BUKAN sesuatu yang luar biasa bila dari daerah "tidak biasa" seperti Aceh muncul berita yang memprihatinkan semua orang yang berkemauan baik. Sejak awal, bahkan ketika lewat tengah malam 19 Mei 2003 keadaan darurat militer diberlakukan di provinsi paling barat itu, sesungguhnyalah tak ada pihak yang betul-betul merasa bersukacita. Sebaliknya, ketika itu, memang dibutuhkan keputusan tegas dalam penyelesaian masalah kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telanjur berlarut-larut.
Kita memang sedang berbicara tentang peristiwa Selasa pekan lalu, ketika serombongan aparat keamanan berusaha menghentikan sebuah pelatihan yang dikelola Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Banda Aceh. Upaya penghentian itu—yang meliputi pemutusan fasilitas listrik dan air di tempat pelatihan—segera menuai protes dari paling tidak sepuluh lembaga swadaya masyarakat di Tanah Air. Pelatihan itu sendiri, seperti yang kita baca, tak lebih dari kegiatan pembekalan pemahaman tentang hak asasi manusia untuk staf perwakilan Komnas HAM di Banda Aceh, Lhok Seumawe, dan Bireuen, dengan peserta dari kalangan sipil, LSM, Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, bahkan kepolisian dan kejaksaan.
Masih segar dalam ingatan, ketika penyelesaian masalah Aceh beralih dari meja perundingan ke operasi terpadu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bicara tentang empat cabang operasi yang akan dilancarkan sekaligus. Keempatnya adalah masalah kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, tidak tegaknya hukum, lumpuhnya birokrasi pemerintahan, dan pemberontakan bersenjata GAM itu sendiri. Prioritasnya memang pada meniadakan kekuatan militer GAM, tapi tetap: itu bukan masalah satu-satunya.
Perkembangan di lapangan kemudian membuktikan, "prioritas" itu tak mengalami kendala berarti. Secara militer, GAM bukan lagi masalah yang terlalu berat. Tetapi, seperti halnya di mana pun di kolong langit ini, sebuah operasi militer niscayalah membawa dampak yang pada gilirannya memberikan citra buram bukan saja pada prioritas operasional tersebut, melainkan pada keseluruhan operasi itu sendiri. Pada tataran inilah para pelaku operasi militer memerlukan mitra yang bukan saja mampu bersikap jernih, tetapi juga kritis, bekerja secara profesional, dan diperlakukan sebagai mitra setara. Tak dapat dimungkiri, Komnas HAM adalah bagian dari kemitraan ini.
Karena itulah kita ikut prihatin atas peristiwa pekan lalu. Apalagi setelah juru bicara Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Nanggroe Aceh Darussalam, Kolonel Laut Ditya Sudarsono, membenarkan keterangan Sekretaris Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Sudi Silalahi, bahwa tidak ada larangan dari PDMD terhadap pelatihan tersebut. Masalahnya, kata Ditya, penyelenggara tidak mengurus izinnya ke PDMD. Upaya penghentian pelatihan itu dianggap memenuhi prosedur yang berlaku di daerah konflik, tempat semua kegiatan yang bersifat mengumpulkan orang harus mendapat izin.
Merujuk pada keterangan tersebut, asal-muasal peristiwa yang memancing banyak protes ini sebetulnya hanya pada masalah "prosedur" dan koordinasi antarlembaga yang masing-masing mempunyai tujuan sama: menjaga keberlangsungan operasi pemulihan keamanan di Aceh secara utuh dan menyeluruh. Satu di antara aspek integral pemulihan keamanan itu tentulah penegakan hukum, yang bukan saja harus dilakukan dengan tuntas dan lugas, melainkan juga tetap terukur, terutama di antara lembaga yang pada dasarnya memiliki kesetaraan.
Kalau acara pelatihan itu memang membutuhkan izin PDMD, dan penyelenggara tidak mengurus izin tersebut, mereka memang layak ditegur. Yang agak sulit dipahami adalah jika "teguran" tersebut dilakukan dalam bentuk pengerahan personel bersenjata, apalagi sampai pada pemutusan fasilitas listrik dan air di ruang pelatihan. Pada tingkat ini semua pihak layak mempertanyakan: sudah tertutupkah pintu dialog, justru di antara pihak yang memainkan peran setara di daerah yang demikian peka dan rentan seperti Aceh? Kita yakin, untuk kemaslahatan tujuan yang lebih besar, pintu dialog itu tetap terbuka, atau paling tidak: diupayakan tetap terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini