Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Anda cinta sepak bola dan kini resah menyaksikan Nurdin Halid terpilih sebagai Ketua Umum PSSI, pasti Anda terlalu serius. Mungkin juga Anda sudah sepuluh tahun terakhir tidak baca koran, hidup di rimba tanpa radioapalagi televisi. Di negeri ini, bahkan seorang "tervonis" kasuskorupsi ternyata tetap bisa memimpin parlemen—tempatsebagian aturan hidup kita dibuat. Bukankah sekarang inimusimnya orang menganut falsafah "baru": sepanjang kasushukumnya belum berkekuatan tetap, memimpin organisasi apa punboleh-boleh saja, asal dilakukan dengan "demokratis".
"Demokratis" di negeri ini diartikan meraih suaraterbanyak, caranya terserah, pokoknya menang. Di banyak tempat,dia yang berjaya sampai puncak bukan yang cemerlangotaknya atau brilian idenya, tapi dia yang kuat suplai"gizi"-nya. Ingatlah ajang penyaringan calon presiden sebuah partaikuat belum lama ini. Calon yang kapabel mundur gara-garatidak tahan meladeni permintaan "suntikan gizi" daribakal pemilihnya di daerah. Yang lain maju terus, entah karenasanggup meladeni soal "gizi" tadi atau pura-puracuek bebek. Lalu kenapa mesti cemas kalau ternyata benar Nurdin Haliddi Kongres PSSI ke-33 lalu memakai kiat yang sudah usang itu?
Anda mau bilang PSSI memasuki babak palingkonyol sepanjang hayatnya karena pertama kali dipimpinseorang tersangka? Kalaupun benar, buat apa dipusingkan.Wong, peserta Kongres, yang seharusnya orang-orang yangmenjunjung tinggi sportivitas, juga tidak pusing, kok. Buktinya,tidak secarik kertas kerja pun lahir dari Kongres tentangbagaimana memajukan sepak bola Indonesia. Semua asyikdukung-mendukung calon ketua umum dalam Kongres yangrupanya gemah ripah loh jinawi itu. Siapa, sih, yang mau pedulibahwa PSSI sudah jadi tim underdog di Asia Tenggara, apalagi di Asia? Boro-boro mengulang prestasi emas di Olimpiade 1956dengan menahan Rusia (sebelum kalah di babak tambahan),melawan Vietnam yang baru belajar pakai sepatu bola pun timPSSI sudah ngos-ngosan. Mengalahkan Korea Selatan, Jepang,Cina, huh… jauh, mungkin hanya dalam mimpi pengurus PSSI.
Jadi, buat apa, sih, membiarkan PSSI mengganggupikiran kita? Kalau ketua umum yang baru lebih memilihorang-orang yang mendukungnya ketimbang orang-orang bolaterbaik negeri ini dalam kepengurusan PSSI nanti, tidakusah dipikirkan. Pemerintah juga tidak peduli, kok, padaolahraga. Lihat saja minimnya dana olahraga di anggaranbelanja. Pemerintah daerah juga lebih memilih membangunperumahan atau mal ketimbang membangun lapangan sepak bola.Dengan kondisi begini, untuk bicara di Asia saja sudah samasulitnya dengan memenuhi bak mandi dengan ember bocor, apalagimau bicara tentang maju ke pentas Piala Dunia.
Bisa jadi ini urusan jam terbang. Usia PSSI barumenjelang 70 tahun. Jamaika, sebagai perbandingan, yangmendirikan organisasi sepak bolanya tahun 1893, baru 105 tahunkemudian berlaga di Piala Dunia Prancis 1998. Itu pun setelahpelatih asal Brasil didatangkan dan pemain-pemain negaraberjuluk The Reggae Boys itu berlaga di berbagai negara. Parapemain yang meloloskan negeri berbahasa Inggris satu-satunyadi Karibia itu disambut sebagai pahlawan di negerinya. Disini, jangan-jangan Anda tidak lagi kenal satu pun pemainnasional PSSI sekarang. Yang lebih lekat di kepala kita adalahDavid Beckham, Ruud van Nistelrooy, Michael Owen, atauRonaldo. Kita lebih akrab dengan Manchester United, AC Milan,atau Real Madrid ketimbang Persik Kediri atau PerselaLamongan, yang baru masuk divisi utama PSSI.
Jadi, biarlah Nurdin Halid mencoba peruntungannya. Dia pernah membawa PSM Makassar menjadi juara Liga Indonesia dan juara turnamen antarklub di Vietnam. Siapa tahu garis tangannya bagus, siapa tahu dia bisa masuk Guinnes Book of Records sebagai anggota FIFA pertama yang dicekal pemerintahnya ke luar negeri, siapa tahu PSSI malah terus menang melawan Cina atau Jepang. Siapa tahu dia bisa mengucurkan duitnya dan membayar semua stasiun televisi untuk menyiarkan Liga Indonesia. Siapa tahu. Tapi, sudahlah, jangan resah dengan PSSI dan bos barunya. Republik ini masih punya sejuta kesibukan lain. Ayo kerja, kerja, kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo