Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadang-kadang orang merasa perlu untuk lepas dari sejarah, telanjang kembali di pulau imajiner yang tak bercacat, karena peradaban bisa menakutkan.
Mungkin benar Freud pernah mengatakan manusia pertama yang memulai peradaban adalah ia yang melontarkan kata penghinaan, bukan melontarkan batu. Barangkali ia hendak menunjukkan, ada agresi yang disembunyikan dengan bahasa dan dalam bahasa ketika manusia menjadi "beradab." Tapi yang tak ditegaskannya: agresi yang berubah jadi bahasa itu bukanlah untuk melukai. Bahasa "hanya" menjerat dan menaklukkan. Tanda awal peradaban adalah Titah.
Salah satu titah paling purba meninggalkan jejak yang panjang. Kurang-lebih 2600 tahun sebelum tarikh sekarang, ratusan ribu budak Mesir dikerahkan untuk mengangkut 800 juta bungkah batu melalui perjalanan 15000 kilometer. Beban itu, jarak itu, harus ditanggungkan untuk membangun piramida besar dan kecil di sekitar Kairo, tempat mummi para Firaun diawetkan. Tak jauh dari sana, tampak potongan batu yang seperti ditaruh tanpa niat: tanda kubur lain. Di sanalah liang bagi para budak. Sekian ribu tahun yang lalu itu, tiap hari ratusan mereka, yang bekerja, tewas di kaki konstruksi yang mereka tegakkan.
Di gurun pasir Mesir itu, kekuasaan tampaknya hendak menaklukkan waktu. Di dalam dan di luar piramida seakan-akan tak ada jam yang bergerak. Titah itu abadi.
Tapi Pablo Neruda, sang penyair, menyadari bahwa tak ada Titah yang abadi. Pada 1943 ia pulang dari hidupnya di luar negeri, kembali ke Chile, mampir di Peru dan mengunjungi Maccu Piccu, bangunan megah bangsa Inca dari abad ke-15 yang terletak di ketinggian 2400 meter dari permukaan laut.Di sana ia sadar, ketika waktu ditaklukkan dan membeku di antara batu-batu, ada yang harus menanggungkannya: para budak, tentu saja. Di puncak itu, seperti kita baca dalam sajaknya Alturas de Maccu Piccu, satu bagian dari Canto General, Neruda terpesona, tapi ia juga bertanya:
Macchu Picchu, kau pasangkah batu berlapis batu
di hamparan kain kumuh,
Arang di atas arang
di atas dasar airmata?
Api pada emas, cercah darah
yang gemetar di dalamnya?
Kembalikan padaku budak
yang kau kuburkan,
Sentakkan dari bumi roti keras
mereka yang miskin. Tunjukkan baju
sang pelayan dan di mana pula tingkapnya
Jika waktu membeku, mereka yang miskin dan terkubur tak mungkin terungkap, dan tak akan mungkin jadi bebas. Persoalannya -- dan ini penting dalam pandangan tentang sejarah -- benarkah pembebasan mustahil.
Neruda, seorang Marxis, tentu tak memustahilkan itu. Tapi dengan pandangan yang gelap dan curiga kepada sifat manusia, Freud tak percaya. Sebagaimana peradaban melupakan mayat para budak, peradaban juga, bagi Freud, tak pernah mengandung janji kemerdekaan ataupun kebahagiaan. "Manusia beradab telah menukarkan sebagian kesempatannya untuk berbahagia dengan keamanan," ia berkata.
Baginya peradaban adalah pengekangan atas dorongan naluri seksual dan agresif. Peradaban, jika kia ikuti Freud, adalah proses manusia memilih kendali, sejalan dengan ia memilih keindahan, kesehatan, dan ketertiban.
Dengan kata lain, peradaban adalah sebuah paradoks: manusia menciptakannya untuk melindungi diri dari ketidak-bahagiaan, tapi dalam proses itu kebahagiaan justru harus digadaikan. Ketika ia ingin aman dari benturan naluri yang agresif di masyarakat, manusia membiarkan kemerdekaannya direduksi. Di sana Titah berdiri.
Tapi bagaimana pengekangan itu bisa terjadi, itu yang hanya sedikit saja disinggung Freud. Dalam peradaban, seperti telah disebut di atas, ada Titah. Artinya ada yang memperoleh posisi menitahkan, ada yang tidak. Tatanan kekuasaan itu tak datang dari langit, tapi bagaimana gerangan asal-usulnya, Freud tak menelaahya. Ia tak tertarik kepada politik. Ia juga tak melihat sejarah sebagai narasi dalam waktu yang berubah. Dalam pandangannya, si budak tak mungkin merdeka benar-benar.
Orang akan menilai, pandangan Freud tentang peradaban a-historis. Meskipun demikian, ia berjasa dalam mengguncang pandangan yang bertahun-tahun melekat. Ia tunjukkan peradaban tak selalu berkaitan dengan kesopanan, kehalusan, kepantasan. Seperti yang terucap dalam sajak Neruda, di bawah kemegahan produk sebuah peradaban, di lapis terdalam Maccu Piccu, ada hamparan kain kumuh, bekas airmata, cercah darah yang gemetar. Di sebelah piramida Djoser di utara Memphis ada kubur ribuan budak yang tak dikenal. Kata-kata Walter Benjamin yang termashur menegaskan diri dari Memphis sampai dengan Maccu Piccu: tiap dokumen peradaban adalah sekaligus dokumen barbarisme.
Mungkin itu sebabnya tak jarang orang merasa perlu untuk lepas dari sejarah. Bukan untuk mandeg, melainkan untuk melepaskan diri dari ilusi umum tentang peradaban.
Ada nostalgia kepada alam, menjadi alam -- nostalgia yang seakan-akan ingin kembali ke sebuah masa pra-perubahan.
Tapi agaknya yang ingin dikembalikan hanyalah sebuah keadaan tanpa Titah, ketika bahasa dan kuasa tak menjerat dan menaklukkan. Telanjang di pulau imajiner yang tak bercacat adalah imaginasi tentang keadaan itu -- yang mustahil, tentu saja, tapi kini jadi utopia, (artinya: imajinasi yang mengimbau untuk bertindak), yang mendesak.
Kini Titah lama digantikan Titah baru. Tak ada lagi budak yang harus mengangkut 800 juta bungkah batu dari Aswan, tapi ada inkarnasi dari dorongan kekuasaan itu. Dulu ia bernama hasrat untuk hidup kekal, kini ia bernama keserakahan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo