkan 1% kekayaan pribadinya atau senilai Rp 37,5 milyar. Kalau ini dilakukan juga oleh konglomerat, termasuk pengusaha besar pribumi, tentunya modal koperasi akan menjadi kuat. Tinggal lagi menaruh seorang ahli manajemen, agar modal yang ada kian membesar. Pengusaha kecil selama ini bisa berdagang karena tumbuhnya berbagai industri di tanah air. Berkat itu pengusaha kecil bisa berdagang. Hanya saja, yang perlu dibantu adalah modal. Melalui bank kredit, yang dibantu konglomerat dan pengusaha besar pribumi lainnya, pengusaha kecil tentu akan cepat tertolong dari kesulitan. Timbulnya kesenjangan sosial yang mengarah pada kecemburuen sosial bukan semata karena para konglomerat yang berhasil terdiri dari WNI keturunan Cina. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah sikap tidak adil karena segelintir orang begitu mudah menjadi kaya karena punya kaitan keluarga dengan pejabat. Kemudahan bisnis mendukung mereka menjadi cepat berkembang maju di segala bidang bisnis. Faktor lain, karena adanya mantan pejabat, yang ternyata menjadi pengusaha besar, memiliki bisnis perhotelan, bisnis industri otomotif dan sebagainya. Pejabat negara yang berhasil menjadi kaya itu kemudian memamerkan kekayaan mereka, dengan memiliki rumah-rumah mewah, yang dilengkapi kolam renang, memberi uang belanja pada anak-anak mereka cukup dengan memegang kartu kredit yang dapat dipergunakan di dalam dan di luar negeri. Gejala-gejala seperti itulah yang menimbulkan kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial. Hendaknya, Gus Dur dapat mengetahuinya sebelum dialog nasional dilakukan. HAJI G. MALIKMASS Kepaduri RW 04 Jalan I/4O Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini